RD Josal
Senin, 09 Agustus 2021 15:52 WIB
Penulis:redaksi
Editor:Redaksi
Oleh Pendeta Dr. Mery Kolimon (Ketua Sinode GMIT)
Merangkul Ketidakpastian, Belajar Mengenal Batas
Hampir dua tahun ini koper-koper saya hampir tak tersentuh. Tak ada rencana perjalanan ke luar daerah dan ke luar negeri. Agenda-agenda ekumenis yang biasanya sudah padat setahun, bahkan dua tahun penuh, kini penuh tanda tanya. Tidak lagi daftar kegiatan yang pasti dan rangkaian perjalanan yang ditata teratur dan detail.
Jadwal penahbisan gedung gereja di berbagai wilayah pelayanan GMIT sulit ditentukan kepastiannya. Sekarang seluruh umat manusia masuk pada ketidakpastian. Tak ada rencana yang dengan pasti dapat dilaksanakan. Manusia kembali belajar nasihat Alkitab: “Sebab rancanganKu bukanlah rancanganmu” (Yesaya 55:8a).
Sejak era Pencerahan, manusia merasa dapat melakukan apa saja. Manusia mengira dengan otaknya manusia bisa mengetahui semua hal dan menaklukkan semua hal dalam semesta: “Aku berpikir, maka aku ada.” Rasio manusia dianggap sangat berkuasa.
Namun pandemi Covid di awal dekade ketiga abad ini mengajarkan manusia bahwa manusia dan kemampuannya terbatas. Bahkan sebuah virus yang begitu kecil dan tak tampak mata itu dapat membuat seluruh peradaban manusia kacau. Manusia tidak maha kuasa. Ilmu pengetahuan dan teknologi penting dan sangat membantu. Namun kecerdasan dan teknologi manusia tak boleh membuat manusia bertindak sewenang-wenang atas kehidupan ciptaan Allah.
Saya pikir Covid juga mengajar kita manusia untuk berhenti sejenak dari ambisi dan kesibukan kita. Kita terjebak dalam zaman di mana semua hal kita lakukan terburu-buru. Bangun pagi agenda kita sudah panjang dan rencana kita berlapis: setelah ini akan lanjut dengan yang satu. Belum habis yang satu, yang lain sudah menunggu. Kita memaksa tubuh, jiwa, dan roh kita terus berlari tanpa masa rehat yang memadai.
Covid menginterupsi kesibukan kita. Covid mengajak kita berhenti sejenak. Luangkan waktu untuk diri, untuk tubuh, untuk jiwa dan mental, untuk keluarga, untuk Tuhan, untuk beristirahat. Penyakit ini membuat kita berkesempatan sungguh-sungguh berteduh diri, berserah pada Tuhan, dan menyerahkan rencana-rencana hidup kita pada kedaulatanNya.
Pertobatan Ekologis
Hampir dua tahun ini dunia tak berdaya. Bumi sedang menegur kita dengan keras dan memberi kita pelajaran yang berat. Seperti kata Thomas L. Friedman dalam opininya di New York Times, 30 Mei 2020 yang lalu:
“Beberapa minggu ini kita belajar: bumi tidak saja datar, bumi kita rapuh…Pandemi kita hari ini bukan lagi hanya pandemi biologis, tetapi juga pandemi geopolitik, finansial, dan lingkungan hidup.”
Tanpa ada perubahan radikal dalam kesadaran dan sikap kita kepada Ibu Bumi, kita akan mengalami akibat yang lebih hebat dari apa yang sedang kita alami hari ini.
Sistem ekonomi kapitalisme membuat manusia berlomba-lomba mengeruk keuntungan dan menumpuk modal. Demi keuntungan finansial, alam dijarah tanpa ampun. Orang kaya bertambah kaya, orang miskin dan alam dieksploitasi. Virus yang tak terkendali sekarang ini menyadarkan kita pada keseimbangan alam yang terganggu.
Pandemi Covid-19 menjadi momen wake up call bagi semua manusia. Momen ini mestinya kita semua—pemerintah, masyarakat, pengusaha, politisi, siapa saja—maknai sebagai kesempatan kembali berdamai dengan bumi. Kita perlu melakukan pertobatan massal demi keadilan ekologis. Kita mesti berhenti melaksanakan pembangunan yang semata berorientasi pada keuntungan finansial. Sebaliknya kita perlu berkomitmen bersama pada pembangunan yang berorientasi pada keberlanjutan kehidupan.
Mengklaim Daya Ilahi
Di manakah Allah saat seluruh dunia bergumul dengan penderitaan? Apakah Allah peduli pada air mata dan derita orang-orang yang sakit dan harapan keluarga untuk pemulihan saudara mereka? Di manakah Allah ketika kita berjuang untuk mempertahankan kehidupan keluarga kita yang terinveksi Covid-19? Bagi yang sembuh ada pujian kepada Tuhan, namun bagaimana dengan mereka yang meninggal? Apakah Allah ada bersama dengan mereka yang meninggal karena Covid-19? Apakah orang-orang yang meninggal tidak dikasihi Allah?
Pandemi ini mengajak gereja masuk ke tengah-tengah pergulatan kehidupan penderitaan manusia. Di derita yang sangat dahsyat, kita ditantang untuk memasang telinga dan hati, mendengar dan merasakan teriakan dan erangan kesakitan, dan ratapan kehidupan. Pandemi ini menggugat kita untuk menatap pada kerapuhan dan keringkihan hidup manusia.
Dalam konteks inilah tahun ini Majelis Sinode GMIT mengangkat tema pelayanan 2021 dari Yehezkial 37:14. Yehezkiel dipanggil untuk menjadi nabi tepat pada saat yang sangat genting dalam sejarah perjanjian Israel: penghancuran Israel oleh Babilonia.
Dalam penglihatan di pasal 37 itu, Yehezkial dibawa ke dalam lembah yang penuh tulang-tulang kering. Seperti Yehezkial, kita tidak dituntun untuk menghindari bencana, melainkan berdiri dan mengakui keberadaan bencana itu. Pandemi Covid-19 adalah nyata, bukan konspirasi pihak tertentu untuk mencari keuntungan diri dan kelompok.
Lebih daripada itu Allah memberi Yehezkial tugas untuk bernubuat kepada tulang-tulang itu untuk hidup kembali. Dia disuruh bernubuat kepada ruakh/roh kehidupan untuk memasuki tulang-tulang kering di lembah itu. Roh itu dipanggil dari empat penjuru bumi. Belajar dari Yehezkial, gereja di masa pandemi ini mendapat tugas untuk menyuarakan maksud Tuhan bagi dunia dalam bencana.
Dalam penderitaan manusia, Allah tidak meninggalkan manusia. Roh Kehidupan bersama dengan ciptaanNya, Roh Tuhan memberi hidup dan menggerakkan tulang-tulang yang sudah sangat kering (dan tidak ada lagi kehidupan). Sebagaimana karya Roh Kudus yang berhembus ketika manusia diciptakan (Kej 2:7), Allah terus berkarya memberi kehidupan kepada manusia.
Kepada murid-muridNya yang ketakutan dan bersembunyi, Yesus hadir dan menghembuskan RohNya kepada mereka, memulihkan mereka dari cemas, panik, dan ketakutan (Yoh. 20:22). Dia memanggil manusia pada pertobatan, belajar dari derita hidup untuk pemulihan relasi dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan ciptaan yang lain. Dia menyembuhkan manusia dari kekuatiran dan kecemasan hidup.
Di manakah Allah di pandemi ini? Allah ada dalam penderitaan manusia. Dia bersolider dengana mereka yang sedang ketakutan di ruang-ruang isolasi. Dia memeluk keluarga-keluarga yang kehilangan orang-orang yang mereka kasihi. Allah berkenan memakai mereka yang peduli pada sesamanya sebagai kawan sekerjaNya untuk pelayanan keselamatan.
Pesan kitab Yehezkial bagi gereja-gereja di tahun ini adalah sebagaimana Allah memanggil Yehezkial menjadi nabi di tanah pembuangan.—kita mesti terus bersiap menjadi pelayan Allah di masa yang sulit ini. Di salib Yesus, Allah sendiri bertindak untuk memulihkan manusia. Dia telah masuk ke dalam lembah kematian saat puteraNya meregang nyawa di salib. Namun tidak ada derita yang kekal. Tak ada bencana yang abadi.
Maut telah dikalahkan. Yeus telah bangkit dari kematian. Allah memerintah, Allah peduli, Allah bersama kita. Walau jalan salib terasa sangat pekat, kita mesti bertahan untuk berdiri di dekatNya, teguh dalam iman, harap, dan cinta kasih.
Covid bukan hanya kisah tentang kerapuhan manusia. Covid juga berkisah tentang daya Ilahi Allah yang dianugerahkan agar manusia memegang janji harapan bahwa Dia bersama kita. Bahkan bagi mereka yang oleh Covid, tubuhnya kembali bersatu dengan tanah, berbaring dalam cahaya abadi Allah, dalam janji penyertaan Yesus Kristus, Sang Terang Dunia. (*)
Kupang, Juli 2021
PS: Terima kasih kepada suami dan anak-anakku sebagai pembaca pertama tulisan ini dan telah memberi koreksi. Sejumlah kawan telah membaca dan memberi beberapa masukan penting. Saya bertanggung-jawab atas isi tulisan ini.
Baca juga: https://floresku.com/read/bertemu-tuhan-di-tubuh-refleksi-teologis-saat-sakit-covid-19-bagian-4