YouGov: Pengeluaran Meningkat Dorong Perubahan Cara Masyarakat Indonesia Menabung, Berutang, dan Berinvestasi
redaksi - Selasa, 01 Juli 2025 22:23
JAKARTA (Floresku.com) – Kenaikan biaya hidup yang terus berlanjut mendorong masyarakat Indonesia untuk menyesuaikan strategi mengatur keuangan pribadi.
Laporan terbaru dari YouGov, lembaga riset konsumen global, mengungkap bagaimana masyarakat Indonesia menghadapi tekanan ekonomi dengan mengubah cara mereka menabung, berutang, dan berinvestasi.
Temuan ini mencerminkan masyarakat yang semakin berhati-hati, semakin melek digital, dan mencari kestabilan di tengah ketidakpastian.
Berdasarkan survei daring terhadap 2.067 responden dewasa yang mewakili populasi online nasional, studi ini menggambarkan bagaimana masyarakat bertahan di tengah pendapatan yang stagnan dan pengeluaran yang meningkat selama setahun terakhir.
- SBY Luncurkan Video Musik 'Save Our World, Kolaborasi Lintas Generasi untuk Lingkungan
- Somasi Terbuka: PEREKAT NUSANTARA dan TPDI Desak Gibran Rakabuming Mundur dari Jabatan Wakil Presiden
- Lahan Digarap, Tanaman Dirusak, Gugatan Ditolak: Aliando Gode Disomasi Balik!
Laporan yang sama juga menunjukkan bahwa optimisme tetap kuat, dengan banyak responden mengambil langkah nyata agar tetap bertahan secara finansial.
Edward Hutasoit, General Manager YouGov Indonesia mengatakan, “Sebagai lembaga riset konsumen global dengan pemahaman lokal yang mendalam, YouGov berkomitmen untuk membantu para pemangku kepentingan dalam membaca pergeseran perilaku berbasis data yang handal.
Temuan ini tidak hanya menyorot tren ekonomi, tapi juga mencerminkan bagaimana masyarakat menyesuaikan diri di tengah perubahan.”
Isu Makro Mendorong Perilaku Finansial yang Lebih Hati-Hati
Tak hanya perilaku rumah tangga, kekhawatiran terhadap situasi ekonomi secara keseluruhan juga terus meningkat. Dalam studi makroekonomi terpisah yang dilakukan YouGov pada April 2025, sebanyak 66% responden menyebut ekonomi sebagai kekhawatiran utama—angka yang meningkat sepanjang tahun.
Kekhawatiran terhadap arah kebijakan mencapai 53%, sementara isu terkait keamanan pekerjaan melonjak ke 44% pada Februari. Kekhawatiran makro ini menjadi konteks penting untuk memahami meningkatnya penggunaan kredit, berkurangnya menabung serta preferensi masyarakat memilih instrumen investasi yang lebih stabil.
Mayoritas Menabung di Bawah Target
Sebanyak 53% pekerja penuh waktu mengatakan bahwa mereka menabung lebih sedikit dari rencana, hanya 23% yang mampu menabung lebih banyak dari yang ditargetkan.
Di kalangan yang tidak bekerja secara formal, 33% tidak bisa menabung sama sekali, bahkan 18% menyatakan simpanan mereka justru menurun. Meski sebagian masyarakat mulai lebih disiplin—misalnya mencatat pengeluaran atau menunda pembelian besar—banyak yang tetap fokus pada kebutuhan jangka pendek, dan 37% sudah mulai menggunakan dana darurat.
Pinjaman Jadi Solusi
Untuk menghadapi tekanan biaya hidup, banyak masyarakat menjadikan pinjaman sebagai solusi. Lebih dari setengah responden (54%) mengambil pinjaman dalam 12 bulan terakhir, terutama dari kalangan Milenial (59%) dan Gen X+ (58%).
Sumber digital dan informal mendominasi: 36% mengaku semakin sering menggunakan pinjaman online atau menjual barang berharga. Sementara itu, lebih dari seperempat responden melaporkan peningkatan penggunaan kredit bank (28%), layanan Pay Later (27%), dan pinjaman dari keluarga atau teman (27%).
Generasi Sandwich—yang menopang anak sekaligus orang tua atau saudara—mengambil pinjaman lebih banyak (62%) dan memanfaatkan berbagai jenis sumber kredit dibanding kelompok non-sandwich.
Meski begitu, mayoritas responden (70%) masih mampu membayar pinjaman tepat waktu. Kelompok non-sandwich lebih sering mengalami keterlambatan atau gagal bayar (23%), sedangkan kelompok sandwich cenderung membayar sebagian (13%).
Aset Minim Risiko jadi Pilihan Investasi
Emas masih menjadi pilihan utama untuk berinvestasi, dipilih oleh 47% responden lintas generasi. Milenial paling cenderung memilih emas dan instrumen yang rendah risiko, sementara Gen Z menunjukkan kecenderungan lebih tinggi untuk berinvestasi di pasar modal (34%)—angka tertinggi dibanding generasi lain.
Tingkat pendapatan juga sangat memengaruhi preferensi: mereka yang berpenghasilan di atas Rp20 juta per bulan lebih memilih emas (72%), instrumen pasar modal (60%), dan properti (43%). Sementara itu, kelompok berpendapatan lebih rendah cenderung memilih emas dan menghindari risiko tinggi.
“Meski menghadapi pengeluaran yang meningkat dan pendapatan yang stagnan, masyarakat Indonesia tetap mampu beradaptasi secara praktis. Mereka mengurangi pengeluaran non-esensial, memanfaatkan kredit dan beradaptasi dengan tekanan finansial melalui langkah nyata. Kami berharap wawasan berbasis data ini dapat menjadi acuan bagi pelaku usaha, lembaga keuangan, dan pembuat kebijakan untuk lebih memahami dan terhubung dengan konsumen Indonesia,” tutup Edward.
Dalam temuan dari laporan yang sama, YouGov mengungkapkan bahwa meski 46% responden menyatakan pendapatannya tidak berubah dan 18% mengalami penurunan, dua dari tiga orang Indonesia tetap optimistis terhadap kondisi finansial mereka ke depan.
Pola pengeluaran pun bergeser, dengan separuh responden mencatatkan kenaikan, terutama untuk bahan makanan (34%), pendidikan (25%), dan tabungan (24%). Sementara itu, responden muda lebih banyak memangkas kebutuhan esensial, dan generasi lebih tua cenderung mengurangi pengeluaran gaya hidup.
Survei dilakukan secara daring pada 17–21 April 2025 terhadap 2.067 responden dewasa (usia 18+) di Indonesia.
Data ditimbang berdasarkan demografi seperti usia, jenis kelamin, tingkat sosial ekonomi, dan wilayah, agar mewakili populasi nasional sesuai proyeksi terbaru dari BPS. Hasil laporan dapat diunduh di https://business.yougov.com/content/52419-rising-costs-resilient-minds-indonesia-2025 . (SP/Rachel).***