Kesaksian Darso Tobi, Luput dari Bencana Berkat 'Doa' Warisan Leluhur

Selasa, 07 September 2021 17:09 WIB

Penulis:redaksi

Editor:Redaksi

DARSO TOBI.jpg
Darso Tobi, warga Desa Nawokote (Paul Kebelen)

NAWOKOTE (Floresku.com) - Kisah berikut ini berawal dari musibah banjir dadakan di Desa Nawokote, Flores Timur, beberapa waktu lalu. Peristiwa itu rupanya meninggalkan sepenggal kisah salah seorang warga akan kesaksiannya berada persih di tengah amukan banjir.

Saat saya bersua di lokasi pengungsian sejak selasa, 07 September kemarin, terdengar bisikan beberapa warga sekitar yang terdengar samar-samar tetapi ada beberapa informasi tertangkap jelas indra pendengar.

Karena cukup menarik, saya lalu tergugah menyimak ceritera itu dengan serius dengan dalil bisa dijadikan proyeksi menulis liputan tambahan.

Pada intinya, pokok pembicaraan itu terfokus pada sesosok pria lansia  bernama Darso Tobi. Pasalnya Om Darso, begitu sapaan akrabnya, menjadi saksi kunci melihat banjir bandang yang nyaris melibas rumahnya sendiri.

Usai mendengar cerita dari beberapa warga, hasrat penasaran saya semakin membeludak ganas. Saya ingin mendengar cerita ini secara langsung dari orang dengan predikat saksi kunci itu.

Usia menyimak ceritera tersebut, saya lalu bergerak menuju rumah Bapa Darso Tobi yang letak rumahnya berada paling ujung di wilayah Dusun Bawalatang. Sebelum tiba di kediamannya, saya harus melewati area setapak rusak kemudian menyisir jalan tanah yang kondisinya jauh lebih parah.

Setelah pinggang saya encok akibat beradu dengan jalan rusak selama kurang lebih delapan menit, saya akhirnya tiba dirumahnya Bapa Darso Tobi.

“Mari anak silahkan duduk. Kita duduk diluar sajah ee..! Biar lebih sejuk.” sahut Darso pada saya dengan begitu ramahnya.

Sambil duduk santai di bawah rerindang pohon di halaman rumahnya, saya lalu memantik beberapa pertanyaan. Dengan legowo hati, Darso Tobi mulai menarasikan kesaksiannya saat musibah banjir kemarin.

"Waktu itu kejadiannya hari jumat sekitar pukul 10 malam. Hujan besar sekali selama berhari-hari. Saya dan keluarga mendengar suara gemuruh besar dari arah bukit. Ketika saya buka pintu depan, ternyata ada banjir disertai lumpur setinggi betis".

"Orang rumah panik. Anak saya berlari menuju rumah saudara sulungnya ditengah kampung supaya bisa beritakan peristiwa ini untuk segera waspada", jelas Darso dengan gimik serius.

Tak hilang akal, Darso kemudian bergerak cepat mengambil dua tofa di dapur dan menuju samping rumahnya sesuai sumber suara gemuruh yang disusul banjir tersebut.

Ia berteriak keras menyampaikan satu kalimat singkat. Kalimat itu seperti sebuah isyarat dibarengi dengan menancapkan dua buah tofa ke tanah seraya berikhtiar Tuhan dan para leluhur mendengarkan permohonannya.

"Mo heka te lareng, moe bukan te. Rae pa weli hau", teriak Darso menggunakan bahasa daerah dibarengi dua buah tofa yang telah ia tancapkan ke tanah.

Kata Darso Tobi, kalimat tersebut melekat erat dengan budaya masyarakat yang kalau diterjemahkan berbunyi "berhenti sudah, jalanmu bukan disini. Jalannya disebelah sana", ujar Darso kepada saya tentang arti kamilat itu.

Kalimat seruan itu adalah ungkapan dari bahasa daerah yang mengandung makna permohonan. Ungkapan tersebut telah diwariskan para leluhur secara turun temurun ketika menghadapi musibah seperti saat ini.

Masyarakat Nawokote sangat percaya dan meyakini ungkapan itu akan melindungu mereka dari ancaman marah bahaya.

Bernaung Dalam ‘Selimut’ Leluhur

Darso berkihtiar, ia bersama keluarga dan semua masyarakat tidak tinggal sendiri. Tuhan dan leluhur selalu menaungi mereka dari ancaman marah bahaya.

Kediaman Darso adalah yang terujung dikampung itu. Jaraknya dengan lokasi longsor sekitar 75 meter sajah. Peristiwa di waktu malam yang mencekam itu, dirinya menaruh seberkas harapan sehingga mereka tetap dalam nagungan para leluhur.

Usai lantangkan seruan "mo heka te lereng, moe bukan te. Rae pa weli hau" hasil warisan para leluhur, Darso Tobi bersaksi nyata ada reaksi positif. Arah banjir dengan kadar lumpur yang mulanya menyisir rumahnya malah berbelok arah dan membelah menjadi dua sisi yakni kiri dan kanan.

Seperti sihir, kalimat itu seperti pawang yang taklukan banjir. Darso dan keluarga aman dari ancaman banjir yang nyaris melibas mereka semua malam itu.

Sampai disini saya merinding sendiri. Mau dikaji menggunakan akal sehat, tentu otak menolaknya mentah-mentah. Pasalnya kesaksian ini diluar nalar dan logika manusia. Namun kesaksian nyata yang dialami Darso Tobi berkata sebaliknya.

"Saya alami sendiri. Saya melihat banjir itu seolah berbelok ke kiri dan kanan. Kalimat yang saya sebutkan itu adalah warisan nenek moyang sejak dahulu kala. Saya yakin bahwa kami akan tertolong", tandasnya.

Peristiwa ini menjadi bukti nyata bahwa warga Desa Nawokote masih menjunjung tinggi nilai budaya dan adat istiadatnya.

Lanjut Darso, esok hari akan dilangsungkan ritual seremoni bertempat di lokasi longsor, dengan melibatkan para tetua suku, tokoh adat dan semua unsur elemen masyarakat.

Wilayah Nawokote berada pada jalur banjir dibawah kaki Gunung Lewotobi. Bukan tanpa alasan keselamatan nyawa malam itu adalah bukti para leluhur tetap melindungi mereka dari ancaman bencana.(Paul Kebelen)