Tena-Laja, Motor Arnoldus, Io Kiko (Terakhir)

redaksi - Rabu, 01 September 2021 12:26
Tena-Laja, Motor Arnoldus, Io Kiko (Terakhir)Nelayan Lamalera, Pemburu Ikan Paus (sumber: Bona Beding)

(Postscriptum Webinar Kisah Para Pengarung Lautan)

Oleh: JB Kleden*

On Care for Our Common Home

KETIKA jatuhsenja tak seorangpun berpikir akan kembalikah matahari karena ia pasti akan kembali. Tetapi perjalanan hidup manusia, tidaklah sepasti matahari.  Di bawah matahari yang abadi hanyalah perubahan itu sendiri. Maka pertanyaan mengganjal yang dilontarkan Bona Beding di akhir webinar tersebut “akankah tradisi lokal ini akan berakhir” tidak lebih dari sebuah purbasangka, mungkin juga tak perlu ditanyakan. Bukankah sudah sejak satu dasawarsa yang lalu dunia sudah merayakan kelahiran perahu bertenaga surya? 

Tapi jika itu berkaitan dengan pewarisan nilai, baiklah kita ingat bahwa tradisi atau budaya lokal, bahkan mungkin juga sebuah peradaban, seperti dikatakan Paul Recoeur seorang filsuf kontemporer Prancis yang penting, tidak akan bisa hidup, bertahan dan berkembang tanpa ethyco-mythical nucleus. Menggunakan bahasa fisika, inilah inti atom setiap kebudayaan yang mengingat dan mengatur seluruh molekul peredaran kegiatan masyarakat. Karena di sana ada kompleks nilai paling asasi yang merupakan central point of reference bagi setiap orang yang hidup di dalamnya serta merupakan sumber inspirasi bagi kreatifitasnya.

Pengalaman dan ekspresi ketiga penutur kisah ini merupakan upaya untuk menemukan dan mendokumentasikan apa yang menjadi inti atom dari sejarah bahari tanah air kita. Betapapun kita juga paham bahwa sejarah sebagaimana ia dikisahkan berbeda dengan sejarah sebagaimana ia terjadi. Tetapi kisah para pengarung lautan ini telah menjadi apa yang oleh para ahli sejarah disebut sebagai pintu masuk untuk menemukan sumber-sumber yang membantu merekonstruksikan sejarah kehidupan bahari pada suatu masa dulu kala, sebagaimana ia dikisahkan nenek moyang kita yang tak pernah bisa kembali lagi itu. 

                                                                                                      ***

SETIAP kali memandang laut saya selalu memandangnya dengan dengan raya takyub yang luar biasa. Dari detik ke detik laut terus mengirimkan ombaknya ke pantai membentuk buih-buih yang tak pernah berakhir. Sesekali saya berusaha menemukan rahasia di balik riaknya. Tapi tetap saja misteri. Di derunya gelombang muncul beribu-ribu tanda yang tak sepenuhnya terjawab. 

Hanya ada satu hal yang pasti dari laut. Selalu memberi tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari dunia. Kita menjejalkan berjuta-juta ton sampah dan limbah ke rahimnya, tetapi ia membalasnya dengan mengirimkan berjuta-juta biota laut bagi keberlangsungan hidup kita. Mantra laut adalah mantra ibu. Mantra ibu adalah mantra kehidupan. Mantra kehidupan adalah mantra penciptaan.

“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.” (Kej.1:1) Lalu berfirmanlah Allah…dan jadilah cakrawala di tengah segala air untuk memisahkan air dari segala air…. Lalu dari air itu tumbuhkan daratan dan kehidupan. Dengan demikian, kisah samudera raya, dari sebermula, adalah kisah tentang kehidupan. 

Dan kehidupan kita saat ini sedang terancam karena rusaknya lautan. Menurut para ahli geologi besarnya bencana yang saat ini menimpa lautan, akan membuat karang tak sanggup lagi membentuk terumbu, yang dalam sejarah geologi dicatat sebagai “Kesenjangan Karang”. Kesenjangan karang merupakan merupakan ciri khas dari lima kemusnahan besar massal yang telah terjadi dalam sejarah bumi. Kepunahan masal terakhir, terjadi sekitar 75 juta tahun yang lalu di akhir periode Kretaseus akibat dampak asteroid yang memusnahkan berbagai jenis saurus dan amonit. 

                                                                                                           ***

NEGARA Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan, nusantara. Gugusan pulau yang bertaburan di atas laut (archipelago). Kita menjadi sebuah negara kesatuan karena laut melingkupi kita. Maka laut sesungguhnya adalah sebuah rumah besar kita bersama: Rumah Indonesia Raya. Rumah bukan sebagai tempat asal yang tertutup, tetapi rumah yang tumbuh justeru karena adanya kepelbagaian yang ada di bentangannya. 

Laut adalah rumah besar Indonesia, mungkin karena itulah di atasnya setiap kita boleh pergi dan pulang. Ia sumber hidup, meskipun tidak selalu tenang seperti tasik yang dalam. Rumah besar kita bersama inipun juga sedang terancam kepunuhan jika kita tak bijaksana memeliharanya. Baik secara fisik (merawat laut) maupun secara emosional (merawat kebhinekaan). Dengan demikian kisah Para Pengarung Lautan merawat laut, adalah juga kisah merawat Indonesia. Indonesia Tumbuh, Indonesia Tangguh. 

Jalesveva Jayamahe. Kejayaan kita ada dilaut.   On care for our common home, mari memelihara laut kita. Laudato Si; mi’Signone. Terpujilah Engkau Tuhanku di Bentangan Samudera Raya. (*)

Kupang, 31 Agustus 2021, pada hari terakhir bulan Kemerdekaan Indonesia 

*JB Kleden, PNS Kementerian Agama Kota Kupang

BACA JUGA:

Editor: Redaksi

RELATED NEWS