Mosalaki
Selasa, 16 Agustus 2022 11:53 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
Oleh Abraham Runga Mali
DINI hari tadi, Selasa 16 Agustus 2022, sehari menjelang peringatan Kemerdekaan Indonedia, Bapak Paulus Pio Digo meninggal dunia. Kesedihan melanda warga Toto yang mendiami wilayah Flores Tengah, mereka yang tinggal di perbatasan Ende dan Nagakeo.
Secara pribadi saya mengenal dekat “Om Polus” karena istrinya yang pertama, Helena Ogho adalah kerabat dekat ibu saya. Selain itu, ketika menjabat sebagai Kepala Desa, almarhum sering berdialog dengan ayah saya yang adalah kepala sekolah di wilayah desanya.
Dia seorang yang sangat humanis lagi berwibawa. Memiliki karisma yang kuat, dan suka berdialog.
Hanya saja, Bapak Paulus tidak cukup dikenang sebatas sebagai mantan Kepala Desa Ute Toto, Kecamatan Nangaroro yang sekarang mekar menjadi empat desa, yakni Desa Ute Toto, Oda Ute, Nata Ute dan satu desa persiapan Ute Dodo.
Om Polus masuk dalam jajaran Mosadaki (Mosalaki) besar berpangkat Ine Tana Ame Watu bagi masyarajat di ulayat Toto Tana Rea, yang berada di Kecamatan Wolowae dan sebagian Nangaroro di Kabupaten Nagekeo, dan sebagian kecamatan Nangapenda dan Maukaro, Kabupaten Ende.
Kebesaran ini ia peroleh karena Bapak Paulus adalah turunan langsung dari Digo yang bersama saudaranya Raja (Ratja) adalah Patriark, Bapak Bangsa bagi Kunu Toto Tana Rea.
Keduanya, Digo dan Ratja adalah pendiri utama Suku Dodo yang adalah koordinator utama suku-suku yang mendiami wilayah itu. (Daniel Dhakidae, 2011)
Sisilahnya adalah sebagai berikut, Paulus Pio adalah putra dari Papu Senda kemudian terus ke Senda Dupha, Dupha Deta, Deta Pedhu, Pedhu Dekhu, Dekhu Dohgo, Dogho Nena, Nena Tai, Tai Dawi, Dawi Doka, Doka Dako, Dako Woka, Woka Digo dan Digo Rege.
Digo dan Ratja adalah putera dari Rege. Masih ditambah tiga generasi lagi dalam hitungan leluhur Dodo yang pertama dikenal mendiami wilayah itu, yakni Rege Nage, Nage Dodo dan sampai ke Dodo Yanda.
Dalam penuturan lisan, Digo dan Ratja menguasai wilayah itu melalui peperangan dengan penguasa setempat, Bhie Anawanda yang dibantu oleh sekutunya Bheda Wani. ( Abraham Runga. 2014)
Digo dan Ratja menang dalam peperangan besar itu Lalu dibentuklah tanah persekutuan dengan dua tugu peo laka utama, untuk Digo dan turunannya di Oda Pudu, Gunung Toto dan Ratja di Ondorea, Gunung Dea dan satu lagi peo turuanan (peo dheko) di Kampung Ute.
Batas tanah persekutuan adalah Utara Laut Flores, Selatan Laut Sawu. Timur berbatasan Tana Kebi (sekarang Desa Kebirangga di utara) dan Numba (selatan), Barat dengan Lego (utara) Labo (sekarang Desa Labo Lewa) dan Paro Ree (Nangaroro). (Bdk, Domi Djuma Pani Pesa, dalam Uraian Singkat Mengenai Tanah Pesekutuan Tanah Rhea, 1979 dan wawancara penulis dengan Meus Bha dan Paulus Pio Digo.)
Titik-titik perlintasannya adalah pada sebelah Barat dari Utara ke Selatan: Nage Lewa-Dhangi Tana, Wolo Pau, Phoa Keka-Dowo Dapho, Boa Nai, Watu-Paro Ree. Pada sebelah Timur dari utara ke selatan: Nanga Nio Niba, Kota Kadhe, Goa Poka, Ngi'i Bela, Lange Tana, Kedi Watu Manu, Seararo, Keka, Rere Nggase dan Rate Rengge dekat kampung Basa Numba.
Batas-batas ini yang kemudian diambil oleh Belanda---dan dibuatkan peta---ketika Tana Rea dijadikan swapraja tersendiri. (Bdk.Peta Belanda, 2018)
Hanya karena terjadi pemberontakan, tahun 1925, Kerajaan Tana Rea bubar dan dibagi kepada 3 swaparaja,yakni Lio, Ende dan Nagekeo. Pada tahun 1917 misalnya, terdapat 71 kampung yang mendiami ulayat itu, yaitu 21 kampung yang masuk dalam distrik Tanah Djea, 26 di distrik Wolowae dan 24 kampung masuk dalam distrik Nangapenda. (Bdk Domi Juma Pani Pani Pessa, 1979).
Sebagai salah satu tua adat dengan pangkat Ine Tana dan Ame Watu di wilayah ini, Bapak Paulus tentu sangat fasih dengan perbatasan dan detil-detil sejarah yang terkait dengan lokasi itu.
Dari mulutnya, saya sering mendengar bhea (sapaan adat) yang merangkum wilayah ulayat yang berada dalam koordinasi orang-orang Dodo: Udu Kebi Nuba, Eko Lego Labo di Pantai Utara, Udu Rate Rage Eko Paro Re’e di wilayah Pantai Selatan.
Sekadar diketahui, Rate Rege berlokasi di wilayah Ana Raja, Nangapenda, dan Paro Re’e itu berada di Nangaroro.
Bapak Paulus tidak hanya lancar melafalkan pekikan (bhea) tapal batas, tapi juga setia menjaganya hingga akhir hayat.
Dia setia dalam dialog ketika terjadi konflik dan perbedaan pendapat dengan saduara-saudara dari Labo Lewa yang masih berlangsung hingga sekarang sejak 2014.
Demikian juga Bapak Paulus hadir ketika terjadi konflik perbatasan dengan sama saudaranya dari Lio dalam peristiwa berdarah pada 12 Desember 1978 yang dikenal konflik perbatasan Ende-Ngada. (Bdk Laporan Kepala Daerah Tingkat II Ngada Berupa Penjelasan Lengkap tentang Perbatasan Kabupaten Ngada dan Ende di Kabuera, 15 Januari 1979).
Konflik perbatasan dengan Ende bahkan sudah terjadi sejak tahun 1939 terkait tanah di Togu, Kebirangga.
Raja Nagekeo saat itu J.Djuwa Dobe Ngole dan Bestuur Aisten P.H. Doko turun ke Kaburea dan berdialog dengan rombongan swapraja Lio yang terdiri dari Punggawa Kunu Ndori Wangge (Wakil Raja Lio) bersama para tuan tanah dari Kebirangga, Raja Hasan Arubusman (Raja Muda Ende) dan disaksikan pihak Belanda, yakni Beetbeder (Aspirant Controleur).
Peristiwa 1939 itu diselesaikan dengan dibuatkan Memori Teolichting yang disimpan di Bajawa, satu diberikan kepada Bani Nipa, yang kemudian memori tersebut diambil dan disimpan oleh Kesu Pessa dari Nangapenda.
Pada 30 Maret 1955 juga pernah terjadi pembongkaran bevak di Nangamboa dalam rangka persiapan pembangunan perusahaan semen Ulu Pulu oleh warga dari Tanah Jea atas nama Rasa Gusi, Doo Sea, Eko Kira dan Sumbi Sanggu.
Kepala Daerah Flores (Manteiro) turun tangan bersama Raja Nagekeo dan Raja Ende. Lalu dibuat surat perdamaian antara Kesu Pessa dengan Rae Nipa (Ratedao) dan Waro Nipa (Ute) dengan penegasan segala urusan di Tanah Ute, Rae dan Waro tidak perlu memberitahukan kepada Kesu Pesa. Persoalan selesai.
Sementara itu, gesekan dengan Lio masih terus berlangsung. Tahun 1956 terjadi pembakaran rumah rakyat dan sekolah di Wekaseko oleh masyarakat Kebirangga.
Sejak tahun 1959 gesekan itu diperkuat oleh kehadiran masyarakat Buton di bawah pimpinan La Podhi yang sering berpindah-pindah di wilayah kabupaten Ende dan Ngada.
Gesekan sosial itu terus terjadi, puncaknya adalah i peristiwa berdarah pada 12 Desember 1978 yang dikenal konflik perbatasan Ende-Ngada. Syukur, akhirnya konflik itu bisa diselesaikan.
Naluri kesetiaan menjaga tapal batas yang melekat pada Om Polus Pio Digo mungkin tidak saja diwarisi secara genetik dari Patriark Digo dan Ratja, juga dari generasi yang lebih kemudian, terutama generasi orang-orang Toto yang secara konsisten melawan Belanda, dan yang mengalami konflik dengan ulayat-ulayat tetangga.
Pada waktu perlawanan dengan Belanda, Nipa Do, Kepala Distrik Wolowae mati ditembak, sedangkan Sangu Papu, Kepala Distrik Tana Djea dipenjarakan di Singapura 10 tahun, Kepa Biu (Koekobho) ditangkap, dan ditembak, Do Kepa, putra Kepa Biu dibuang ke Jawa.
Hukuman juga menimpa Datja Dhosa (Watu Api), Deru Gore (Kamubheka) , Rubu Radja (Tiwe) , Sato Djoto (Kaburea).
Itu baru nama-nama dari para tua adatnya, belum terhitung kematian dari warga yang setia di medan peperangan itu.
Tidak berlebihan kalau dikatakan tak ada wilayah di Flores, kecuali di Toto Tata Rea yang para mosalakinya banyak berkorban pada saat penjajahan Belanda.
Sebab, di wilayah lain para pemimpinnya yang mula-mula melawan penjajah, namun secara cerdas dan lincah mudah melakukan politik yang kooperatif dengan pihak Belanda.
Hal itu mendapat penegasan dari sejarawan Jerman, Stefan Dietrich ketika menilai perlawanan terhadap Belanda di kawasan ini (Perang Watuapi, Agustus 1916-Feburari 1917) sebagai peperangan dengan koordinasi paling rapi dari semua peperangan di Flores. (Stefan Dietrich, Kolonialismus und Mission auf Flores, Klaus Renner Verlag, 1989)
Kesetiaan dalam mejaga wilayah ulayat itu juga mendatangkan kepedihan dan duka lara yang mendalam.
Seorang seniman dari Komunitas Toto Tanarea mencatat kepedihan itu dalam baka-cenda (puisi adat) bertajuk “Buu Bholo Moo”
Dalam penggalan akhir puisi itu tertulis: “Daju nuka nanga. Kapa nu mai, wua ata laki, ada fai pisu kasi” (when) the steamship is arriving. (It comes) to take men aboard. (And Then) woman can only grumble) (Diambil dari Histroy of Flores/google.com).
Mengenang Bapak Paulus, adalah mengenang kesetiaan dalam menjaga tapal batas ulayat, tapi sekaligus juga mengenang kepedihan karena penindasan (jaman Belanda) dan pengabaian pembangunan (pemerintah Indonesia), yang masih terasa hingga saat ini.
Sebagian besar wilayah ini. sejak lama tidak hanya menjadi wilayah pinggiran secara geopoltis (perbatasan Ende/Ngada-Nagekeo, tapi juga marjinal secara sosial ekonomis.
Sebagai catatan, hingga kepergian Bapak Paulus hari ini, akses menuju kampung Koekobho, dimana rumah Bapak Paulus berada harus melewati salah satu ruas jalan terburuk di wilayah Nagekeo.
Demikian juga jalan yang berada di wilayah tetangganya yang berada di Kabupaten Ende menuju kampung-kampung di bawah bukit Toto semisal Watumite dan Maalara.
Itu hanya satu dua contoh wilayah yang ‘kurang mendapat perhatian’. Belum lagi kalau disinggung soal listrik, jaringan telepon,internet dan lain-lain.
Namun demikian, saya yakin kepergian Bapak Paulus Pio Digo tetap patut dikenang dengan kebesaran jiwa. Sebab dia tak hanya telah mewariskan kesetiaan dalam menjaga ‘tanah komunitas, tapi juga semangat juang warga Toto Tana Rea untuk tetap berkanjang dalam pembangunan, tentu tidak lagi dengan semangat “melawan” seperti para pendahulu, tapi dengan gesit ‘berkooperasi’ dengan pemerintah.
Selamat jalan Bapak Paulus Pio Digo. Requiescat in Pace. ***
3 tahun yang lalu