Indonesia
Rabu, 28 Juni 2023 07:20 WIB
Penulis:redaksi
Oleh P. Kons Beo, SVD
MELKI Sedek Huang, Ketua BEM UI kelahiran Pontianak, di hari-hari ini lagi melejit ketenarannya. Katakan ia sepertinya lagi pansos. Mengudara sambil menempel pada ‘sayap Jokowi.’
Di setahun terakhir Pemerintahan Jokowi, Huang lagi gulana akan nasib ibu pertiwi. Akankah semuanya bakal berakhir damai dan sejuk? Ataukah sebaliknya akan berdarah-darah dalam situasi khaos? Ini yang menyentak memang.
Huang tampaknya telah bikin perhitungan sendiri. Rasa tak adil, koruptif, bau sumpek dari segala eror anti demokrasi selama ini mesti disadari Jokowi dan terutama masyarakat luas.
Iya, terutama di jelang 2024 ini. Huang tak peduli entah ia punya data atau tidak di balik semuanya. Intinya ia sudah bicara lantang, tegas, serta nampak bernyali.
Sepertinya euforia akan kepuasan masif di atas 80 persen terhadap kinerja presiden, tidak boleh membius kesadaran akan kenyataan suram versi Huang terhadap kepemimpinan Jokowi sebagai presiden. Itu yang jadi intensi Huang untuk bersuara.
Suara BEM UI di bawah Huang, yang walau tak seberapa bagai gempa berskala kecil, setidaknya diharapkan akan munculkan ‘tsunami politik’ berskala nasional mahadahsyat. Jokowi mesti ‘diteror’ dengan arus politik yang menekan seperti itu.
Tetapi, Jokowi sebagai presiden telah terbiasa dan makan garam dalam tekanan demo jalanan atau orasi mimbar mahasiswa.
Namun bagi Huang sepertinya ‘akhir kekuasaan Jokowi’ ini adalah momentum krusial yang mesti dibidik serius sebagai oportune (kesempatan) yang tak boleh disia-siakan begitu saja.
Tapi mari menafsir Huang selanjutnya. Dari kesegalaan tampilan Huang itu terbacakah adanya harapan sejuk akan sebuah happy ending nation’ leadership di bawah Jokowi?
Ataukah sebaliknya tak tersembunyi gimik politik Huang bahwa Indonesia di akhir Pemerintahan Jokowi siap kecebur ke dalam rawa-rawa failed nation? Dan di situlah alasan untuk berdarah-darah temui modus pembenarannya.
Bila ditelisik dari sisi lain, maka andaikan saja bahwa bukannya ‘akhir kekuasaan Jokowi’ yang jadi fokus. Tetapi bahwa ‘awal kepemimpinan baru bagi Indonesia 2024’ itulah yang mesti dibersihkan dari aroma Jokowi.
Pengaruh dan suara Jokowi mesti dibenam demi next Indonesian leadership itu. Jika demikian, maka pertanyaan di ruang publik mesti diseriusi: Sebegitu dalamkah rasa prihatin Huang akan nasib miris bangsa?
Dan karenanya tak ada lagi diksi lembut dan santun selain ungkapan ‘berdarah-berdarah?’ Rasanya sulit masuk di akal dan sejukan hati.
Atau andaikan pula bahwa suara Huang adalah suara titipan dalam forma politik. ‘Biduk Jokowi’ mesti dihentikan dalam pelayaran politik nasional selanjutnya.
Atau dalam bahasa Amin Rais, Jokowi mesti dibikin jadi bagai ‘bebek lumpuh.’ Jokowi, bisa jadi, sudah punya ‘dosa besar’ dalam menghalangi secara serius sekian banyak pribadi, organisasi masa, unit-unit masyarakat, yang terkatung-katung tak jelas nasib kepentingannya.
Biarkan ia ia duduk terpaku untuk beku dalam pengaruhnya.
Sebab itulah Huang mesti dibikin ‘cerdas politik.’ Bernyali untuk bersuara. Tentu benar, Jokowi tak selamanya bagai bintang bersinar. Tetap ada ketersendatan dalam upaya dan perjuangan memimpin negeri yang tak mudah dan ada sisi kesuramannya. Namun, haruskah akhir kekuasaan Jokowi mesti ditandai berdarah-darah? Rasanya dan terdengar hyperbolik bin exagerated memang
Yang mudah ditafsir praktis adalah adanya harapan dari gelombang anti Jokowi agar Jokowi tak perlu ‘cawe-cawe’ seperti harapan Jusuf Kala. Jokowi mesti hening dan bahkan ‘mati total dalam apapun gesture politik demi 2024 nanti. Karenanya Jokowi mesti digertak dengan ‘berdarah-darah itu.’ Tidakkah ini terdapat sinyal kekerasan? Yang sungguh digandrungi oleh para ‘pencinta kekerasan?’
Tetapi mungkinkah suara lantang Huang adalah seruan profetik politik demi gema dan geliat people power yang coba ditenar-gemakan belakangan ini? Tak mudah memang bagi Huang yang lagi selesaikan kuliah untuk dipakai sebagai ‘biro jasa kepentingan politik’ dari segelintir individu dan kelompok tertentu.
Namun, sepantasnya mayoritas tumpah darah Indonesia tetap sejuk di hati. Tentu sambil tetap cerdas, tegas dan bijak hadapi ramalan maut ‘berdarah-darahnya’ si Huang. Serasa beda-beda tipislah antara Huang yang sungguh cerdas dan melek politik dan jeli membaca situasi kemasyarakatan ataukah Huang sebenarnya lagi ‘digarap dan dipakai’ demi libido kepentingan sekelompok tertentu yang selama ini merasa ‘terluka karena faktor Jokowi?’
Bagaimanapun, sebenarnya bagaimana dan ilham apakah di balik ungkapan hati berdarah-darahnya si Huang? Teror seriuskah Huang? Atau dia sebenarnya lagi bersuara lepas sekadar gertak sambal yang lagi cari dan bikin panggungnya sendiri demi masa depannya sendiri pula? Iya, ingin bikin sejarahnya sendiri?
Tapi bagi orang sejenis Refli Harun, misalnya, si Melki Sedek Huang adalah ciri mahasiswa cerdas dan kritis akan situasi bangsa yang tengah terjadi. Karenanya si Huang mesti diapresiasi dan didukung.
Tetapi pasti tidak dalam dan dengan suasana barbarian nan jahiliyah berdarah-darah itu.
Bukankah demikian?
Verbo Dei Amorem Spiranti
Penulis, rohaniwan Katolik, tinggal di Roma
sebulan yang lalu