Mantovanny Tapung
Selasa, 16 November 2021 18:30 WIB
Penulis:redaksi
FENOMENA di mana anak remaja di kota Ruteng mengalam degradasi moral seperti yang diberitakan di beberapa pekan lalu (bdkwww.florespost.co, 15/11) seharusnya menjadi keprihatinan kolektif masyarakat Manggarai.
Fenomena tersebut memberi gambaran bahwa norma sosial, adat dan bahkan agama tidak lagi menjadi basis rujukan bagi perilaku kaum remaja. Apa yang terjadi pada sekelompok remaja sekolah ini merupakan preseden, bahwa ruang kehidupan generasi kita sedang dilanda demoralisasi.
Menurut saya, kasus ini hanya merupakan ujung dari kerucut gunung es. Masalah besar yang mendasari munculnya perilaku delikuen menyimpang (delikuen) pada remaja ini masih terpendam. Untuk itu, semua pihak memiliki tugas dan tanggung jawab untuk menguak fenomena gunung es ini.
Kasus tersebut mengungkapkan beberapa poin penting di balik pertanyaan tentang mengapa gejala demoralisasi ini mulai muncul di kalangan remaja kita?
Pertama, masifnya pengaruh informasi media sosial yang menawarkan berbagai bentuk gaya hidup berbau kesenangan (hedonisme) sudah merasuk cara berpikir dan berperilaku orang muda.
Sikap selektif dan berpikir kritis serasa melempen ketika determinasi kesenangan di media sosial begitu kuat. Pendidikan nilai, moral dan agama belum cukup kuat untuk bisa menjadi tameng dalam mencegah tawaran menggoda di media sosial dengan berbagai fiturnya seperti facebook, instagram, youtube,Tik Tok, Helo, dll.
Kedua, adanya gejala, pengawasan dari keluarga, masyarakat dan agama melemah, dan cenderung bersikap ‘mengiyakan’, mengamini (permisif) terhadap segala bentuk penyimpangan (dekadensi) moral seperti itu.
Apakah sikap permisif ini secara alamiah muncul sebagai dampak tak sadar dan tak langsung dari era disrupsi, atau karena sudah terbentuk persepsi umum, bahwa trend gaya hidup hedonis sudah menjadi dampak yang tak terbantahkan ketika hidup di era ini. Tentu ini perlu ditelaah lebih dalam lagi melalui kajian dan riset.
Ketiga, adanya krisis teladan. Masa-masa remaja merupakan masa di mana mereka membentuk identitas diri. Salah satu cara membentuk identitas diri adalah dengan mencari figur yang menjadi idola, teladan dan rujukan bagi dirinya.
Ketika remaja tersebut tidak menemukan idola, teladan dan rujukan yang paling dekat dengannya dan paling nyata seperti orang tua, kakak, adik, saudara, guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, maka dia akan mencarinya di ruang lain.
Salah satu ruang yang mudah diakses untuk berselancar mencari idola adalah media sosial dengan berbagai fiturnya. Bahaya dari mengidolakan figur pribadi atau kelompok yang ada di dunia maya, kerap tidak terkontrol, penuh lipstik, tidak nyata, dan tentu tidak ada komunikasi dari hati ke hati. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi perkembangan remaja.
Mereka akan meniru secara lurus saja apa yang dibuat oleh figur atau kelompok dambaannya. Padahal, budaya, tata krama, serta standar moral pergaulan bisa jadi jauh berbeda dengan budaya, tata krama, serta standar moral orang Manggarai.
Keempat, remaja yang terlibat kasus di atas, bisa jadi merupakan korban dari gegar budaya (culture shock) ketika mereka mengalami kehidupan perkotaan yang cukup berbeda dengan suasana di kampung. Remaja yang datang dari desa/kampung dan menuju kota biasanya mengalami gegar budaya ini.
Merujuk pada gagasan Oberg (1960) tentang gagasan ‘culture shock’, seseorang atau sekelompok orang yang bermigrasi dari desa ke kota, pada tahap awal akan mengalami ‘honeymoon stage’, di mana mereka merasakan euforia dan kebahagiaan berlebihan merasakan berbagai kemudahan hidup urban yang bebas, tidak dikontrol dan tidak terikat seperti ketika mereka berada di kampung.
Mereka bisa berbuat apa saya yang mereka maui, termasuk melakukan hal-hal yang tidak senonoh. Namun pada akhirnya, mereka akan masuk pada tahap ‘negotiation stage’, di mana mereka mulai merasakan frustasi dan menemui beragam rintangan dan kesulitan.
Terjadinya perubahan kondisi antara kampung halaman seseorang dengan pola hidup di kota saat belajar, tentu saja akan membuatnya merasa putus asa dan rindu ingin kembali ke kampung halaman.
Tidak jarang pada fase ini seseorang akan mengalami penurunan kesehatan, gangguan psikologis, dan justru menyebabkan seseorang lari pada perbuatan berindikasi frustrasi, seperti mabuk-mabukan, bergaul bebas, menjajakan diri, melakukan tindakan mencelakakan diri (suisidal), dan bahkan mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya.
Kelima, minimnya ruang publik dan ruang kreativitas untuk orang-orang muda, yang mana, menjadi ruang bagi orang muda mengalihkan (sublimasi) dorongan-dorongan psiko seksual keremajaannya. Jika dorongan psiko seksual yang begitu kuat pada masa remaja tidak dialihkan secara kreatif kepada hal-hal yang sifatnya produktif-konstruktif, maka hal bisa menjadi malapetaka baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat. Masa remaja merupakan masa gejolak, tetapi di sisi lain, adalah masa penuh semangat untuk bergerak dan melakukan berbagai aktivitas.
Dengan demikian, perlu ada ruang publik-kreatif bagi mereka untuk menyalurkan gejolak dan semangat bergerak ini, seperti ruang berkreasi dalam bidang seni, olah raga, diskusi ringan, dan membentuk komunitas kreatif, dan lain-lain. ***
*Artikel ini ini ditulis oleh Jivansi berdasarkan wawancara dengan Mantovany Tapung. Mantovanny Tapung, adalah pemerhati masalah sosial, dosen Unika St. Paulus Ruteng, alumnus Program Doktoral Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. ***
3 tahun yang lalu
3 tahun yang lalu