KPK Harus Datangi Inspektur Inspektorat Tolikara dalam Kasus Penyalahgunaan Rp 16 Miliar

redaksi - Sabtu, 05 Oktober 2024 19:06
KPK Harus Datangi Inspektur Inspektorat Tolikara dalam Kasus Penyalahgunaan Rp 16 MiliarGedung KPK. (sumber: Istimewa)

JAKARTA (Floresku.com) — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia harus mendatangi Inspektur Inspektorat Kabupaten Tolikara Deson Wanimbo di mana yang bersangkutan tinggal. Karena bila dipanggil yang bersangkutan tidak akan memenuhi panggilan karena di dalam KUHAP tidak diatur pemanggilan paksa dalam proses penyelidikan.

“Dalam KUHP tidak diatur secara tegas penyidik memanggil secara paksa seseorang sebagai saksi dalam penyelidikan untuk dimintai keterangan dalam kasus korupsi. Sekali lagi, dalam KUHAP tidak diatur penyidik misalnya memanggil secara paksa seperti Inspektur Inspektorat Tolikara dalam kasus penyalahgunaan Rp 16 miliar lebih APBD Tolikara tahun 2017,” ujar praktisi hukum nasional Dr Edi Hardum, SH, MH kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (5/10).

Menurut Edi, bila Inspektur Inspektorat Tolikara Deson Wanimbo tidak datang memenuhi panggilan penyidik KPK maka penyidik komisi antirasuah itu harus mendatangi yang bersangkutan di mana ia tinggal atau berada. Kalau dipanggil maka yang bersangkutan tidak datang karena di dalam KUHAP tidak diatur secara tegas seseorang dipanggil secara paksa guna dimintai keterangan.

“Penyidik KPK harus mendatangi yang bersangkutan untuk dimintai keterangan dalam penyelidikan terkait penyalahgunaan Rp 16 miliar lebih APBD Tolikara tahun 2017. Berbeda di tingkat penyidikan di mana bila dua kali seseorang dipanggil dalam kasus korupsi tidak datang maka ketiga kali langsung dipanggil paksa dan kalau sudah cukup bukti langsung ditahan,” kata Edi, doktor Ilmu Hukum lulusan Universitas Trisakti, Jakarta.

Edi menegaskan, bila Inspektur Inspektorat Kabupaten Tolikara sudah menyurati atau memanggil yang bersangkutan namun tidak datang, penyidik KPK bisa terbang ke tempat tinggal yang bersangkutan untuk meminta keterangan.

 Komisi antirasuah itu, kata Edi, tentu punya cara tersendiri.

“Kalau saksi-saksi lain dalam kasus penyalahgunaan Rp 16 miliar lebih APBD Tolikara tahun 2017 sudah dimintai keterangan, tinggal dikonfirmasi kepada yang bersangkutan maka digelar penyelidikan dan langsung ke penyidikan. Kalau sudah naik ke tingkat penyidikan dan orang seperti (selalu mangkir) itu langsung ditahan bila ada bukti kuat,” katanya.

KPK RI memanggil Deson Wanimbo, Kamis (5/9) namun yang bersangkutan belum memenuhi panggilan penyidik komisi antirasuah itu. Wanimbo dipanggil terkait penyalahgunaan Rp 16 miliar lebih APBD di Sekretariat DPRD Tolikara tahun 2017. Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Papua menyimpulkan, terjadi penyalahgunaan anggaran dengan nilai miliaran tersebut.

“Kami melihat, Inspektur Inspektorat Kabupaten Tolikara sepertinya terus menghindar dan mengabaikan panggilan penyidik KPK RI. Kami meminta agar yang bersangkutan kooperatif agar kasus penyalahgunaan keuangan daerah senilai Rp 16 miliar di Setwan Tolikara tahun 2017 segera tuntas,” ujar Ketua Koalisi Masyarakat Pemberantasan Korupsi (Kompak) Indonesia Gabriel de Sola kepada wartawan di Jakarta, Senin (30/9).

KPK melalui Surat Nomor B/5818/KOR.06/70-76/09/2024 tertanggal 5 September 2024 memanggil Inspektur Kabupaten Tolikara guna memberikan klarifikasi atas pengaduan masyarakat.

Dalam surat yang salinannya diperoleh media menyebutkan, pengaduan masyarakat ke KPK menginformasikan adanya dugaan tindak pidana korupsi dana makan dan minum DPRD Tolikara tahun 2017 senilai Rp. 16.108.000.000.

“Dugaan tindak pidana korupsi dana makan dan minum itu merujuk Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Perwakilan Provinsi Papua atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten Tolikara Nomor 17.C/LHP/XIX.JYP/06/2018 tertanggal 21 Juni 2018,” ujar Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi KPK Didik Agung Widjanarko dalam surat panggilan yang salinannya diperoleh wartawan di Jakarta.

Sebagaimana ketentuan Pasal 6 huruf b dan Pasal 8 huruf a dan c Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Inspektur Kabupaten Tolikara dimohon dapat menyampaikan tindak lanjut rekomendasi dari Laporan Hasil Pemeriksaan BPK dimaksud kepada KPK.

“Laporan hasil temuan BPK RI Perwakilan Papua sudah jelas menunjukkan terjadi penyalahgunaan keuangan tahun 2017 di Sekretariat DPRD Tolikara senilai Rp 16.108.000.000. Mestinya, uang rakyat Tolikara untuk membangun kabupaten itu sudah diselamatkan dan bukan dibuat bertele-tele tanpa penyelesaiannya,” lanjut de Sola.

Menurut de Sola, salinan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Perwakilan Provinsi Papua atas Laporan Keuangan Pemda Tolikara Nomor 17.C/LHP/XIX.JYP/06/2018 tertanggal 21 Juni 2018 yang diperoleh menyatakan, realisasi belanja makanan dan minuman pada Sekretariat DPRD Tolikara senilai Rp. 16.108.000.000 tidak sesuai dengan fakta sebenarnya.

Hasil temuan BPK tersebut sudah diadukan ke Polda Papua, namun tak kunjung ada proses hukum selanjutnya. Deiron Wenda, salah seorang warga pada 11 Oktober 2023 juga sudah mengadukan kasus dugaan penyalahgunaan keuangan negara sebesar Rp 16 miliar lebih Polda Papua melalui Direktorat Reserse dan Kriminal Khusus, namun nasib aduannya belum ditindaklanjuti hingga kini.

Hasil laporan BPK RI Perwakilan Papua menyebutkan, realisasi belanja makanan dan minuman pada Sekretariat DPRD Tolikara senilai Rp 16.108.000.000 tidak sesuai dengan kondisi senyatanya. Pemda Tolikara menyajikan realisasi belanja barang dalam laporan realisasi anggaran (LRA) per 31 Desember 2017 dan 2016 masing-masing sebesar Rp 405.096.953.650 dan Rp 358.679.082.413. Realisasi belanja barang tersebut mengalami kenaikan sebesar Rp 46.417.871.237 atau sebesar 12,94 persen dari tahun sebelumnya.

Sekretariat DPRD Tolikara menganggarkan belanja barang dan jasa senilai Rp 66.021.345.000 dan direalisasikan senilai Rp 36.356.354.000 atau sebesar 55,07 persen. Belanja barang dan jasa tersebut antara lain berupa belanja makanan dan minuman. Hasil pengujian uji petik terhadap bukti surat pertanggung jawaban (SPJ) perangkat daerah di atas diketahui terdapat bukti SPJ belanja makanan dan minuman yang tidak sesuai kondisi senyatanya pada Sekretariat DPRD.

Hasil pemeriksaan uji petik atas bukti SPJ atas belanja makanan dan minuman pada tabel laporan BPK RI Perwakilan Papua, yaitu untuk belanja makanan dan minuman untuk pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Rapperda) senilai Rp 4.000.000.000 diketahui terdapat bukti pertanggungjawaban belanja makanan dan minuman yang diragukan kebenarannya.

Keraguan kebenaran tersebut berikut. Pertama, SPJ atas pekerjaan makanan dan minuman kepada Rumah Makan F untuk kegiatan pembahasan Raperda tangga 27 September 2017 sebanyak 490 porsi senilai Rp 500.000.000.

Dari hasil konfirmasi tanggal 13 Mei 2018 ke pemilik Rumah Makan F selaku penyedia, diketahui bahwa harga untuk 490 porsi makanan dan minuman adalah sebesar lebih rendah Rp 173.538.800 daripada harga yang tercantum pada bukti SPJ sebesar Rp 500.000.000.

Kedua, SPJ atas pekerjaan makanan dan minuman kepada Rumah Makan A untuk kegiatan Raperda tanggal 26 September 2017 sebanyak 500 porsi senilai Rp 500.000.000. Dari hasil konfirmasi tanggal 12 Mei 2018 ke masyarakat sekitar Rumah Makan A selaku penyedia, diketahui bahwa Rumah Makan A tersebut pada tahun 2017 sudah tutup. Dengan demikian, pelaksanaan pekerjaan tidak diyakini keterjadiannya.

Berdasarkan hasil permintaan keterangan kepada Sekretaris DPRD tanggal 14 Mei 2018, yang bersangkutan mengakui bahwa SPJ belanja makanan dan minuman tersebut tidak sesuai dengan kondisi senyatanya.

Kegiatan pembahasan Rapperda memang benar dilakukan, namun nota dan bukti-bukti dalam SPJ dibuat tidak sesuai dengan kondisi senyatanya dalam hal volume maupun harga. Di antaranya bukti dari Rumah Makan A dan Rumah Makan F, di mana dalam realisasinya tidak sebesar itu, bukti tersebut dibuat hanya untuk memenuhi administrasi.

Hal tersebut dilakukan karena anggota DPRD meminta dana tersebut dicairkan secara tunai. Namun atas kondisi tersebut, Sekretaris DPRD tidak memiliki bukti atau dokumen yang mendukung seperti serah terima uang tunai, daftar kehadiran Rapperda, dan bukti-bukti belanja makanan dan minuman yang riil. Bukti-bukti tersebut dibawa oleh Bendahara Pengeluaran yang lama dan keberadaanya tidak dapat dihubungi.

Hasil pemeriksaan atas dokumen SPJ dan permintaan keterangan Sekretaris DPRD Tolikara tersebut juga diketahui bahwa pembuatan bukti SPJ yang tidak sesuai dengan kondisi senyatanya tersebut juga dilakukan pada belanja makanan dan minuman atas 12 kegiatan tersebut di atas senilai Rp 16.108.000.000.

Selanjutnya dari hasil permintaan keterangan lanjut kepada anggota DPRD diketahui bahwa anggota DPRD tersebut menyatakan tidak menerima uang terkait belanja makanan dan minuman, baik pada kegiatan pembahasan Rapperda maupun kegiatan lainnya.

Hal tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 21 Tahun 2011 Pasal 132.

Pasal 132 Ayat 1 Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 menyatakan, setiap pengeluaran belanja atas beban APBD harus didukung bukti yang lengkap dan sah. Kemudian, Ayat 2 menyatakan bahwa bukti sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus mendapat pengesahan oleh pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab atas kebenaran material yang timbul dari penggunaan bukti dimaksud.

Hal tersebut mengakibatkan belanja makanan dan minuman pada 12 kegiatan Sekretariat DPRD Tolikara tidak dapat diyakini kewajarannya senilai Rp 16.108.000.000. Hal tersebut disebabkan karena Sekretaris DPRD Tolikara lalai merealisasikan belanja makanan dan minuman pada 12 kegiatan DPRD Tolikara sesuai kondisi senyatanya.

Atas permasalahan tersebut Pemerintah Kabupaten Tolikara melalui Sekretaris DPRD menyatakan sependapat dan berkomitmen penuh untuk membenahi kondisi yang ada sehingga dikemudian hari tidak terulang lagi kesalahan yang sama.

BPK RI juga merekomendasikan kepada Bupati Tolikara agar memberikan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku kepada Sekretaris DPRD terkait pertanggungjawaban belanja makanan dan minuman tidak sesuai kondisi senyatanya. Kemudian memerintahkan Sekretaris DPRD Tolikara mempertanggungjawabkan nilai belanja makanan dan minuman yang tidak sesuai dengan kondisi senyatanya setelah melalui verifikasi inspektorat. (*)

RELATED NEWS