Daniel Dhakidae
Sabtu, 10 April 2021 15:25 WIB
Penulis:redaksi
Oleh: Dion Pare
SELASA dini hari, 6 April lalu, Daniel Dhakidae meninggal dunia. Ilmuwan sosial dan ilmuwan politik yang diakui reputasinya ini meninggal karena serangan jantung. Banyak merasakan kehilangan seorang ilmuwan dan intelektual publik.
Meninggalnya Daniel membuat semakin berkurangnya pemikir segenerasinya yang memiliki perhatian besar terhadap masalah-masalah negara, yang bersikap kritis terhadap kekuasaan, tetapi juga memberikan jalan-jalan yang perlu dilakukan.
Nama itu sudah masuk dalam perbendaharaan ingatan saya sekitar tahun 1981, melalui majalah Prisma. Majalah itu biasa tergeletak di meja belajar kakak saya, yang berkuliah di Ende, pada waktu itu. Melihat saya suka membaca, kakak saya terus mendorong. Karena, katanya, Jakarta, orang bisa hidup dengan menjadi penulis, seperti Daniel Dhakidae. Mengetahui bahwa Daniel Dhakidae adalah orang Flores, semakin menambah semangat saya untuk terus memburu bacaan di mana pun ada kesempatan.
Dengan semakin bertambahnya usia, ternyata, banyak orang Flores menjalani kehidupan mereka dengan tulis menulis. Nama-nama lain pun masuk dalam perbendaharaan saya, seperti Ignas Kleden, Frans Meak Parera, dan sejumlah wartawan yang berkiprah di Jakarta dan juga di daerah. Tentu saja, juga nama-nama yang lebih senior seperti Frans Seda dan Jan Riberu. Nama-nama itu banyak berbicara melalui tulisan mereka.
Relasi saya dengan Prisma dan juga Daniel semakin intens setelah saya berkesempatan mengikuti pendidikan di Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero (1986-1993). Saya seperti mendapatkan “kolam” untuk berselancar dan memuaskan kehausan saya untuk membaca. Bahkan boleh dikata, saya lebih banyak membaca majalah tersebut, sebagai kenikmatan pribadi saya, jika tidak dipaksa bahwa saya juga harus lulus dalam matakuliah-matakuliah agar saya tetap bisa berkuliah di lembaga pendidikan itu.
Saya membaca esai-esai singkat yang sering ditulis oleh Daniel. Saya bahkan menghafal nama-nama para penulis yang sering menulis untuk Prisma. Saya pernah mendapatkan beberapa bundel Prisma sebagai cinderamata karena kesediaan saya untuk mengisi angket majalah itu. Walaupun saya tidak selalu bisa memahami apa yang ditulis, saya masih ingat satu pesan tulisan esainya tentang self-fulfilling prophecy. Dengan pesan tersebut, saya meyakinkan seorang teman yang hendak meninggalkan Ledalero pada waktu itu bahwa ia telah meramalkan dirinya sendiri dan ia sendirilah yang akan memenuhi ramalannya itu.
Daniel Dhakidae dan juga Ignas Kleden merupakan figur yang berpengaruh pada diri saya, dan juga saya kira, teman-teman lai. Mereka tampak berdiri tegak bagai tonggak di sana. Saking kuatnya figur mereka orang ini, seorang teman yang bukan Flores berseloroh bahwa wajah Flores diselamatkan oleh keduanya. “Flores itu,” kata teman tadi,” untung ada Daniel dan Ignas.”
Ketika saya berada di Jakarta, saya menyempatkan diri menghadiri beberapa diskusi atau seminar di mana Daniel bertindak sebagai pembicara atau moderator atau juga peserta. Pertemuan tatap muka terjadi beberapa kali. Pertama, pada tahun 2003, saya terlibat dalam rencana Seminar Pengembangan Ekonomi Flores. Dalam beberapa kesempatan persiapan, ia hadir sebagai Pengarah Acara dan juga orang yang memiliki jaringan di Jakarta untuk mengajukan nama pembicara dan juga mungkin juga sponsorship. Kedua, pada tahun 2018, pada peluncuran buku kumpulan tulisan Jan Riberu, yang berjudul Negara, Agama dan Pancasila, ia, bersama Ignas Kleden dan Frans Meak Parera juga hadir. Ketiganya mengaku hadir untuk menghormati Guru mereka.
Pada kesempatan itu, saya melihat betapa ia sangat menghormati Jan Riberu dan menyebut dengan jelas warisan Jan Riberu yang dipakai dalam seluruh proses hidupnya: cara belajar, atau lebih tepatnya cara membaca buku. Ia berkata, sebagai kutipan atas ajaran Jan Riberu, bahwa kita tidak perlu membaca seluruh buku dari halaman pertama sampai halaman terakhir. Kita cukup menengok kerangka buku, pendahuluan, dan membolak-balik beberapa halaman penting untuk memahami seluruh isi buku. Teknik yang terus dipraktikkannya, bahkan ketika ia belajar di University of Cornell adalah penggunaan kartu tek, yaitu catatan-catatan bagan tentang isi buku, dengan kode-kode atau tanda-tanda yang hanya pembuatnya sendiri pahami.
Hiperbolisme
Daniel selalu tampil dengan rasa percaya diri yang kuat. Gaya bahasanya selalu mendesak dan menusuk. Hal itu bisa kita temukan dalam tulisan-tulisannya. Dengan penuh keyakinan ia mengungkapkan pandangan atau pendapatnya. Hal itu mungkin disebabkan, seperti dikatakan oleh banyak pihak tentangnya, oleh keluasan pengetahuannya dan kemampuannya yang mumpuni dalam beberapa bahasa Eropah, seperti Latin, Jerman, Belanda, Inggris dan Prancis. Dengan kemampuan itu, ia bisa dengan lincah berselancar ke dalam pengetahuan yang ia miliki dengan bahasa-bahasa asing yang ia kuasai. Karena itu pula, ia bisa memakai gaya retorika yang memberi efek kuat dalam diskusi atau seminar.
Dalam seminar ekonomi Flores, saya singgung di atas, Daniel memperlihatkan gaya retoriknya. Ia sebetulnya hendak memberikan semangat atau motivasi tentang kemampuan masyarakat Flores untuk berkembang dan mengembangkan dirinya. Dengan berbagai potensi alam dan sosial-budaya yang dimilikinya, Flores punya kans untuk berkembang. Menurut Daniel, keadaan Flores pada tahun 1960-an, tidak jauh berbeda dari Jawa, bahkan dalam beberapa hal lebih maju berkat karya misi Gereja.
Namun dalam 30 tahun belakangan ini, Flores ditidurkan atau dibiarkan tertidur. “Saat ini,” demikian katanya pada waktu itu, “setelah lama tertidur dan dibiarkan tertidur, Nipa Sawa ini sudah menggeliat.” Sambil membetulkan posisi duduknya, dengan memandang para audiens dan menunggu reaksi mereka, dan dengan mulutnya yang lebih terbuka dan dagu dan bibir bawah ditarik agak keluar, ia melanjutkan bahwa itu semua tergantung pada masyarakat Flores sendiri, untuk membiarkan ular ini tertidur kembali atau bangun dan melibas semua yang membuatnya tidur panjang. Dan tepuk tangan pun menggemuruh. Itulah gaya yang sering ditampilkannya.
Ia pandai memainkan reaksi audiens dengan retorika hiperbolisme. Hal ini terkait dengan gaya berbahasa yang secara sengaja ia pakai untuk memberi efek terhadap pendengar atau pembaca dalam memberikan reaksi atas apa yang disampaikannya. Efek itu bisa membuat diskusi dipertajam. Tetapi sering kali, gayanya itu menghasilkan reaksi yang membuat arena diskusi atau seminar menjadi gaduh dan diperlukan waktu untuk menjadi tenang kembali dan diskusi berlanjut. Kadang-kadang, orang lebih terpaku pada kegaduhan itu dan lupa dengan apa esensi yang hendak disampaikan.
Di sini saya mengemukakan dua contoh retorika hiperbolis Daniel. Contoh pertama saya peroleh dari cerita seorang teman. Pada satu seminar di STF Driyarkara yang mengangkat tema Marxisme, Daniel juga hadir. Pembicaranya, salah satunya, adalah Romo Magnis. Seperti biasa, tanggapan tentang topik itu menjadi terlalu moralis. Mereka selalu menilai Marx sebagai anti agama dan anti agama itu tidak bermoral, maka Marxisme harus ditolak. Daniel pun meminta waktu untuk berbicara. “Kalau kita melihat reputasi yang dicapainya, Marx adalah seorang nabi.” Maka, riuhlah ruang seminar itu. Tentu saja, kata-kata Daniel itu memancing reaksi emosional dari para peserta yang rata-rata orang beriman kepada nabinya masing-masing. Romo Magnis pun tersenyum-senyum.
Contoh kedua terjadi dalam seminar sekitar pemberian hadiah Magsaysay kepada Pramudia Ananta Toer, pada tahun 1995. Hadiah buat Pram itu membuat publik intelektual di Jakarta terbelah. Ada yang setuju, mengingat karya-karya Pramudia yang diakui luas sebagai bermutu sastra. Sebagian lainnya tidak setuju dengan tuduhan bahwa Pram terlibat dalam peristiwa pembreidelan dan pembakaran karya-karya sastra para lawannya pada tahun 1960-an. Untuk menjernihkannya, diadakanlah seminar di TIM. Saya ingat panelisnya pada waktu itu antara lain, Ikranegara, seorang dramawan dan Mochtar Pabotinggi, seorang ilmuwan politik dan juga penyair. Bertindak sebagai moderator adalah Ignas Kleden.
Setelah sejumlah orang menyampaikan pandangannya, giliran Daniel berbicara. Ia mulai dengan mengajukan tesis yang menyentak. “Orang, yang meminta Pramudia meminta maaf setelah sekian tahun kehilangan hak-haknya, kehilangan kebebasannya, dan hidup secara tidak normal sebagai manusia, secara moral jorok.” Keriuhan pun mewarnai ruang diskusi. Ada yang berteriak-teriak, dan saling menyampaikan pendapat, tanpa mengindahkan lalu-lintas diskusi.
Daniel pun mengritik seorang panelis yang mengatakan bahwa ia menandatangani penolakan hadiah Magsaysay kepada Pram dengan tangan gemetar. Kata Daniel, seorang yang mengalami tremendum et fascinosum hanya dalam kondisi tidak punya pilihan lain, orang yang tidak memiliki cara lain, membiarkan hal itu terjadi pada dirinya, seperti manusia di hadapan Khaliknya. Kondisi itu tidak terjadi pada sang panelis. Panelis adalah orang yang bebas dan Pram bukanlah kekuatan yang menakutkan. Ia sudah lama ditindas oleh sebuah rezim, kehilangan hak-hak perdata, dan harta milik. Karena itu menuntut Pram minta maaf, setelah penyiksaan yang dilakukan terhadap dirinya, tidak bisa diterima.
Menggapai Kejernihan
Banyak pihan yang pernah bersentuhan dengan Daniel menyebutnya sebagai salah seorang intelektual par excellence. Orang semacam itu tergolong ke dalam begawan, disebut pula resi, atau mengutip Rendra, mereka yang berumah di atas angin. Mereka memberi isyarat, menabuh tanda, dan menggoreskan peta hidup masa depan. Seperti disaksikan oleh banyak orang, Daniel adalah sedikit dari ilmuwan yang menjaga jarak terhadap kekuasaan, bersikap kritis, tetapi juga memberikan advis yang bermanfaat. Ia dekat dengan partai politik, dengan para politisi, tidak terjebak dalam permainan politik. Ia selalu sadar akan posisinya.
Hal itu karena Daniel sangat peka dengan perspektif agar kebijakan politik tidak terjebak dalam kepentingan politik sesaat, yang lumrah bagi para politisi, tetapi sangat irritating bagi seorang begawan atau ilmuwan.
Salah satu metode yang dipakai oleh Daniel untuk menyingkapkan kesalahan berpikir umum itu adalah gayanya yang hiperbolis. Jika ia hendak menguji satu pandangan yang ditentangnya, ia mengungkapkan satu pandangan sebaliknya (metode dialektis), dengan gaya yang hiperbolis. Hiperbolisme semacam itu membuat orang tersentak, dan mereka didorong untuk memeriksa kembali asumsi-asumsi atau pun fakta-fakta yang mereka pegang. Tujuannya adalah agar orang tetap menjaga kewarasan, membuat lapangan permainan sosial politik tetap jernih dan menarik kesimpulan untuk tindakan praktis dengan bertolak dari landasan yang kukuh, dalam dan jernih. Intinya, hiperbolismenya dimaksudkan untuk menjaga kedalaman dan kejernihan. Itulah pesan dasar yang bisa ditemukan dari membaca karya-karya Daniel.
Selamat Jalan Daniel Dhakidae, senior dan guru yang mengajar melalui tulisan-tulisan. Requiescat in Pace.
*Dion Pare, almunus STFK Ledalero, peneliti, tinggal di Jakarta.