Highline (Community) College
Selasa, 29 Juni 2021 13:11 WIB
Penulis:redaksi
Mimpi yang tak kesampaian
MENJELANG lahirnya Undang-undang No.212 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang dipimpin Muhammad Nuh pernah berniat mengembangkan Akademi Komunitas (AK) (nama Indonesia untuk CC). Kala itu Indonesia, melalui Kemendikbud bertekad membangun 1000 AK, atau setidak-tidaknya satu di setiap Kabupaten/Kota yang berjumlah 514 (2013).
Untuk mewujudkan niatnya itu, pemerintah Indonesia melakukan upaya persiapan. Salah satu di antaranya adalah mengirim sejumlah dosen untuk menjalani program yang disebut CCFAP. Program tersebut adalah bentuk kerja sama Kemendikbud dan Kemenlu AS, yang disponsori Fullbright yang berkolaborasi dengan Amief Indonesia.
Tercatat, untuk CCFAP angkatan pertama, Juni-Desember 2011, ada 18 dosen dari 9 Perguruan Tinggi di Indonesia mengambil bagian. Sembilan belajar/magang di HCC, dan sembilan lainnnya di Kapiolani Community College (KCC), Hawai. Angkatan kedua, tahun 2012, juga dikirim 18 dosen lagi.
Sementara itu, pada Oktober 2011, sebuah tim delegasi raksasa (sekitar 100 orang) datang Washington, AS. Kembali dari Washington, Presiden HCC Jack Birmingham yang hadir dalam pertemuan dengan delagasi Indonesia itu berkomentar: “Wah, luar biasa pemerintah Indoensia. Saya baru saja berjumpa dengan tim besar dari Indonesia. Mereka tampaknya ambisius membangun 1000 CC versi Indonesia dalam waktu dekat. Sekembali dari sini, kalian akan mendapat peran penting.”
Memang, sekembalinya angkatan perdana CCFAP dari AS, Dirjen Dikti Kemendikbud segera mengundang 18 dosen itu untuk mengadakan evaluasi bersama. Kemudian ditentukan beberapa di antara mereka menjadi tim kerja khusus bersama Dirjen Dikti untuk merancang pembangunan AK di Indonesia.
Kemudian, selama 2013-2015, pihak HCC dan KCC pun beriniastif, mengirim utusannya ke Indonesia. Selain memantau kegiatan para alumni CCFAP dan mengadakan symposium tentang dampak Program CCFAP di kampus para alumi,mereka melakukan serangkaian pertemuan dengan Kemedikbud RI membahas kemungkinan kerja sama pengembangan AK di Indonesia.
Namun, entah karena alasan apa, perlahan-lahan peran serta alumni CCFAP mengambang lalu lenyap, dan peluang kerja sama dengan HCC dan KCC pun sirna.
Yang muncul kemudian, sejalan dengan penerapan UU Dikti, AK dibuka di sejumlah tempat, baik atas inisiatif Perguruan Tinggi maupun Pemerintah Daerah. Sejalan dengan itu, niat Kemendikbud untuk membangun satu AK di setiap Kabupaten/Kota pun mulai tak kedengaran lagi. Tekad hati membangun 1000 AK ibarat asap, hilang ditiup angin entah kemana.
Dari mimpi 1000 AK itu, yang benar-benar menjadi kenyataan hanya 66 AK, terdiri dari 30 AK Negeri dan 36 AK Swasta (https://pddikti.kemdikbud.go.id/ 2019).
Ibarat bahtera yang berlayar tanpa kompas
Kenangan akan HCC mendorongku untuk menengok sejenak keberadaan sejumlah AK yang sudah dibangun di beberapa wilayah di Indonesia selama ini, tak terkecuali Akademi Komunias Negeri Teknologi Garam Nagekeo di Aeramo, Mbay, Kabuapten Nagekeo, Flores.
Di Kabupaten Nagekeo misalnya, AKN Teknologi Garam Nagekeo dibangun atas inisiatif Wakil Bupati Nagekeo (2008-2013) Paulus Kadju. Menurut id.wikipedia.org proses penyusunan studi kelayakan hingga persiapan site visit dibantu oleh seorang konsultan, Bernama Ramdan Hidayatdari Institut Pertanian Bogor dan Welhelmus Adam Kaseh, S.Ap dari kantor Perwakilan NTT di Jakarta.
Pada mulanya, program studi (prodi), tim pengusul AKN Tekknologi Garam Nagekeomengusul tiga program studi (Prodi) yaitu Teknologi Produksi dan Pengolahan Garam; Sistem Jaminan Kualitas (Quality Control); dan Manajemen Perusahaan.
Namun berdasarkan masukan dari Tim Reviewer DIKTI, Prodi Sistem Jaminan Kualitas sebaiknya diubah, disesuaikan dengan ketersediaan dosen, kondisi dan kebutuhan Nagekeo. Hasil revisi selanjutnya mengarah pada pembentukan Prodi Budidaya Perairan dan berdasarkan telaah lanjutan Tim Reviewer DIKTI di tahun pertama Izin Operasional diberikan hanya untuk 2 program studi: Teknologi Produksi dan Pengolahan Garam, dan Manajemen Perusahaan sampai Akademi Komunitas benar-benar diasumsikan siap secara organisasi tata atur untuk melaksanakan penambahan program studi.
Perihal jenjang Diploma (D) 1 danD, Mendikbud, Mumhammad Nuh mengatakan AK adalah bagian dari amanat Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). AK bertujuan penguatan pendidikan vokasi dan mendongkrak Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi. Masing-masing mahasiswa yang selesai menempuh program pendidikan ini akan mendapat gelar setara dengan D1 atau D2.
Nuh juga menjelaskan bahwa harus diimbangi dengan pembiayaan yang murah dan terjangkau oleh setiap mahasiswa. Pasalnya, AK merupakan lembaga pendidikan tinggi alternatif untuk para siswa yang lulus dari sekolah setingkat SMA. (Kompas.com - 25/08/2012, 13:24 WIB; Panduan Pendirian akademi Komuntas 2014; UU Dikti No.12 Tahun 2012).
Menurut laman restekdikti.go.id. AKN yang berdiri 19 Oktober 2012 berdasakan SK Akademi Komunitas No. 210/P/2012 itu, memiliki dua program studi (Prodi) yaitu Prodi Teknologi Kimia (D2) dan Prodi Administrasi Bisnis (D2).
AKN ini berada di bawah naungan Politeknik Negeri Ujung Pandang sebagai Program Studi di Luar Domisili (PDD) dan secara organisasi tata atur disipkan menjadi perguruan tinggi negeri pada tahun 2014 (Bdk.http://p2k.stiehidayatullah.ac.id/id4).
Menurut cerita Christ Foersch, coordinator CCFAP di CC Highline Des Moines, AS, alumni CCFAP angkatan ke-2(2012) dari Politkenik Negeri Unjung Pandang ditugaskan untuk mendampingi pengembangan kurikulumn AKN tersebut.
Namun, sejak 2019 AKN Teknolog Garam Nagekeo meningkatkan jenjang studi dari D2 menjadi D4 atau sarjana terapan (Bdk.https://www.beritasatu.com/Selasa, 15 Oktober 2019 | 06:02 WIB).
Pemberian ijin peningkatan jenjang sekali lagi mencerminkan betapa otoritas pendidikan tidak cukup konsisten dengan kebijakan pendidikan yang telah ditetapkannya sendiri. Artinya, AK yang diamanatkan untuk fokus mengelola D1 dan D2 sekarang diperbolehkan menjalankan program D4 (S Terapan).
Anehnya, ketika UU Dikti mengamanatkan pendirian AK, Kementerian Tenaga Kerja juga gencar mendirikan Balai Latihan Kerja Komunitas (BLKK). Padahal, misi, peran dan fungsi BLKK itu persis sama dengan sebagian dari misi, peran dan fungsi CC.
Jadi, AK dan BKKK sedang ‘berebutan’ membuat kue yang sama, seakan-akan hendak menyajikannya kepada orang yang berbeda, padahal yang membutuhkan dan ingin menikmati kue itu adalah orang yang sama.
Cerita di atas, hanyalah sejumput dari kisah panjang pelayaran sektor pendidikan nasional. Dari cerita itu, tampak nyata bahwa sektor pendidikan kita ibarat sebuah perahu di lautan luas yang belum jelas ke arah mana hendak berlayar karena tak memiliki kompas atau petunjuk arah yang jelas.
Lebih miris lagi, perahu layar itu tak tahu di pelabuhan mana ia akan berlabuh. Bisa dibayangkan betapa galaunya suasana hati para penumpang di dalamnya.
Merdeka Belajar, Memasung AK
Sejak akhir 2019, perahu layar itu mendapat seorang nahkoda yang punya hati untuk para penumpangnya. Setelah dilantik menjadi Mendikbud (sekarang Mendikbukrestek), Nadiem Makarim lagsung mempromosikan gerakan ‘Merdeka Belajar’, melawan praktik pendidikan yang masih terjajah.
Salah satu dimensi dari Merdeka Belajar yang ingin dikembangkan Menerti Nadiem adalah memberlakukan program MEME (Multi Entry-Multy Exit) yang semua dirancang untuk tingkat SMK untu tingkat pergurun tinggi vokasi. MEME berlaku untuk semua prodi Politeknik hingga stratifikasi Diploma IV. “Dengan sistem Multi Entry Multi Exit, peserta didik dapat diberikan pilihan untuk lulus di program program Diploma Dua, program Diploma Tiga atau sekaligus menyelesaikan Sarjana Terapan.
Menyimak filosofinya, tak dapat dinafikkan bahwa gerakan ‘Merdeka Belajar’ dengan MEME-nya, sangat urgen untuk diberlakukan dan dikembangkan.
Namun, kehadiran porgam MEME sepertinya ikut membuat eksitensi AK kian terpasung dan semakin gamang berperan. Dengan kata lai, sepertinnya kisah AK dikukhkan oleh UU Dikti No. 12 Tahun 2012 akan semakin tak jelas juntrungan.
Hal ini merupakan isyarat nyata bahwa bangsa kita, terutama otoritas dan para pemangku kepentingan sektor pendidikan kita, belum ‘Merdeka Berpikir dan Bertindak’ untuk memajukan sektor pendidikan nasional. Mereka masih terlilit oleh banyak kepentingan, baik yang personal, kelompok dan golongan. ***
Maxi Ali Perajaka, peserta College Faculty and Administrator Program(CCFAP) angkatan pertama, 2011.