'Vaksin Pastoral' dan Realitas Gereja Keuskupan Agung Ende di Tengah Pandemi Covid-19

Senin, 09 Agustus 2021 19:57 WIB

Penulis:redaksi

Editor:Redaksi

RD DI DOMA.JPG
RD. Denold Nuwa adalah imam Keuskupan Agung Ende, mahasiswa Universitas Pontifical Urbaniana, Roma. (Dokpri)

Catatan seputar zoom meeting SLoki-KAE, Vol. 2

Oleh RD. Denold Nuwa*

Bagian I

PADA hari Rabu, 28 Juli 2021 para imam muda Keuskupan Agung Ende (KAE) yang tergabung dalam grup SLoki-KAE (Saluran Obrolan Karya Iman - Keuskupan Agung Ende) menggelar, untuk kedua kalinya, diskusi terbatas via Zoom dengan tema utama 'Uji Klinis 'Vaksin Pastoral' di Tengah Kegelisahan Pandemi Covid-19.' 

Melihat flyer yang di-share di grup WA, langsung muncul keterpikatan dan penasaran untuk tidak melewatkannya. Judul ini terkesan wow dan menarik. Kata-kata seperti uji klinis, vaksin dan Covid-19 tentu menjadi sangat aktual di masa ini. Pandemi Covid-19-lah yang telah menjadikan kita semakin sering bicara tentang vaksin atau uji klinis, dua kata yang turut muncul dalam judul diskusi ini.

Vaksin adalah produk biologi atau zat yang dimasukan ke dalam tubuh untuk menstimulasi sistem kekekalan tubuh (imunitas). Dia melindungi manusia dari penyakit yang menular termasuk Covid-19. Namun sebelum suatu vaksin diproduksi dan digunakan secara masal, dia harus melewati tahapan uji klinis untuk memastikan kelayakan, efektivitas dan keamanan penggunaannya. Vaksin Covid-19 yang kini digunakan tentu saja telah melewati tahapan uji klinis. Ini kerjanya para ahli yang patut diapresiasi dan disyukuri.

Kini yang dibicarakan adalah “vaksin pastoral” di tengah kegelisahan pandemi Covid-19. Menengok tema diskusi ini, saya menemukan dua hal penting yang membingkai diskusi berbobot ini.

Pertama, adanya keprihatinan besar para imam milenial di KAE terhadap situasi pastoral yang kian menggelisahkan lantaran pandemi Covid-19 yang belum usai. 

Kedua, adanya semangat intelektual-akademis sebagai gerakan bersama untuk terus belajar, membangun solidaritas serta tidak lupa mencari solusi terbaik dalam memecahkan kebuntuan di saat-saat krusial seperti yang kita alami saat ini. 

Hemat saya, para pastor memang harus menjadi ahli di bidangnya. Seorang pastor dituntut piawai meramu “vaksin pastoral” dan memberikan dosis yang tepat di setiap masalah yang dihadapi terlebih di tengah situasi yang menuntut imun dan iman yang kokoh.

Selain tema utama di atas, terdapat tiga sub tema yang dibahas oleh tiga pembicara yang dihadirkan dalam diskusi ini. Mereka adalah para imam muda KAE yang bekerja di paroki dan lembaga pendidikan yang pada masa ini sedang bergulat dengan karya pastoral di tengah tantangan Covid-19.

Pembicara pertama adalah Romo Aris Guru, pastor paroki muda yang mencoba merefleksikan pelaksanaan Musyawarah Pastoral (Muspas) VIII KAE di masa pandemi. Tentu saja menarik karena inspirasi padang Maronggela tempat Romo Aris berkarya memberi nuansa tersendiri guna memacu daya refleksi menjelang pelaksanaan Muspas yang telah tertunda setahun lamanya.

Pembicara kedua adalah Romo Wilhelmus Bertolomeus atau yang akrab disapa Romo Joys,  Pastor Paroki Langa yang kini sedang sibuk membangun Gereja paroki yang baru. Pastoral “Sak Semen” tentu penting untuk mendukung pastoral sakramen di paroki-paroki, dan persis di masa pandemi ini sharing dan refleksi Romo Joys menjadi hangat untuk diperbicangkan.

Sementara itu, pembicara ketiga yang dihadirkan adalah Romo Dino Amawawa, seorang formator di Seminari Menengah St. Yohanes Berkhmans Todabelu-Mataloko, yang kini harus menjaga api pendidikan bagi para seminaris agar tidak padam oleh tiupan badai pandemi Covid-19.

Muspas KAE dan suara yang berseru-seru di padang Maronggela

Mendengarkan seorang pastor paroki berbicara tentang Muspas KAE merupakan hal yang menarik bagi saya. Kita boleh mengatakan bahwa para pastor paroki adalah garda terdepan yang menjadi eksekutor serentak suksesor pelaksanaan berbagai program Keuskupan untuk mencapai visi menjadi persekutuan umat basis yang Injili, mandiri, solider dan misioner. Yang berhadapan langsung dengan umat di komunitas-komunitas umat basis adalah pastor paroki. Merekalah yang paling tahu situasi umat, paling mengenal situasi dan kondisi pastoral serta paling merasakan dampak pandemi bagi karya pastoral di medan pelayanan.

Ketika Romo Aris merefleksikan penyelenggaraan Muspas di tengah pandemi, titik tolaknya adalah realitas konkret di medan di mana ia menggembalakan domba-dombanya. Padang Maronggela dengan “bukit Teletubies” yang indah menjadi saksi nyata kerja keras seorang gembala yang menjaga dan menuntun domba-dombanya, bahkan dalam menemukan domba yang hilang dan tersesat. Tentu saja ini semua juga menjadi bagian dari tujuan Muspas itu sendiri.

Muspas dan Sinode adalah dua nama yang berbeda, tapi sejatinya memiliki makna dan maksud yang sama. Kitab Hukum Kanonik tahun 1983 mendefinisikan Sinode sebagai himpunan imam-imam dan orang-orang beriman kristiani yang terpilih dari Gereja partikular, untuk membantu Uskup diosesan demi kesejahteraan seluruh komunitas diosesan (KHK No. 460). 

KAE sendiri hingga saat ini mempertahankan istilah ‘Musyawarah Pastoral’ hingga penyelenggaraannya yang ke-7 pada tahun 2015 yang lalu. Namun yang terpenting adalah Muspas ataupun sinode harus menjadi sarana untuk menemukan inspirasi dari tingkat paling bawah dan secara bersama merancang dan membangun gerakan bersama untuk mencapai apa yang menjadi visi dan misi bersama.

Menurut Romo Aris, Muspas mesti menjadi kesempatan untuk menampung dan mendengarkan aspirasi akar rumput dan tidak sekedar berisikan pembicaraan seputar program yang begitu banyak dan harus dibuat di tingkat paroki hingga Komunitas Umat Basis (KUB).

Muspas KAE yang ke-8 sedianya diselenggarakan pada tahun 2020 silam. Namun situasi pandemi yang semakin parah membuat Bapak Uskup dan panitia penyelenggara menundanya dan hingga kini belum dilaksanakan. Tentu saja ini pilihan yang tepat mengingat Covid adalah ancaman bagi keselamatan dan kemaslahatan banyak orang. Bukan hanya semata-mata untuk bersinergi bersama pemerintah yang sedang berjuang memutuskan rantai penyebaran virus berbahaya ini, tapi terutama karena pilihan untuk mencintai dan merawat kehidupan merupakan pilihan utama di atas segala-galanya. Jika perjumpaan fisik dan pengumpulan orang banyak dalam penyelenggaraan Muspas itu mengancam keselamatan jiwa maka amatlah arif jika perhelatan akbar itu ditunda atau dicarikan alternatif lain bagi pelaksanaannya.

Menyimak pembicaraan yang terjadi dalam diskusi ini, saya menemukan adanya keseriusan para imam muda untuk membicarakan metode terbaik bagi penyelenggaraan Muspas dimaksud. Muspas itu penting dan menjadi kebutuhan di tengah rancang bangun karya pastoral di Keuskupan ini, tetapi bentuk dan cara pelaksanaannya menjadi bahan diskusi yang menarik di tengah situasi yang kurang bersahabat ini. 

Saya menangkap sebuah sinyal yang mewakili keinginan banyak pihak agar Muspas kali ini diselengarakan dengan bentuk dan tampilan yang berbeda. Muspas diharapkan dibuat dari tingkat Tim Pastoral Antar Paroki Tetangga (TPAPT) dan kemudian berproses ke komisi dan sampai pada tingkat Keuskupan yang dimotori oleh Tim di Pusat Pastoral (Puspas) sebagai “dapur”nya karya pastoral Keuskupan. Pastinya ini bukan keputusan, ini tetap hanyalah sebuah aspirasi.

Di samping itu, internet memungkinkan kita untuk melakukan Musyawarah secara daring atau online, misalnya melalui aplikasi zoom, meskipun disadari pula bahwa kekuatan sinyal tidak selalu sama kuat di berbagai belahan wilayah di seluruh Keuskupan ini. Hanya saja inilah pilihan di tengah kenyataan pandemi yang belum usai. Setidaknya Musyawarah tetap bisa dilaksanakan meskipun dengan “wajah” yang berbeda. 

Benar bahwa terasa ada yang kurang karena kita kehilangan momen perjumpaan fisik yang penuh kehangatan dan pastinya mempunyai nilai rasa berbeda dengan sesuatu yang maya dan mengandalkan kekuatan sinyal. Namun hingga sekarang kita belum tahu kapan pandemi ini akan berakhir dan yang kita tahu pasti hanyalah bahwa kita harus tetap taat pada protokol kesehatan (prokes).

Terlepas dari pembicaraan seputar bentuk dan metode yang akan dipakai dalam penyelenggaraan Muspas nanti, saya pun menemukan hal menarik lain dari pemaparan Romo Aris. Beberapa kali Romo Aris menyampaikan pentingnya mempertimbangkan situasi dan kondisi setiap paroki yang berbeda-beda. 

Secara spontan muncul dalam benak saya bahwa seturut amanat Muspas seorang pastor paroki bertugas merealisasikan visi-misi pastoral Keuskupan dalam pelaksanaan program dan kegiatan pastoral di parokinya masing-masing. Maka bukan hanya soal metode, tapi juga isi atau substansi menjadi hal yang sangat penting. Musyawarah Pastoral adalah metode sekaligus isi, yang dalam harapan Romo Aris sendiri, tidak hanya harus taat prokes, tapi juga taat pada semangat dasar Muspas atau Sinode itu sendiri, yakni terinspirasi dari akar rumput serta mampu mendengarkan jeritan dari bawah.

*RD. Denold Nuwa adalah imam Keuskupan Agung Ende, mahasiswa Universitas Pontifical Urbaniana, Roma.