Petrus Selestinus: 'KPK Jangan Genit Main Politik Belah Bambu Mengarah kepada Ganjar Pranowo dalam Kasus Pengadaan KTP-El'
redaksi - Senin, 07 Februari 2022 11:33DEPUTI Penindakan dan Eksekusi KPK, Karyoto telah melontarkan pernyataan yang bias, genit bahkan offside bahwa "KPK kemungkinan akan mengusut sejumlah politikus dalam kasus Dugaan Korupsi Pengadaan KTP-el. hanya dengan menyebut nama Yasona Laoly (YL) dan Ganjar Pranowo (GP) dari sejumlah politikus yang sudah diperiksa.
Penyebutan hanya nama politikus YL dan GP, sedang diketahui bahwa KPK sudah memeriksa puluhan Anggota dan Mantan Anggota DPR RI, dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dugaan korupsi pengadaan KTP-el, menimbulkan tanda tanya publik ada apa dan bagaimana dengan independensi KPK.
- Ifanto Ulbanus Kono, Pemuda di Sikka Ditebas Pemilik Kios Saat Berbelanja
- Ruas Jalan Ndiuk-Subu, Jalur Alternatif ke Labuan Bajo Rusak Parah, Kondisinya Seperti Kali Mati
- KND: Kami Akan Kawal Kasus Pemerkosaan Anak Disabilitas di Manggarai Timur
Pertanyaan publik sangat relevan, karena YL, GP dkk. lainnya sudah diperiksa, diverifikasi dan divalidasi melalui "due process of law" yaitu : penyelidikan, penyidikan dan penuntutan di Pengadilan Tipikor, hingga pemeriksaan Kasasi dan PK, semuanya clear and clean dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Dalam pemeriksan, verifikasi dan validasi itu YL, GP. dkk. lainnya hanya sebagai Saksi, karena tidak ditemukan bukti aliran dana berupa penerimaan uang, untuk dijadikan tersangka atau terdakwa dari cluster politisi DPR RI dalam perkara korupsi pengadaan KTP-el.
KPK : Alat Politik Belah Bambu
Nampak sekali KPK seperti kurang kerjaan, lalu membongkar berkas lama mencari-cari sesuatu yang sudah tuntas dari aspek "due process of law". Ini jelas menimbulkan tanda tanya publik, apa yang sedang dicari KPK, bukankah KPK saat ini masih banyak tunggakan kasus baru yang masih dalam penyelidikan, dijanjikan untuk diproses tuntas tetapi masih menunggak di tingkat penyelidikan dalam waktu yang cukup lama.
KPK seharusnya berterima kasih kepada YL, GP. dkk. karena sebagai saksi, mereka telah membantu KPK mengungkap kejahatan korupsi pengadaan KTP-el. hingga berhasil menjerat beberapa nama Anggota DPR RI, (Setya Novanto, Markus Nari dkk.), dalam perkara Tindak Pidana Korupsi pengadaan KTP-el, hingga diputus oleh MA dan putusannya berkekuatan hukum tetap.
Itu artinya untuk cluster Anggota DPR RI, semuanya sudah terverifikasi, tervalidasi dan teruji melalui "due process of law" secara menyeluruh dan fair, mulai dari KPK, Pengadilan Tipikor, hingga tingkat Kasasi dan/atau PK di MA, dan menetapkan siapa saja yang terbukti terlibat dan mana yang tidak, sesuai dengan asas kepastian hukum, sebagai salah satu asas dalam pelaksanaan tugas KPK.
Secara Etika Politik, Tidak Elok
Secara norma apa yang dikatakan Deputi Penindakan KPK Karyoto bahwa, kalau ada hal-hal baru mengarah kepada perbuatan yang bisa dimintakan pertanggungjawaban pidana, KPK akan kembangkan," itu benar.
Tetapi tidak elok dari aspek "Etika Politik" dan "Hukum Yang Bertanggung Jawab" menurut KUHAP, karena kata-kata atau kalimat kemungkinan pengembangan itu harus berlaku terhadap semua yang sudah menjadi saksi terdahulu di KPK, dan itu tidak hanya YL dan GP.
Karena itu, menjadi tendensius, ketika KPK hanya menyebut nama YL dan GP, padahal banyak politisi yang sudah diperiksa dan namanya disebutkan dalam Surat Dakwaan JPU, tetapi hanya sebagai saksi, mengapa KPK hanya menyebut nama YL dan GP di antara sekian banyak nama yang sudah diperiksa KPK sebagai Saksi.
KPK Menjadi Alat Politik
Apakah penyebutan nama GP, karena GP saat ini populer disebut menjadi Capres terkuat 2024 nanti? Apakah KPK karena independensinya itu ia bebas menjadikan KPK sebagai alat politik pihak lain dalam rivalitas menuju 2024?
Sikap KPK, memberi kesan KPK tidak fair dan sedang bermain politik dengan pola "politik belah bambu", bahkan KPK menjadi alat kekuatan lain dan diduga punya agenda terselubung, menjadikan GP sebagai target dalam apa yang disebut "politisasi hukum" dengan pola "politik belah bambu", karena dalam konteks hari-hari ini GP disebut-sebut memiliki elektabilitas tertinggi dari sekian banyak nama Capres 2024 versi rakyat.
Kalau saja KPK beralasan bahwa KPK berkepentingan dengan persoalan kepemimpinan nasional ke depan, dari sosok yang bersih dan bebas KKN, maka KPK sebaiknya segera membangun sebuah sistem yang secara khusus meneliti rekam jejak bakal calon atau calon pemimpin nasional yang namanya digadang-gadang jadi Capres atau Cawapres.
Karena KPK memiliki kewenangan untuk membangun sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi melalaui pembenahan sistem manajemen administrasi yang berpotensi menimbulkan KKN pada setiap Institusi Negara, untuk melahirkan sosok pemimpin yang memiliki integritas moral dan kejujuran yang baik dan hasilnya disodorkan kepada Publik dan Partai Politik.
*Petrus Selestinus adalah Koordinator TPDI & Advokat Peradi. ***