WORALOGI: Mengapa Orang Menghina?

Kamis, 04 Desember 2025 07:09 WIB

Penulis:redaksi

Editor:redaksi

gusti.jpg
Gusti Tetiro (Dokpri)

Oleh: Gusti Tetiro

Mengapa orang menghina? Karena tidak saling mengenal. Mengapa orang berlaku kejam? Karena tidak pernah baku paham.

Dua hari terakhir ini kita disuguhkan konten media sosial yang bisa menghibur, lucu, baku ganggu, menertawakan diri sendiri, menertawakan teman akrab, dan banyak hal yang menghibur.

Akan tetapi, kita tidak boleh menutup mata. Ada ratusan ujaran kebencian, ada banyak hinaan dan tidak sedikit juga perlakuan kejam secara verbal.

Benar itu terjadi di media sosial, namun sedikit banyak media sosial adalah cerminan dari hasrat terdalam orang, yang oleh industri ditangkap dalam algoritma, dan oleh kita mulai menebak-nebak kondisi dan orientasi psikologis seseorang.

Kita sering dengar orang bilang, "paham saja dia ada kecewa dengan mantan suaminya orang Ende, makanya semua yang berkaitan dengan Ende dia benci"

Atau: "Dia tidak pernah ke Bajawa sih, maka dia hanya tahu Bajawa itu sayur labu. Kita yang pernah di Bajawa tahu kalau uta tabha ne'e tua bhara itu enak ma'e tolo tau, meooo..."

Saya tidak habis pikir bahwa orang Ende, Bajawa dan Nagekeo saling menghina, menyebarkan ujaran kebencian, kejam dalam kata-kata, dan tegaan dalam menyudutkan salah satu pihak.

Tidak habis pikir ini mungkin karena saya tidak mengetahui realitas terdalam. Tetapi, realitas yang mana? Saya mulai menduga, jangan-jangan hal-hal negatif itulah yang bukan realitas, tetapi suatu letupan emosi sesaat yang sering diabaikan oleh kebanyakan orang, tetapi yang sejurus kemudian disesali oleh sang aktor.

Ini terbukti, karena banyak orang memposting ujaran kebencian dan hinaan di medsos yang kemudian dihapusnya lagi. Mungkin karena target tercapai atau menyesal di dalam dirinya sendiri.

Saling kenal dan baku paham itulah kunci. Saya punya banyak hal yang bisa diolah menjadi bahan untuk menghina orang Bajawa dan orang Nagekeo dengan kacamata saya sebagai anak Ende. Tetapi, untuk apa? Toh, mereka juga banyak tahu tentang Ende dan budaya saya yang tidak masuk dalam cara berpikir mereka, dan bisa diolah juga sebagai bahan hinaan.

Bagi saya, persahabatan dan persaudaraan itu segalanya. Kalau saya hina orang Bajawa, untungnya apa? Malah saya rugi.

Rugi toh kalau ke Mataloko, Melki Mita, Ose Djaga dan Ciu Dopo tidak ajak nalo. "Wee lasu malas teman dengan kau yang su hina kami". Kan, rugi, hehe.

Baca juga:

Atau saya masuk kota Bajawa kena cegat dari Ira Fao dan tidak diberi senyum selamat datang kaka Ngori, kan waka dhoro. Hehe.

Kalau saya ingat mereka punya muka yang tidak ganteng dan tidak cantik tetapi baik hati itu, ya urung niat saya buat berlaku kejam secara verbal. Di hadapan wajah, kita semua terpanggil untuk bertanggung jawab, kata Pater Felix Baghi, orang Laja yang belajar Etika Wajah.

Begitu juga buat apa saya berlaku kejam pada orang Nagekeo? Bupati Nagekeo saja kalau ketemu saya selalu puji, "Ari ganteng...."

Kan, orang ganteng tidak boleh berlaku kejam: menghina dan mencemooh orang lain.

Saya tidak mau lewat di Nangaroro, ka'e VDS palang kami punya oto. Atau ke Kotakeo, Anies Wea tutup jalan. Kami bertiga ini pernah serumah dan sudah macam kandung.

Saya tidak mau juga kalau perut sakit di Mbay karena kebanyakan makan lemak tidak dilayani obat dan minyak kayu putih di apoteknya Erni dan Ryan Depa. Atau ditolak dokter yang pernah saya naksir di RSUD Aeramo. "Untuk ka'e, obat habis"

Ampun deh! Hehe

Saya tidak mau tambah-tambah dengan contoh-contoh genit yang lain yah. Hahaha.

Intinya begini saja: kita perbanyak baku cari teman antardaerah, nanti cara kita terima dan paham mereka akan terus berkembang ke arah yang lebih mendukung peradaban daripada memantik perang saudara.

Kita punya bahasa daerah mirip-mirip. Kemungkinan besar kita punya nenek moyang baku wurumana-wailaki zaman dulu. Jangan buat gerak tambahan yang tidak perlu!  ***