Pendidikan dan Pertobatan Ekologis

MAR - Selasa, 07 Juni 2022 16:41
Pendidikan dan Pertobatan Ekologis Joanes Pieter P.A Calas. Aktivis FORKOMA PMKRI (sumber: Istimewa)

Sejak merebaknya Covid-19,  tiga tahun sudah lamanya kita hidup dengan cara yang baru,suatu cara dimana kita dipaksa untuk meninggalkan semua kebiasaan yang dibangun berabad abad lamanya dalam waktu yang sekejap. 

Tentu ini bukan perkara mudah.Namun,mau tidak mau demi keselamatan diri sendiri dan orang lain  terpaksa senyum manis yang sebelumnya memancarkan keceriaan kini tidak ada lagi bisa dinikmati, jabat tangan serta pelukan kasih sayang menjadi sebuah penyimpangan sosial manakala praktik praktik membina keharmonisan itu dilakukan.

Krisis kesehatan global yang terjadi selama ini benar - benar memberi tamparan keras bagi semua sektor kehidupan manusia.

Bahkan melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia membawa masyarakat masuk pada sebuah wilayah yang dilematis, artinya jika berani untuk tertib, berarti siap untuk lapar, atau sebaliknya,jika berani melawan aturan,berarti siap untuk terima risiko kesehatan. Covid 19 benar benar berhasil merampas ruang kebebasan manusia dari titik terkecil sampai pada yang terbesar, sampai sampai ribuan nyawapun berjatuhan.

Selain itu, ribuan anak usia sekolah terancam kehilangan kesempatan emas dimasa depannya karena meningkatnya angka putus sekolah. Tentunya, keputusan untuk tidak melanjutkan sekolah bisa saja datang dari tekanan psikologis akibat kecemasan yang berlebihan terhadap wabah ini dan juga tekanan administrasi sekolah yang tidak sebanding dengan pendapatan per kapita yang turun drastis. 

Lingkungan keluarga mengalami kewalahan,mau tidak mau fungsi orang tua juga sedikit melebar, selain sebagi pencari nafkah,juga sebagai Guru.

Dunia pendidikan salah satu sektor yang mendapat tekanan kuat  akibat wabah ini.Memaksa setiap elemen harus berpikir extra ordinary, mengingat pada titik yang krusial seperti ini semua elemen berada pada wilayah yang amat dilematis. 

Untuk itu, siapa pun harus punya hitung hitung yang matang bagaima proses pendidikan yang berlangsung di masa krisis kesehatan global seperti ini bisa tembus sampai ke akar rumput peserta didik di  setiap satuan pendidikan. 

Berbagai cara pun dilakukan Guru demi melayani dahaga pengetahuan siswa,terlepas dari apapun risikonya, bagi sebagian orang itu tidak menjadi persoalan,karena mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan amanat mulia dari konstitusi. Sehingga generasi ini tidak boleh suram masa depannya oleh wabah ini.

Kecemasan massal yang muncul pada dunia pendidikan juga saat semua elemen dituntut beradaptasi pada teknologi. Pembelajaran Daring menjadi opsi yang dianggap ampuh melayani sistem belajar mengajar di setiap sekolah. Tentunya opsi ini  dibangun dengan pendekatan jawasentris dan belum tentu bisa terjawab pada wilayah yang tertinggal, terluar dan terperincil. Ini akan menjadi polemik baru,karena distribusi infrastruktur telekomunikasi kita masih ada kesenjangan. Sehingga,bagi sekolah sekolah yang berada di wilayah 3T (Terpencil, Tertinggal dan Terluar) masih menjalankan pembelajaran tatap muka,tentu ini jika dilihat dari paradigma pendemi merupakan suatu aktivitas yang rentan. 

Tapi, apalah daya,karena yang mereka lakukan untuk menjawab kebutuhan belajar anak anak yang tidak memiliki gawai/ponsel atau wilayah yang tidak memiliki jaringan internet. Jadi, tidak ada yang mutlak disalahkan dalam situasi darurat seperti ini.

Persoalan lain juga muncul dari dunia guru. Saat semuanya dituntut untuk berhijrah ke era digital,namun kesiapan guru belum sepenuhnya menguasai teknologi.

Pendemi Covid 19 memang secara laten mengajarkan kita sebagai Guru untuk seminimal mungkin berdamai dengan teknologi. artinya,kita diberikan kesempatan untuk belajar mendesain pembelajaran jarak jauh dengan berbagai metode, serta penggunaan media pembelajaran audiovisual untuk melancarkan proses belajar mengajar. Hanya saja secara kognitif bisa diserap oleh siswa,tapi belum tentu ranah karakter bisa diserap dengan baik lewat teknologi.

Proses  pendidikan tidak boleh berhenti  dalam situasi apapun, pendidikan itu adalah proses sepanjang hayat.  Belajar dari wabah ini bahwasannya  sinergitas tri sentra pendidikan (keluar, sekolah dan masyarakat) merupakan suatu ekosistem belajar yang perlu diperkuat. Jika pandangan klasik melihat Sekolah sebagai satu satunya tempat pemberdayaan intelektual dan karakter, 

Mungkin sudah sepantasnya cara pandang seperti itu dikebiri. Dengan memaksimalkan peran keluarga dan masyarakat sebagai tempat belajar anak. Hal ini penting, karena bisa jadi selama masa pendemi anak -anak kehilangan selera belajar karena Guru sudah terlanjur dipandang secara sentralistik oleh masyarakat mengenai urusan kemanusiaan.

Peran keluarga dan masyarakat sangat kuat untuk mendukung perkembangan anak, karena usia terpanjang seorang anak bukan di sekolah, melainkan di lingkungan masyarakat, untuk itu penguatan dimensi sosial anak tidak cukup hanya di lingkungan sekolah.

Pertobatan Ekologis

Berbagai literatur yang membanjir di masyarakat selama masa pendemi lebih banyak menarasikan tentang dampak Covid 19 di segala sektor,salah satunya sektor pendidikan.

Namun  dalil-dalil  tentang akar persoalan wabah dari dimensi ekologis seringkali luput dari perhatian manusia.Sehingga terkesan adanya pembiaran watak antroposentis terus bertumbuh subur.

Disadari atau tidak, Covid 19 hadir bukan tanpa alasan. Sebuah hipotesis kecil boleh kita bangun    diatas argumentasi yang cukup kuat,bahwa wabah ini bisa saja muncul dan mengintai manusia akibat aktivitas ekploitasi manusia terhadap alam yang telah melampaui daya dukung lingkungan, akibatnya habitat mereka terancam punah dan berangsur angsur bermutasi pada manusia. 

Manusia dengan segala ketidaksiapan menerima aksi-aksi perlawanan mereka sampai pada merenggut nyawa.

Masa-masa kritis kesehatan global seperti ini sebetulnya membuka ruang refleksi untuk kita semua bahwa sudah sepantasnya ada pertobatan ekologis atas dosa dosa manusia terhadap alam selama ini. 

Manusia harus mulai menyadari bahwa alam semesta bukan hanya untuk manusia saja,namun  pentingnya  hidup berdampingan dengan hewan, tumbuhan dan komponen abiotik lainnya menjadi suatu komunitas moral yang perlu mendapat hak yang sama seperti manusia.

Dalam perspektif filosofis, manusia merupakan makhluk multidimensional yang salah satunya ialah memiliki hubungan dengan alam atau lingkungan, sehingga pengembangan manusia dalam proses pendidikan tidaklah terpisah dari hakikatnya tersebut, dan akan senantiasa terkait erat dengan ruang dan waktu saat relasi antara manusia dengan lingkungan alam mendapat tempatnya secara nyata. 

Hal ini berimplikasi secara praktis pada kewajiban manusia untuk selalu menjaga keselarasan, keharmonisan, dan kesinambungan dengan alam (Muhaimin, 
2015). Hal ini dikarenakan manusia,dianggap sebagai bagian dari planet bumi(Freire, 2010; Misiaszek, 2012).

Bertemali dengan hal ini, upaya untuk menjaga keselarasan, keharmonisan dan kesinambungan alam sungguh berbanding terbalik dengan realitas yang ada saat ini. Meskipun pada dasarnya alam sendiri sudah diakui memiliki nilai dan berharga, tetapi pada kenyataannya, alam dianggap sebagai objek kehidupan yang terus di eksploitasi oleh manusia melalui praktik pencemaran, perusakan dan berbagai tindakan buruk lainnya. Kondisi ini merupakan cerminan dari rendahnya kesadaran ekologis masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut, pendidikan ekologis sangat dibutuhkan sebagai upaya ekologis dengan berorientasi pada transfer of knowledge hanya akan membuat peserta didik hanya sebatas memiliki pengetahuan tentang lingkungan, dan kurang memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan (Muhaimin, 2015).

Hidup berdamai dengan alam adalah prinsip etika lingkungan yang perlu terus ditumbuhkan agar keberlanjutan kehidupan di bumi ini bisa dipastikan aman. Untuk mengakhiri watak penakhluk lingkungan yang melekat pada manusia bukanlah kerja mudah, tentu butuh suatu kesadaran kolektif dan berkelanjutan dari kita. Dunia pendidikan menjadi lahan yang paling subur untuk menyemai benih benih moral ekologis.

Selama ini dunia pendidikan terlalu larut  dengan sistem domestifikasi. Kalau kita mau jujur, pendidikan karakter yang dijalankan selama ini hanya hidup diatas kertas. Dunia pendidikan benar benar lupa memasukkan variabel ekologis sebagai salah satu landasan strategi mengembalikan fungsi moral ekologis manusia. 

Kalaupun ada, itu hanya disisipkan pada kegiatan ekstrakurikuler yang munculnya sekali dalam satu semester, ini tidak menjamin melahirkan siswa yang berwatak ecological awareness

Belajar dari krisis kesehatan global yang terjadi selama  ini, sudah sepantasnya setiap sekolah berani bertransformasi ke paradigma ekologi. Ini sangat penting, mengigat masa depan kehidupan di Dunia yang semakin terancam keberadaannya, dunia pendidikan hadir sebagai penyelamat keberlanjutan masa depan lingkungan  dengan mengacu pada paradigma ekologi, semua sistem belajar mengajar serta muatan muara materi pelajaran mestinya diarahkan ke sana.

Kompetensi ekologis merupakan hal esensial yang perlu dibangun dalam diri siswa. Kompetensi ekologis berkenaan dengan pemahaman dan kesadaran kritis perserta didik dalam memahami lingkungan kehidupannya. 

Kompetensi ekologis merupakan bagian dari tujuan utama pendidikan yang harus menjadi indicator pengembangan diri peserta didik sebagai makhluk multidimensi yang memiliki keterikatan dengan alam. Artinya bahwa peserta didik sebagai bagain dari alam, senantiasa dituntut untuk menjaga dan melestarikan alam lingkungan kehidupannya.

Paradigma ekologi yang perlu ditumbuh kembangkan di setiap sekolah tidak sebatas pada transfer of knowledge, lebih dari munculnya generasi yang kuat dengan prinsip ecological awareness. Sehingga, kemungkinan munculnya generaasi eksploitasi amat tipis. Jika saja konsep ini bisa  diterapkan di setiap satuan pendidikan, maka layak dan pantas untuk dikatakan  kepada generasi saat ini adalah generasi yang mulai mengambil sikap adil untuk generasi yang akan datang.

Selamat Hari Lingkungan Hidup

Joanes Pieter P.A.Calas.
Aktivis Forkoma PMKRI Matim

Editor: MAR

RELATED NEWS