RS di Gaza Banyak Dibom, Jadi Persoalam Hukum Internasional soal 'Kode Etik' dalam Berperang

Minggu, 26 November 2023 20:41 WIB

Penulis:redaksi

Editor:MAR

Asap Membumbung Tinggi Saat Pengungsi Palestina Berlindung di Rumah Sakit Al Shifa
Asap Membumbung Tinggi Saat Pengungsi Palestina Berlindung di Rumah Sakit Al Shifa (Reuters/Doaa Rouqa) (Reuters/Doaa Rouqa)

JAKARTA (Floresku,com) -  Perang ternyata tidak serta merta bagaimana menghancurkan musuh secara brutal.

Perang juga diatur secara hukum internasional dan berlaku untuk semua negara yang sedang berperang.

Seperti obyek sipil yang tidak boleh diserang, apalagi rumah sakit.

Hukum internasional juga menyebutkan jika ada yang terluka tidak boleh lagi diserang. Terlebih saat dirawat di rumah sakit.

Seperti diketahui serangan tentara Israel yang membombardir Rumah Sakit Indonesia di Gaza pada Senin (20/11/ 2023) menyebabkan delapan orang dikabarkan meninggal dunia dan dua dokter mengalami luka-luka. 

Serangan tersebut dilakukan Israel tanpa ada peringatan. Tidak hanya Rumah Sakit Indonesia saja yang mendapatkan serangan dari Israel. 

Sebelumnnya Rumah Sakit Al Shifa yang terletak di Jalur Gaza telah lebih dahulu mendapat serangan dari Israel. Bombardir dilancarkan kala rumah sakit itu tengah menampung sekitar 650 pasien dan 7 ribu warga Gaza. Rumah sakit itu diserang dengan alasan milisi Hamas menggunakannya sebagai pusat komando dan operasional.

Lantas bagaimana seharusnya aturan terkait larangan dan kewajiban yang wajib dipatuhi dalam peperangan? Regulasi terkait hal itu diatur dalam Hukum Humaniter Internasional (HHI) yang tujuannya membuat perang agar lebih manusiawi sehingga tidak kejam dan membabi buta. 

Perang memang membuat penderitaan sehingga HHI bertujuan agar penderitaan itu tidak berlebihan pada hal yang tidak perlu. Konvensi Den Haag tahun 1899 dan 1907 mengatur tentang means and method or war (sarana dan cara berperang). 

Dalam norma tersebut salah satunya diatur soal tata cara memulai peperangan sebagai langkah akhir menyelesaikan konflik secara melalui kekerasan. 

Pertama para pihak harus ada penyebab perang yang jelas dan tidak mengada ada. Kedua, pihak yang berperang memberi tahu waktu perang dalam serangan pertama.

Dasar selajutnya yaitu Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur perlindungan terhadap korban perang. Norma ini diterapkan kepada kombatan dan non kombatan (civilian) yang menghasilkan 4 konvensi serta 2 protokol tambahan. 

Terhadap kombatan atau tentara, merujuk pada Pasal 44 Protokol Tambahan I tahun 1977, kombatan diharuskan untuk membedakan antara penduduk sipil dan kombatan ketika dalam pertikaian bersenjata.

Kemudian Kombatan yang luka dan sakit tidak boleh diserang dan didiskriminasi dalam proses perawatannya. Mereka yang jatuh ke tangan musuh harus diperlakukan sebagai tawanan perang. 

Sebagai tawanan perang juga harus diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan beragam aspeknya. Kemudian terhadap warga sipil berdasarkan Konvensi Jenewa IV tahun 1949, penduduk sipil tidak boleh dijadikan obyek serangan. 

Penduduk sipil yang menjadi anggota perhimpunan palang merah nasional atau perhimpuan penolong sipil lainnya, termasuk anggota pertahanan sipil harus dihormati dan dilindungi dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Kemudian dalam Instruksi Lieber Tahun 1863, penduduk sipil yang inoffensive harus mendapat perlindungan pribadi, harta dan kehormatannya. Mereka tidak boleh dibunuh, dijadikan budak, dipaksa bekerja pada pihak yang menang. 

Selanjutnya dalam Protokol Tambahan I Tahun 1977, terdapat beberapa larangan terhadap masyarakat sipil. Pertama, dilarang menyerang orang sipil. Kedua, dilarang melakukan kekerasan kepada orang sipil. 

Ketiga, dilarang melakukan pemindahan paksa terhadap orang sipil. Larangan terakhir yaitu dilarang menyerang bangunan dan instalasi yang mengandung kekuatan berbahaya.

Pasal 52 Protokol Tambahan 1 Tahun 1997 menyatakan dengan tegas obyek sipil tidak boleh dijadikan sasaran penyerangan atau pembalasan. Bila hal itu diragukan apakah itu obyek sipil atau bukan, maka obyek tersebut harus diperlakukan sebagai obyek sipil. 

Kemudian dilarang juga melakukan suatu tindakan permusuhan secara langsung terhadap monumen-monumen bersejarah, hasil-hasil seni atau tempat suci yang merupakan warisan budaya atau jiwa rakyat (The cultur or spiritual heritage of people).

Dilarang menjadikan objek sipil untuk membantu kepentingan militer serta menjadikannya sebagai objek pembalasan.

Terdapat juga kewajiban dalam aturan tersebut. Pertama, adanya keharusan dilakukannya penghati-hatian dalam melakukan perbuatan perang demi untuk melindungi orang sipil. Kedua, memberikan jaminan mendapatkan bantuan. Terakhir yaitu kesempatan memberi bantuan korban pertikaian bersenjata. ***

Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Khafidz Abdulah Budianto pada 25 Nov 2023