Tuhan
Selasa, 23 Januari 2024 20:52 WIB
Penulis:redaksi
Editor:MAR
“Kamu tidak dapat mengontrol apa yang orang katakan tentangmu (bahkan dengan gimiknya), tetapi kamu dapat mengontrol dirimu bagaimana kamu bereaksi terhadapnya”
(si Bijak)
P. Kons Beo, SVD
Sebenarnya harus begitu. Debat itu sungguh soal ‘isi kepala’ yang dicerna. Lalu diumpan untuk dikeluarkan. Dan di situ hanya terdapat tujuan tunggal. Itulah pencerahan! Sebab ia membawa pandangan dan wawasan baru. Tempurung kepala yang semula ruangnya datar, tawar bahkan pengap, kini tercerahkan. Telah terlahir apa yang disebut saja sebagai consolatio rationale. Ada kepuasan akal budi, begitu. Artinya?
Orang tak lagi terpenjara lagi pada ide-ide yang itu-itu saja. Kini ia sudah tampil gagah. Terasa ada wibawa intelektual akademik. Ini semua juga bermula karena ada proses menuntut ilmu yang jempolan dan menakjubkan, serta terlatih.
Maka, itu tadi, dari yang itu-itu saja, daya akal budi semakin lentur elastik untuk melebar dalam memahami, menimbang, menilai, untuk kemudian berfokus pada sikap ‘memutuskan.’ Ada amunisi baru di kepala yang bikin seseorang hadapi hidup dan segala isinya dengan wawasan dan pendekatan yang integral holistik. Ini semua demi kebaikan bersama yang elegan. Untuk hal ini nampaknya kita mesti banyak belajar dan menuntut ilmu.
Tetapi dinamika menuntut ilmu bisa ditangkap pula sebagai ‘kisah berguru.’ Maka, di situ, kualitas relasi guru-murid tentu mesti terbangun.
Di satu perguruan, tentu lumen rationale, cahaya akal budi diharapkan cerah bersinar. Segala yang suram dan sumpek terusir oleh kemampuan akal budi dalam memahami. Segala yang masih samar di keremangan, tentu mesti dikaji dan ditelisik dari perbagai sudut pandang. Dengar pendapat, dialog, penelitian, survey ilmiah, analisis, diskusi hingga perdebatan tentu haruslah dirancang.
Sungguh! Haruslah ada proses illuminatio dalam sebuah perguruan. Semuanya demi sebuah alam pencerahan dan tercerahkan. Maka, dapat dibayangkan betapa terjajahnya satu komunitas akademik bila atmosfer radikalisme tetap sekian mengental dan tetap dipaksakan. Artinya?
Individu, tentu, tetaplah terpasung dalam cara dan isi pikiran, itu tadi, ‘yang itu-itu saja’ dan terlebih ‘tak boleh disentuh apalagi ditafsir dari sudut kajian lainnya.’ Siapapun bisa saja ternilai oleh publik dalam sorotan praktis, “katanya sekolah tinggi-tinggi, pengalaman di mana-mana, ‘makan-minum’ ilmu pengetahuan di sini dan di sana. Namun tak terbukti telah keluarkan ide-ide cemerlang dan mendebarkan, kecuali onggokan muntahan fantasi pikiran yang menyesatkan, penuh hasutan dan mencemarkan publik.”
Tetapi, mari menelisik fakta bahwa isi kepala itu berbobot, berkekuatan logis-rational, serta berkiblat pada kebenaran. Di sini, salah satu saluran yang dipakai demi menangkap ‘isi kepala dan bobot cakupan wawasannya’ adalah dikreasinya arena debat.
Debat itu adalah ‘pembahasan atau pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing’ (KBBI). Dalam debat itu bakal terungkap keberanian mengungkapkan pendapat.
Terlihat pula bahwa dalam debat adanya pertarungan untuk mematahkan pendapat lawan. Dan tentu tak dilupakan bahwa dalam debat itu terdeteksi lah kemampuan dalam menanggapi suatu masalah.
Yang terjadi kemarin itu (Minggu, 21 Jan 2023) apakah itu sebuah debat cawapres berkelas? Ragam pendapat bisa terlontar. Namun, terkesan semua hanya terfokus pada kesanggupan jagoanku untuk ‘mempertahankan pendapat.’ Tak hanya itu. Tetapi bagaimana bahwa usunganku itu mampu ‘patahkan pendapat lawan.’
Mungkin tak peduli bagaimana kandidatku mesti ‘pertahankan pendapatnya’ atau terlebih (intinya) bagaimana mesti secara jelas, jernih, tepat, dan jitu penuh harapan “menanggapi suatu masalah.” Padahal?
Kehebatan kandidat tentu ditakar dalam kualitas gagasan atau wawasannya dalam menanggapi satu dua persoalan dalam bingkai klarifikasi dan solusi yang qualified. Dan ini semua nantinya berakhir pada ‘konsolasi akal budi’ yang mencerahkan.
Sayangnya, jika dalam debat itu, kandidat ternyata sekian ringkih nan rapuh dalam ‘gagasan’ atau dalam ‘kemampuan tanggapi soal.’ Maka, ia akan terfokus pada strategi murah meriah bahkan liar untuk lumpuhkan ‘argumen’ lawan debat. Atau kasarnya, hanya ingin bikin lawan debat ‘kena mental.’
Repotnya, alih-alih hendak patahkan argumen lawan dengan ‘tesis contra argumentum’ yang seharusnya, si kandidat malah hanya ‘berkoar-koar sambil berakrobat’ dengan istilah-istilah teknis (asing) yang, jika lawan tak (belum) paham istilah itu, maka dirasakannya ‘telah melayang bersama angin menangkan debat.’ Tak hanya itu…
Kedangkalan kualitas intelektual akademik juga bisa terbaca dalam parade gimik yang over-gesture namun inflatif nilainya. Berlebih-lebihan terkesan ad hominem plus humiliatif yang infantil! Mudah terbaca bahwa ini sebenarnya hanyalah trik ‘pancing emosi lawan debat, atau juga hanya sebagai taktik untuk sembunyikan kebelumsanggupan dalam bernalar di dalam debat (sehingga aspek teatrikal emosional dipaksabuat jadi substitutus-nya). Atau bahwa di kemungkinan ketiga?
Si kandidat hendak puaskan hati semua gerbong pendudungnya bahwa, walau secara ‘wawasan-gagasan di debat’ kita di lintasan inferior, namun dalam gimik-emosional kita di jalur superior. Seolah ingin membenarkan pula bahwa ‘kandidat emosional’ memang hanya ingin menguasai dan melayani emosi mayoritas pemilihnya yang emosional pula?
Tinggalkan arena dan aroma debat jelang Pilpres 2024, mari kita bersalto ke kisah Bait Allah saat Yesus ‘yang hilang itu’ akhirnya dijumpai oleh Maria dan Yusuf, kedua orangtuanya. DIA lagi dikerumuni oleh para alim ulama. Adakah debat di Bait Allah? Apa isinya? Entahlah.
Lukas, Penginjil, punya catatan, “IA sedang duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. Dan semua orang yang mendengar DIA sangat heran akan kecerdasanNya dan segala jawab yang diberikanNya” (Lukas 2:46-47).
Yesus, Anak Muda dari Nazaret itu, sungguh punya harapan untuk hari-hari mendatang. Di tengah-tengah kaum tua-tua sekelas alim ulama, IA cerdas dalam menjelaskan jawaban. IA cerdas suasana dan lingkungan di dalam tampilannya. Dan IA pun berpengetahuan yang sungguh datangkan decak kagum.
Sungguh! Di Bait Allah teralami etika perjumpaan tanya-jawab yang membawa keteduhan hati serta mencerahkan akal budi. Sungguh, Yesus, Anak Remaja 12 tahun yang luar biasa….
Verbo Dei Amorem Spiranti