Ironi di Tanah Surga: Warga Labuan Bajo di Tengah Gempuran Pariwisata Elit

redaksi - Sabtu, 25 Oktober 2025 08:36
Ironi di Tanah Surga: Warga Labuan Bajo di Tengah Gempuran Pariwisata ElitVinsen Patno, pria asal Rego tinggal di Labuan Bajo. (sumber: Dokpri)

Oleh: Vinsensius Patno

LABUAN BAJO, sebuah kota kecil di ujung barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, kini menjelma menjadi salah satu destinasi wisata paling bergengsi di Indonesia. 

Kota ini dikenal sebagai gerbang menuju Taman Nasional Komodo, umah bagi hewan purba yang mendunia. 

Labuan Bajo menawarkan panorama laut biru, pulau-pulau eksotis, dan matahari terbenam yang menawan. Pemerintah pun menempatkannya sebagai salah satu dari lima Destinasi Super Prioritas Nasional (DSPN), bersama Danau Toba, Borobudur, Mandalika, dan Likupang. 

Pembangunan infrastruktur besar-besaran pun digencarkan: bandara diperluas, pelabuhan diperbarui, dan hotel-hotel mewah bermunculan di sepanjang pesisir.

Namun, di balik wajah glamor ini, muncul kenyataan yang jauh berbeda. Ketika investor dan wisatawan menikmati kemewahan pariwisata, masyarakat lokal justru menghadapi kehilangan tanah, budaya, dan kedaulatan atas ruang hidupnya sendiri. 

Inilah paradoks pembangunan di Labuan Bajo: surga bagi wisatawan, tetapi penderitaan bagi sebagian warganya.

Rumusan masalah:Bagaimana mungkin pariwisata yang digadang-gadang untuk menyejahterakan masyarakat justru membuat penduduk lokal semakin termarginalkan di tanahnya sendiri?

Potret salah satu sisi Kota Labuan Bajo (Foto: istimewa).

Analisis dan Kritik terhadap Model Pariwisata Labuan Bajo

Model pariwisata yang diterapkan di Labuan Bajo memperlihatkan pola kapitalistik dan sentralistik, di mana keuntungan utama mengalir ke investor dan pemegang modal besar.

Masyarakat lokal hanya menjadi “penghias” dari pembangunan yang tidak mereka kendalikan.

Struktur seperti ini menunjukkan adanya relasi kuasa yang timpang — pemerintah sebagai fasilitator investasi, investor sebagai pemegang kendali ekonomi, dan masyarakat lokal sebagai pihak pasif yang terdampak. 

Dalam konteks ini, pariwisata berubah menjadi bentuk kolonialisme ekonomi modern: sumber daya lokal dieksploitasi untuk kepentingan global, sementara masyarakat kehilangan kontrol atas tanah dan budayanya.

Kritik terhadap model ini bukan berarti menolak pembangunan, melainkan menyerukan pembangunan yang manusiawi dan inklusif. Pembangunan seharusnya melibatkan masyarakat secara aktif, bukan menjadikan mereka sekadar penonton di panggung kemajuan.

Upaya dan Harapan Menuju Pariwisata Berkeadilan

Kehadiran investor memang membawa modal dan infrastruktur, tetapi juga menciptakan ketimpangan baru. Banyak proyek wisata dikuasai oleh perusahaan besar dari luar daerah bahkan luar negeri. 

Masyarakat lokal hanya ditempatkan sebagai pekerja kasar tanpa jaminan kesejahteraan. Lebih parah lagi, kebijakan tata ruang yang berpihak pada investor menyebabkan banyak kawasan pesisir dan adat beralih fungsi menjadi area privat. Akses masyarakat terhadap laut dan lahan semakin terbatas.

Pemerintah tampak lebih fokus pada pertumbuhan ekonomi dan citra pariwisata global, sementara aspek keadilan sosial dan partisipasi masyarakat sering kali terabaikan.

Realitas Sosial-Ekonomi Masyarakat Lokal

Pembangunan yang megah ternyata menyisakan banyak luka sosial. Harga tanah di Labuan Bajo melonjak tajam, memaksa banyak warga menjual lahan mereka. Setelah tanah berpindah tangan, mereka kehilangan sumber penghidupan dan terpaksa tinggal di pinggiran kota. 

Sebagian besar lapangan kerja di sektor pariwisata hanya tersedia di level rendah—sebagai petugas kebersihan, pelayan, atau pemandu lepas. Sementara posisi manajerial dan usaha besar dikuasai oleh pendatang.

Sejarah Perkembangan Pariwisata di Labuan Bajo

Sebelum menjadi destinasi dunia, Labuan Bajo hanyalah desa nelayan kecil yang tenang. Masyarakatnya hidup sederhana dengan menggantungkan hidup pada laut dan hasil bumi. 

Perubahan besar mulai terjadi setelah Taman Nasional Komodo diakui UNESCO sebagai Warisan Dunia pada tahun 1991.Wisatawan mulai berdatangan, disusul munculnya usaha kecil seperti homestay dan jasa pemandu lokal.

Namun, perubahan paling drastis terjadi ketika pemerintah menetapkan Labuan Bajo sebagai Destinasi Super Prioritas Nasional. 

Status ini membawa arus investasi besar-besaran dan proyek pembangunan berskala nasional. Bandara diperluas untuk penerbangan internasional, marina modern dibangun, dan promosi pariwisata digencarkan secara global.

Sayangnya, transformasi cepat ini tidak diikuti dengan perencanaan sosial yang matang. Di balik pertumbuhan ekonomi yang tampak, terjadi pergeseran struktur sosial dan ekonomi yang menekan masyarakat lokal.

Peran Pemerintah dan Investor
Pemerintah pusat dan daerah memainkan peran dominan dalam membentuk arah pembangunan pariwisata Labuan Bajo.

 Melalui berbagai proyek infrastruktur dan kebijakan investasi, pemerintah berharap menjadikan kota ini “Bali Baru.” 

Simbol kemajuan pariwisata nasional. Namun, pendekatan yang digunakan cenderung top-down dan sangat bergantung pada investor besar.

Kesenjangan ini diperparah oleh rendahnya akses pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat lokal. Banyak warga belum memiliki keterampilan atau kemampuan bahasa asing untuk bersaing di industri wisata modern.

Selain itu, akses terhadap laut dan sumber daya alam juga semakin terbatas. Kawasan pesisir yang dulu bebas digunakan untuk melaut kini dipagari dan dikelola secara komersial. 

Aktivitas nelayan dan upacara adat yang terkait dengan laut mulai hilang. Labuan Bajo kini memperlihatkan ironi: kemajuan yang megah di atas kertas, namun meninggalkan banyak warganya dalam ketidakpastian ekonomi dan sosial.

Budaya dan Identitas yang Terkikis

Labuan Bajo dan Flores memiliki warisan budaya yang kaya — dari tarian, tenun ikat, hingga ritual adat. Namun pariwisata massal menjadikan budaya ini komoditas untuk konsumsi wisatawan. 

Tarian adat yang dulu sakral kini dipertunjukkan di hotel-hotel mewah tanpa makna spiritual. Nilai budaya bergeser menjadi tontonan ekonomi.

Interaksi dengan wisatawan juga mengubah cara hidup masyarakat. Generasi muda lebih tertarik meniru gaya hidup turis daripada menjaga tradisi leluhur. Akibatnya, terjadi pergeseran nilai dari kolektivitas menuju individualisme, dari kehidupan berbasis budaya menuju gaya hidup konsumtif.

Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak kawasan adat terancam tergusur oleh proyek pariwisata. Situs-situs bersejarah dialihfungsikan tanpa memperhatikan nilai sakralnya. Ini bukan hanya soal kehilangan budaya, tetapi juga hilangnya identitas dan martabat masyarakat lokal.

Di tengah situasi yang timpang, muncul berbagai inisiatif lokal berbasis masyarakat. Beberapa komunitas di Labuan Bajo mulai mengembangkan desa wisata, homestay lokal, dan tur budaya yang mereka kelola sendiri. Upaya ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kapasitas untuk menjadi pelaku utama, bukan sekadar korban pembangunan.

Pemerintah pun perlu mengubah arah kebijakan: memperkuat pelatihan keterampilan, menjamin hak atas tanah, dan membuka ruang partisipasi masyarakat dalam perencanaan pariwisata. Kemitraan antara warga dan investor harus bersifat adil, bukan eksploitatif.

Keberhasilan pariwisata sejati tidak diukur dari jumlah hotel atau kapal pesiar, tetapi dari seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh masyarakat lokal.

Labuan Bajo berpotensi menjadi contoh pariwisata berkelanjutan dan berkeadilan, asalkan pembangunan diarahkan pada keseimbangan antara ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan.

Labuan Bajo memang telah berubah dari desa kecil menjadi destinasi dunia. Namun kemajuan yang hanya menonjol di permukaan tanpa memperhatikan keadilan sosial ibarat membangun istana di atas pasir. 

Masyarakat lokal, yang seharusnya menjadi tuan rumah, kini justru menjadi tamu di kampung sendiri—bahkan kadang menjadi buruh di tanah yang dulu mereka warisi.

Sudah saatnya pembangunan pariwisata diarahkan pada kesejahteraan rakyat, pelestarian budaya, dan keberlanjutan lingkungan. Pariwisata yang sejati bukanlah tentang jumlah wisatawan atau pendapatan negara semata, melainkan tentang bagaimana setiap warga dapat hidup bermartabat di tanah kelahirannya.

Labuan Bajo akan benar-benar menjadi “surga dunia” hanya jika masyarakatnya tidak lagi menjadi budak di tanah sendiri, tetapi menjadi pemilik, penjaga, dan penikmat sejati dari keindahan yang mereka warisi. *

*Vinsensius Patno, jurnalis tinggal di Labuan Bajo. ***
 

RELATED NEWS