Tuhan
Kamis, 18 September 2025 17:42 WIB
Penulis:redaksi
"Duduknya tenang; pikirannya perang..." (terbaca di satu kaos oblong)
Kons Beo, SVD
SSEMUANYA ada di titik batas. Katanya, janganlah kurang. Tetapi jangan juga lejit berlebih-lebihan. Buatlah sekian agar seimbang. Keep ballance! Hidup ini, katanya, punya harmoni kosmik. Tinggal saja belajar bagaimana memaknainya di alam nyata.
Itulah sebabnya, semuanya mesti dikontemplasikan. Agar di muaranya semuanya tertata wajar, normal. Masuk di akal serentak enak pula di hati.
Pada pas-pasnya. Jika mesti dibilang dalam karoseri praktisnya, maka beginilah maksudnya: bertindaklah atau bersikaplah penuh terukur. Sewajarnya. Ini belum terhitungl lagi dengan isi dan cara omong. Iya, itu berpautan dengan kontent dan lagak bicara.
Yang nyata-nyata belakangan ini terbaca adalah soal pada 'ukuran bicara kita di ruang publik.' Jangankan isi bicara, yang lebih bikin sedih dan tak karuan di hati adalah 'gaya bicara' yang semakin penuh nyinyir bahkan telah terjerembab vulgarnya.
Isi dan gaya bicara kita semakin angkuh 'tinggi diri', dan pada saat yang sama hendak muliakan diri sendiri. Itulah sebabnya selalu ada komen dan suara yang 'merendahkan, mengejek, dan bahkan vmenghina sehina-hinanya.'
Baca Juga: Pastor Katolik Leawood Keuskupan Agung Kansas City Mengundurkan Diri di Tengah Investigasi Polisi
Siapa mau dengar siapa? Bicara yang tak sepantasnya dan bergaya bicara yang tak berkeadaban.
Kita telah keluar dari lintasan. Terperangkap offside dari etika umum; terjebak dalam lusinan pelanggaran. Namun, permainan ini sepertinya (dibiarkan) laju berjalan terus. Kita telah kehilangan standar, norma, patokan, basis.
Iya, kita telah benar-benar kehilangan ukuran (umum), dan dipaksakanlah ukuran sendiri. Tak peduli ukuran itu aneh, asing, cacat, kabur atau bahkan anomali berat.
Pastikan satu ukuran kajian ilmiah; berstandar scientifik-akademik, namun terindikasi terdapat banyak borok halusinasinya. Bagai mimpi di siang bolong.
Yang selalu dikobar-kobarkan adalah peneliti, namun ada banyak hasil penelitian penuh bisul busuk yang terkuliti non ilmiah.
Yang dituntut dari pihak lain, lawan bicara adalah ukuran pasti dalam standar kebenaran dan kejujuran. Padahal yang terucap lidah sendiri itu 'banyak putar bale dan sarat tabola balenya.'
Itulah arus deras kecenderungan hati dan pikiran kita. Yang salah, bejat, najis dan palsu hanya ada pada orang (pihak) lain.
Hanya kitalah yang suci lahir dan di dalam batin.
Tetapi yang tengah dipertontonkan itu adalah pertarungan antara perjuangan menggapai kebenaran versus segala cara pamerkan kebatilan.
Ternyata benarlah sabda sang Sabda: "Ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan padamu." Dan bahwa kita "mesti keluarkan balok di dalam mata sendiri, untuk melihat selumbar di dalam mata sesama."
Yang diributkan itu amatlah sepele. Tak menyangkut orang banyak walau seperti dipakskan 'atas nama rakyat.' Apa arahnya tetap dalam kabur. Ukuran dasarnya awalnya adalah benci! Dikemas dalam dendam.
Diributkan dalam gemuruh tak etis, berujar. Tak senonoh dalam diksi. Sampai kapan ini semua mesti berakhir? Entahlah...
Kita hidup dalam alam teror. Iya, dalam alam 'kejutan.' Yang semula damai, aman, sejuk, dan bersahabat, kini semua mesti dikejutkan dengan banyak soal tetek bengek yang bikin 'teror - kejutan' itu.
Untuk bikin kejutan, iya teror itu, memang perlu modal. Tentu tak luput dari tebalnya mamon pelicin. Ada lagi, itu tadi, rasa benci yang diternak dalam dendam. Mesti ada juga mental baja dan tebalnya muka untuk bertahan dalam banyak irasionalitas.
Teror itu pun butuh panggung pentas. Iya, panggung keributan. Jauh dari budaya dan habitus etika berbicara. Dan parahnya lagi 'mesti bikin diri sendiri seperti OGDJ. Kaum tak waras.
Baca Juga: India: Komunitas Katolik Manipur Jadi Jembatan Perdamaian dalam Konflik Etnis
Tapi teror seperti itu nampaknya sudah dikaroseri dengan ukuran harus punya kita. Teror seperti itulah yang masih tetap sengit digencarkan Ti-Ro-Ris (Tifa - Roy - Rismon). Semuanya atas nama 'kebenaran dan kejujuran, punya legal standing, dan yang terpenting demi rakyat.'
Dan demi cita-cita luhur ini, dipaksakanlah basis ukuran sempit - picik standar sendiri. Katakan itu seperti akui diri sendiri sebagai 'ahli, peneliti ilmiah, berbasis data.'
Ukuran lain sebagai countering pembanding? Itu yang dicela dan didamprat dalam cengar-cengir tipis murahan hingga pada teror ad hominem.
Ti-Ro-Ris telah membara bikin kejutan. Umpamakanlah sebagai satu pertandingan sepakbola: Bertiga ini angkat diri sendiri sebagai trio penyerang maut, aturan main dengan ukuran punya sendiri. Lawan-lawan ditackling dan dibabat suka-sukanya.
Stadion Utama buat Ti-Ro-Ris 'berpesta' itu adalah Suara Rakyat dengan Aiman sebagai wasit utama dan tunggal, yang dikritisi publik terlalu berat sebelah. Manjakan Ti-Ro-Ris untuk beria-ria dengan banyak tendangan bebas dan liar.
Bagaimana pun, sudah selesai kah pertandingan ini? Dalam ukuran Ti-Ro-Ris jelas "sudah!" Ukuran entengnya 'Semuanya telah tamat dalam meterai scientifik hasil penelitian bukan abal-abal: Jokowi's White Paper.'
Iya, buku mahakarya ilmiah ini dipastikan kokoh dengan ukuran sendiri. Telah final, terikat rapat dan tertutup mati dalam ukuran kebenarannya sendiri.
Namun, tampak benderang, belakangan ini, cemas mendera. Nyatanya, laga belumlah usai. Stadion utama sesungguhnya itu Balai Pengadilan. Bukanlah segala semburan kata dalam akting di luar etika, seperti di gelanggang 'Rakyat Bersuara' itu. Bukan!
Namun, publik lagi-lagi mesti bersabar untuk kesudahan semuanya. Ti-Ro-Ris telah pastikan 'Sekesailah sudah!' Ada harapan besar publik telah digunduli segala atensi positif terhadap Jokowi. Itu sasar politik yang diinginkan.
Iya, diyakini telah berpartisipasi dalam 'rasa benci massif' akan segala yang beraroma Jokowi.
Tetapi di ribut-ribut kecil yang digemparkan seru di 'Rakyat Bersuara' seperti apakah standar posisi dan ukuran manuver Prabowo?
Ssst mungkin kah Prabowo lagi 'nikmati kisruh ini?' Belum terbaca campur tangan Prabowo itulah usahanya tanamkan keyakinan publik: Presiden ada di posisi netral. Tak terkesan sedikitpun terjerembab dalam intervensi hukum.
Prabowo di kisah ini jelas mesti buktikan bahwa ia bukanlah bayang-bayang Jokowi. Bahwa ia sungguh 'otonom, independent.' Prabowo mau tegaskan bahwa "Hidup Jokowi..." hanya berlaku saat itu saja. Selanjutnya 'dialah kini matahari satu-satunya di seantero negeri.'
Baca Juga: Ibadat Penutup: Tuhan, Allah Kami, Semoga Berkat PerlindunganMu Kami dapat Tidur Nyenyak
Mungkin saja, tak hanya Prabowo, atau kelompok di lingkarannya atau pun kelompok pembenci Jokowi, atau juga para pesaing (dinasti) Jokowi, semuanya lagi sekian berharap 'asap kelam ijasah palsu Jokowi' biarlah tetap mengepul dan lalu berhembus ke sana ke mari seantero negeri.
Biarlah publik tiba pada antiklimaks untuk membenci dan menghadang (dinasti) Jokowi demi langkah-langkah politik selanjutnya.
Jelaslah, di caruk maruk Ijasah Palsu Jokowi, semua pada bertahan pada standar dan ukurannya sendiri-sendiri.
Ti-Ro-Ris, iya si Tifa, si Roy, dan si Rismon telah pastikan ukuran sendiri. Sebab di balik semuanya ada 'hidden agenda' dengan misi yang disamar-senyapkan.
Yakinlah, di balik Ti-Ro-Ris dan pergerakannya pastilah ada orang-orang kuat. Yang bisa saja tampak adem-adem tak bergelora, namun sebenarnya kibaskan suasana panas.
Iya, seperti yang tertulis di kaos oblong itu:
"Duduknya tenang pikirannya perang."
Verbo Dei Amorem Spiranti. ***