Kunu Toto, Nipado, Do Kepa, dan Sumpah Pemuda
redaksi - Jumat, 22 Oktober 2021 13:06ANDAIKATA tidak ditangkap Belanda, Do Kepa, pemuda Toto, menghadiri Sumpah Pemuda di Batavia, 28 Oktober 1928. Dia akan tecatat sebagai “Jong Flores” dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Tapi, jalan sejarah tidak mengantarkan dia ke Batavia, melainkan ke wilayah Jawa lainnya, bahkan mungkin ke New Caledonia.
Do Kepa adalah orang pertama dari Kunu (Etnis) Toto yang mengenyami pendidikan. Ia tamat sekolah guru di Ndona, Ende, Flores, namun tidak menjadi guru, melainkan pemimpin informal di wilayahnya. Pemimpin formal adalah mereka yang diangkat pemerintah Hindia Belanda, baik sebagai kepala swapraja, kepala hamente, dan pegawai. Do Kepa tidak punya jabatan formal, namun memiliki kharisma luar biasa dan sangat dihormati oleh seluruh Kunu Toto hingga etnis tetangga.
Seluruh kepala kampung di wilayah Toto menghormati Do Kepa dan mengharapkan dia menjadi pemimpin yang mampu mengusir Belanda dari Tana Toto. Mereka mengumpulkan uang untuk Do Kepa agar bisa berlayar ke Batavia menghadiri Sumpah Pemuda. Tapi, rencana Do Kepa tercium Belanda. Dia dan sejumlah kepala kampung ditangkap Belanda dan diadili di Ende.
Baca juga: https://floresku.com/read/ja-jara-heda-warisan-langka-dari-nagekeo-yang-mendunia
Do Kepa meminta kepada penguasa Belanda agar semua kepala kampung yang ditahan dibebaskan. “Mereka semua tidak bersalah. Mereka hanya mengikuti perintah saya. Oleh karean itu, sayalah yang bersalah, bukan mereka,” jelas Do Kepa. Para kepala kampung yang ditahan pun dibebaskan Belanda.
Kami orang Kunu Toto tak pernah mau ditaklukkan Belanda. Kami berkelahi mati-matian dan berperang habis-habisan. Suko (pemuda) Toto adalah suko pemberani. Perang Watuapi tercatat dalam sejarah Hindia Belanda sebagai perang paling mematikan di Flores selama masa pendudukan Belanda. Watuapi adalah sebuah kampung sekaligus nama kawasan yang terletak di utara Toto.
Saat ini, Watuapi masuk Kecamatan Wolowae, Kabupaten Nagekeo, Flores, dan Provinsi NTT. Sedang Kunu Toto tersebar di wiayah Nagekeo dan Ende. Sejak masa Hindia Belanda, sesuai dengan politik divide et impera yang biasa dimainkannya, Toto dipecah dua, yakni Toto Wolowae dan Tanajea. Toto Wolowae menjadi bagian dari Swapraja Nagekeo, sedang Taneja masuk Swapraja Ende.
Baca juga: https://floresku.com/read/leluhur-ata-nagekeo-selain-dari-soa-ada-juga-kaum-pendatang
Pemecahan itu terjadi ketika Nipado, pemimpin Kunu Toto menolak diangkat Belanda menjadi kepala Swapraja Toto. “Saya yang seharusnya mengangkat Anda menjadi pemimpin di wilayah saya. Bukan sebaliknya, Anda mengangkat saya menjadi pemimpin di Tanah Air kami,” kata Nipa Do kepada pemimpin Belanda.
Perang Watuapi adalah perang berkuda. Para pria Toto yang biasa berburu rusa tampil gagah-perkasa untuk bertarung mati-matian melawan tentara Belanda. Dari punggung kuda yang sedang berlari mereka membawa tombak untuk menghadapi pasukan Belanda yang menggunakan senjata api.
Di Toto bagian pedalaman, rakyat berperang dengan menggunakan busur-panah dan sumpit. Hutan Toto yang rapat digunakan oleh para pejuang untuk menembak tentara Belanda dengan panah dan sumpit dari balik persembunyian. Di hutan belantara, senjata tanpa bunyi seperti panah dan sumpit lebih efektif dibanding senjata api.
Baca juga: https://floresku.com/read/leluhur-ata-ngekeo-selain-dari-soa-ada-juga-pendatang
Watuapi terletak di utara. Sedang Toto terentang dari laut utara hingga laut selatan. Nangaroro adalah Nangadodo, pantai milik orang Dodo, suku terbesar di Tana Toto, suku yang didaulatkan sebagai pemangku tana meze-watu dewa, penguasa wilayah di luar tanah “pu’u muka doka dea” atau tanah garapan suku-suku yang tergabung di Kunu Toto. Pada masa lalu, suku-suku ini bersatu bersama suku Dodo dalam perang besar untuk membebaskan Tana Toto dari pencaplokan suku asing dari Sumba.
Yang melawan Belanda bukan saja orang Watuapi dengan pemimpinnya Daca Dhosa, tapi juga Kepa Biu, petarung dari suku Dodo yang menjadi pemimpin perang Toto bagian tengah dan selatan. Di Toto bagian timur ada Deru Gore. Ketiganya berperang di bawah koordinasi pemimpin besar Kunu Toto, yakni Nipado dari suku Dodo.
Nipado tertangkap dan mati ditembak Belanda. Daca Dhosa, Kepa Biu, dan Deru Gore juga mati tertembak. Ine No’o, istri Kepa Biu melanjutkan pertempuran melawan Belanda dan kemudian juga mati tertembak. Tidak kalah dari Tjut Nyak Dien dari Aceh, Ine (Ibu) No’o memimpin pertempuran dengan menunggang kuda.
Baca juga: //floresku.com/read/gpm-grup-musik-akar-rumput-dari-mengeruda-flores-klik-linknya-di-sini
Pria dan perempuan Toto, semuanya, adalah pemberani. Nipado dinilai sebagai pemimpin perang paling hebat sedaratan Flores karena perlawanannya yang cukup lama, hampir suatu dekade. Selain itu, perjuangannya menginspirasi etnis lainnya di dataran Flores untuk bangkit melawan penjajahan Belanja. Dari tetangga di barat, ikut bergabung dengan Nipado adalah Dhedhu Wati dari Lambo dan Rae Sape dari Dhawe. Keduanya juga mati dibunuh Belanda.
Terakhir, Do Kepa, putra Kepa Biu dan Ine No’o, ditangkap Belanda dan dibuang ke Jawa. Sejumlah sumber menyatakan, Do Kepa dibuang ke Kaledonia Baru. Kepergiannya diratapi orang Toto. Hingga kini, ada sebagian generasi pre-boomer di Toto yang yakin, bahwa Do Kepa masih hidup. Ada sejumlah orang Toto yang melihat Bung Karno saat ditahan di Ende sebagai Do Kepa. Soekarno diasingkan di Ende tahun 1934 hingga 1938.
Aloysius Do Kepa adalah seorang guru, tamatan OVO Ndona. Dia adalah orang Toto pertama yang terdidik. Selain karena sekolah dan anak dari Suku Dodo serta lahir dari kedua orang tua yang pahlawan perang, Do Kepa mempunyai kharisma. Dia memiliki banyak pengikut. Dan saat sedang mengumpulkan uang untuk ikut Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 di Betawi, dia ditangkap Belanda.
Andaikan tidak ditangkap Belanda, sejarah Indonesia mencatat ada Jong Flores dari Tana Toto. (PD).
Catatan: Dimuat atas atas ijin dari penulis.***