Padre Marco SVD: Mari Berbela Rasa dengan Gereja Katolik Jerman

Rabu, 09 Juni 2021 19:44 WIB

Penulis:redaksi

p markus svd 2.jpg
Padre Marco SVD

BELUM lama ini berapa teman mengirim sebuah berita kepada saya yang saat ini sedang beredar di medsos. Cuitan singkat itu ditulis oleh saudara Gunawan Josef tentang Gereja Katolik di Jerman yang disinyalir “sakit” berkaitan dengan permohonan pengunduran diri dari Kardinal Marx , Uskup Agung Munich-Freising, Bavaria, Jerman Selatan beserta sebab pengunduran dirinya. 

Pertama-tama, benar ada surat permohonan  dari Kardinal Marx untuk berhenti dari jabatan Uskup Agung. Kardinal Marx pernah menjabat sebagai Ketua Konferensi para Uskup Jerman dari 2014-2020. Beliau juga, sejak September 2013, merupakan salah satu dari C-9 Dewan Kardinal yang dibentuk oleh Paus Fransiskus pada awal masa Pontifikatnya untuk menjadi team penasehat khusus.  

Kedua, saya sudah berjuang menemukan angka 1,9 juta umat Katolik yang keluar dari Gereja Katolik di Jerman antara tahun 2012 dan 2019 murni oleh karena kasus pelecehan seksual seperti disinyalir saudara Gunawan Josef, tetapi tidak saya temukan. Saya tidak tahu,  dari mana sumbernya  Gunawan memperoleh data tersebut. 

Benar bahwa banyak orang keluar dari Gereja dalam periode yang disebutkan di atas. Tetapi sebetulnya bukan mutlak karena alasan tunggal pelecehan seksual. Ada banyak alasan yang saling berkaitan ibarat akar serabut. Semuanya kembali kepada alasan dan fenomena umum, yakni melemahnya iman dan agama, lalu mereka menjadikan alasan-alasan seperti pelecehan seksual atau pajak Gereja, konflik-konflik pribadi dengan pihak-pihak Gereja sebagai alasan untuk keluar dari Gereja. Masalah ini juga dihadapi oleh Gereja Protestan yang jumlahnya hampir berimbang dengan jumlah umat Katolik di Jerman. Akan tetapi perlu diingat bahwa selalu ada baptisan baru setiap waktu, baik bayi maupun orang dewasa melalui para imigran. 

Sejak hari Paskah, 4 April 2021 surat pengunduran diri Kardinal Marx sudah selesai ditulis. Dalam kunjungan kepada Paus di Vatikan tanggal 21 Mei 2021 lalu  beliau sendiri membacakan surat permohonan pengunduran dirinya di hadapan Paus. Paus memberikannya waktu untuk berpikir dan merenung. Sekitar minggu lalu kabar datang dari Paus kepada beliau yang menganjurkan untuk membuat berita tentang pengunduran dirinya kepada publik, sambil menanti keputusan resmi dari Paus. 

Alasan utama pengunduran diri Kardinal Marx, seperti ditulis berbagai surat kabar, bahwa beliau sendiri sudah merasa sangat berat untuk ikut bertanggungjawab atas kegagalan-kegagalan di dalam Gereja Jerman pada puluhan tahun lalu hingga kini dalam kaitannya dengan pelecehan seksual di dalam Gereja Katolik. Beliau mengatakan bahwa ada dua jenis masalah utama, yakni: Kegagalan sistem dan kesalahan administratif. Hal ini membuatnya sangat prihatin, malu dan berat untuk menanggung segala konsekuensi di masa depan. 

Sebenarnya, kalau mau jujur, hemat saya pribadi, kasus pelecehan seksual bukan merupakan alasan utama dan tunggal. Sudah sejak lama, seperti di beberapa negara Eropa tengah dan barat lainnya, Gereja Jerman berjuang melawan krisis iman yang disebabkan oleh kekuatan maha dasyat dari sekularisme yang memberikan angin segar kepada materialisme, relativisme dan individualisme. 

Agama dan iman, umumnya di kota-kota besar, semakin melemah dan hilang dari ruang publik dan masuk ke dalam domain pribadi. Di sisi lain kekurangan panggilan imamat membuat jumlah para gembala asing semakin bertambah banyak, hal mana bukan saja turut mengubah cara pandang dan kekompakan budaya lokal yang sudah sejak ratusan bahkan ribuan tahun bersenyawa dengan iman dan agama Katolik, tetapi juga pada saat yang sama terjadi perubahan struktural, misalnya melalui peleburan wilayah-wilayah Paroki menjadi sebuah ikatan baru yang rata-rata luas dan terasa asing, dengan konsekuensi bahwa jangkauan pelayanan Sakramen semakin berkurang dan jarang. 

“Badai-badai pelemah agama dan iman” di atas diperkuat lagi dengan berbagai masalah kontemporer lain seperti pelecehan seksual tadi, juga desakan dinikahkan kaum LGBT, pernikahan bagi pastor-pastor Katolik, pentahbisan diakon dan imam bagi perempuan disertai demonstrasi-demonstrasi yang vulgar dan melecehkan, tuntutan penerimaan Komuni bagi mereka yang bercerai atau yang menikah lagi hanya secara sipil, perjamuan bersama Katolik dan Protestan, iman dan agama menjadi bahan lelucon atau sarkasme di bawah dalil kebebasan berekspresi, dll..  Masalah krisis Gereja Katolik Jerman ini menjadi alot dan “complicated”. Penyelesaiannya butuh ketabahan dan kejelihan seperti ketika mengurai benang kusut. 

Sebagai orang yang mengandalkan “pembaharuan dalam Gereja Katolik di Jerman”, Kardinal Marx menganjurkan “Jalan Sinodal” sebagai cara mutlak yang seharusnya dijalankan untuk keluar dari lilitan krisis-krisis ini dan untuk menentukan masa depan Gereja Katolik di Jerman. Terjadi pro dan kontra di dalam Gereja Katolik, karena pihak kontra Jalan Sinodal cemas dan takut kalau pada akhirnya keputusan-keputusan demokratis tidak merepresentasi ke-universal-an Gereja Katolik, malah membahayakan persatuan Gereja, karena di sini mereka hanya memperhatikan kepentingan lokal. Padahal Gereja Katolik bukan saja perihal sebuah negara atau wilayah. Dia diikatkan oleh ajaran-ajaran, aturan dan perintah yang sama secara mondial. Contoh yang diambil misalnya Jalan Sinodal Amazonas 2019 lalu di Vatikan yang membicarakan masalah-masalah yang nyatanya bukan menyentuh urgensi Gereja universal. 

Pengikut Kardinal Marx pada pucuk pimpinan Konferensi para Uskup Jerman, Uskup Georg Baetzing, mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa keselamatan dan kemajuan Gereja Jerman di masa depan tidak bergantung pada aksi-aksi kosmetik lahiriah, pada hukum atau birokrasi, melainkan dibutuhkan sebuah cara pendekatan baru dari Gereja terhadap kekuasaan dan pembagian kekuasaan. Dengan kata lain, politik personal di dalam hirarki mesti mendapat perhatian lebih serius lagi. Hal ini bukan tidak penting karena peran para pemimpin yang dipercayakan kekuasaan di dalam Gereja sangat krusial. 

Sayangnya Jerman yang juga turut dibesarkan oleh agama Katolik dan budaya kekristenan kini mengalami situasi ombang-ambing karena campuran berbagai jenis badai ibarat nasib para Murid Yesus di danau Tiberias. Yang jelas dan harus diingat bahwa Kardinal Marx bukan seluruh Gereja Katolik Jerman, dan Gereja Katolik Jerman bukan Kardinal Marx. Krisis pribadi seorang belum tentu mewakili krisis institusi besar Gereja Katolik. 

Gereja didirikan sendiri oleh Yesus Kristus dan milik Yesus Kristus. Kita tahu dan yakin bahwa Tuhan akan selalu memiliki solusi yang tepat terhadap setiap masalah. Apalagi menyangkut masa depan Gereja-Nya. Gereja sudah selalu sering dilanda krisis besar tetapi selalu menemukan jalan keluar dan tetap tegar hingga saat ini. 

Untuk itu, mari kita semua bersolider dalam doa untuk Gereja Katolik di Jerman, baik doa secara terorganisir maupun secara pribadi. Inilah tanda belarasa kita sebagai bagian tak terpisahkan dari Gereja universal. “Sentire cum ecclesia”, artinya merasa atau mengalami suka dan duka bersama Gereja sejagat, sekalipun masalah mereka bukan masalah yang juga sedang kita hadapi, adalah prinsip kita bersama sebagai Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik. Doa dalam solidaritas persaudaraan adalah kekuatan kita. (*)

Padre Marco SVD, Roma, 7 Juni 2021.