Minggu, 27 Maret 2022 17:11 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
IKATAN Dokter Indonesia (IDI) menggambarkan bahwa Dokter Terawan sebagai sosok yang tidak mau bekerjasama, arogan dan tidak pernah mau datang ketika dipanggil oleh Majelis Kehormatan IDI.
Kalau lihat karakternya sebagaimana testimoni orang orang yang dirawat, mestinya sosok Dokter Terawan adalah seorang yang tidak seperti yang digambarkan IDI itu.
Jadi, mesti ada soal lain dalam seluruh proses ini.
Sampai kini belum terdengar statement dari Dokter Terawan sendiri.
Namun, saya menduga, sikap IDI di atas merupakan impak dari suatu keadaan yang dirasakan oleh Dokter Terawan sendiri, bukan merupakan sebab awal dari seluruh peristiwa ini.
Setuju dengan usul Wakil Ketua Komisi IX, Melky Laka Lena, agar semua pihak dapat membuka ruang dialog dan menempatkan kepentingan publik diatas segala pertimbangan. Juga kepentingan kemandirian bangsa dari sudut pelayanan kesehatan.
Mungkin hal ini perlu dilihat lebih jauh lagi.
Menurut saya, ada dua hal yang mesti disorot dalam kaitan dengan soal ini. Pertama adalah soal IDI sebagai organisasi Profesi. Dokter, Advokat, Akuntan, Apoteker adalah profesi profesi khusus yang diharuskan menempuh tahap pendidikan profesi khusus ( setelah mengantongi gelar sarjana akademis) dan bergabung dalam organisasi organisasi khusus, yang mengatur mengenai kode etik profesinya.
Apakah organisasi Profesi seperti ini harus bersifat tunggal? Advokat punya organisasi profesi lebih dari satu, dan masing masing memiliki kode etik serta juga lembaga etiknya sendiri.
Juga menjalankan pendidikan profesinya sendiri sendiri dengan standard yang ditentukan oleh Kemenkumham.
Apakah IDI bisa seperti itu? Atau apakah organisasi Profesi yang tunggal itu, tidak sebaiknya dibatasi kewenangannya...dan tidak semena mena boleh mencabut hak orang untuk menjalankan profesinya?
Kesewenangannya mencabut hak berpraktek, jelas secara bersamaan mencabut hak rakyat untuk dilayani oleh sang Profesional, dalam konteks kesehatan oleh dokter yang bersangkutan.
Apalagi jika selama praktek kedokterannya, Dokter tersebut tidak pernah merugikan pasien, tidak pernah menimbulkan fatality bagi pasiennya. Bukankah fungsi utama dokter adalah menyelamatkan jiwa pasiennya dari kematian akibat penyakit yang dideritanya ?
Hal lain, jika ada organisasi Profesi yang membuat keputusan yang merugikan anggotanya, kemana anggotanya harus mengadu?
Aapakah ada lembaga khusus dibawah kementerian terkait atau harus ke pengadilan ? Atau masuk ke lembaga politik dengan isu merugikan kepentingan publik?
Masuknya DPR dalam soal ini menyiratkan pendekatan ini.
Pengurus IDI adalah manusia sebagaimana Dokter Terawan juga. Semua bisa khilaf. Apalagi jika kita bicara organisasi apapun, kita tahu akhir-akhir ini banyak infiltrasi masuk ke dalam organisasi organisasi baik politik maupun lembaga publik dari kelompok kelompok yang memang kerjanya merusak suasana suasana yang tentram dalam bingkai kebangsaan.
Apakah IDI juga sudah diinfiltrasi? Kita juga tidak tahu. Itu sebabnya sebaiknya organisasi profesi apapun tidak mengenal wadah tunggal. Dan, sebaiknya juga setiap organisasi profesi harus dibatasi kewenangannya, juga harus dibuat mekanisme pembelaan diri yang menjadi hak anggotanya, diluar lembaga itu.
Hal kedua adalah substansinya. Apakah metoda Dendritic Cell yang dipakai baik dalam brain wash maupun dalam Vaksin Nusantara yang dilakukan oleh Dokter Terawan dan teamnya, memang secara ilmiah tidak bisa dipertanggung jawabkan?
Common Sense
Ini memang bukan bidang saya. Jadi saya tidak berani masuk lebih jauh ke detilnya. Saya hanya gunakan common sense saja.
Pertama praktek brain wash sudah menolong ribuan pasien yang bisa memberikan testimoni langsung.
Jadi secara empiris, metoda ini telah memberikan evidence ( bukti) efektifitasnya dalam menyembuhkan gangguan penyumbatan di pembulh darah bagian kepala, yang dapat meangakibatkan stroke.
Mestinya menjadi tugas science, khususnya bidang kedokteraan, untuk memberikan penjelasan ilmiah soal ini.
Alam telah memberikan fenomena, science punya pekerjaan rumah untuk menjelaskan fenomena itu.
Langkah pemecatan ini bisa dilihat seolah-olah IDI tidak dapat memahami penjelasan ilmiah dari metoda tersebut dan karena itu Terawan harus dipecat agar tidak menggunakan metoda itu walaupun sudadh terbukti eketif menyembuhkan ribuan pasien.
Apakah pendekatan seperti ini juga etis terhadap publik ? Ini pertanyaan saya.
Namun, apakah benar itu adalah metoda yang hanya diketahui oleh Dokter Terawan sendiri?
Jika kita googling dan memasukan kata Metoda Dendritic Cell dalam waktu 30 detik muncul 59 ribu hasil pencarian google tentang hal tersebut. Bahkan, muncul beberapa lab di luar negeri yang juga mengembangkan metoda ini.
Secara common sense saja, hal ini membuktikan bahwa metoda ini bukan hanya dikembangkan oleh dokter Terawan tapi juga berbagai lembaga riset lain.
Jadi, menuduh bahwa dokter Terawan menerapkan metoda medis yang belum bisa dibuktikan secara ilmiah, agak diragukan. Atau, jangan-jangan ada isu lain di sini?
Hal itu harus digali lebih dalam lagi. Dalam dunia kedokteraan dan farmasi, sudah lama ditengarai adanya mafia dalam industri farmasi yang punya kepentingan bisnis triliuan dollar secara global dan memiliki mekanisme pemaksaan halus agar metoda konvensional yang mereka kembangkan dengan perangkat peralatan dan obat yang mereka kembangkan, harus digunakan dalam dunia kedokteraan.
Dan, sangat boleh jadi IDI adalah bagian dari instrumen marketing dari kelompok ini.
Oleh karena itu inovasi-inovasi yang akan merugikan kepentingan mereka, harus segera dihentikan lewat berbagai jaringan yang dikontrol oleh kelompok ini.
Ini juga tema yang seharusnya dilacak. Dokter Terawan dan timnya dikenal melakukan banyak terobosan, termasuk akhir akhir ini terobosan untuk mengatasi penyakit ginjal dan diabetes.
Sangat boleh jadi ada kepentingan bisnis raksasa farmasi global di balik semua ini.
Dan, jika kita bicara soal ini, akhirnya kita harus membicarakan kemandirian bangsa dalam bidang kesehatan. Inovasi yang dilakukan oleh Dr. Terawan dan teamnya, baik dengan metoda brain wash, vaksin nusantara maupun terobosan lainnya adalah langkah langkah positip bagi kemandirian bangsa.
Dan Dokter Terawan sebenarnya tidak sendiri. Banyak anak bangsa lain yang bekerja dalam diam dan sudah secara efektif membantu ribuan orang dengan terobosan terobosannya.
Potensi pengobatan tradisional berbasis herbal di negeri ini misalnya, sangat amat luar biasa, tersebar di hampir seluruh suku Nusantara ini. Kita mestinya tidak perlu tergantung pada industri farmasi global yang mendikte seluruh aspek pelayanan kesehatan kita.
Yang diperlukan hanya langkah terpadu untuk itu serta juga ruang inovasi bagi tenaga tenaga profesional yang bergerak dalam bidang tersebut. Buka ruangnya dan akan bermunculan inovator inovator nusantara dari berbagai daerah.
Kasus dokter Terawan sangat mungkin menyimpan persoalan sangat strategis dalam konteks kemandirian bangsa.
Jika kita melihat meme di atas, maka sepertinya alasan yang dipakai sangat childish.
Mosok, dokter Terawan dipecat dengan alasa "mempromosikan penemuannya secara berlebihan lewat TV, Media Online dan media elektronik lain”. Ahh....mosok itu jadi alasan pemecatan? Gak percaya saya.***
*Penulis adalah DR.Ing Ignatius Jou Iryanto, SF, M.Eng.Sc, CSRS.