Yesus
Sabtu, 09 Oktober 2021 11:20 WIB
Penulis:redaksi
Editor:Redaksi
Oleh: Isidora Anggraini Thelma Da Gomez*
BERUSAHA untuk tidak berpikiran negatif, aku memberanikan diri melangkah mendekati sosok yang baru saja dipuji Dian. Panggilan gadis itu tak aku pedulikan, karena fokusku hanya untuk menemui dia yang masih berdiri di depan pintu pasar.
Setiap langkah, jantungku kian berdebar. Pelupuk mata ini sudah tak bisa menahan genangan air mata yang kapan saja bisa jatuh. Samar-samar telingaku mendengar percakapan keduanya. Suara berat itu terdengar begitu lembut mengalun, menyahuti lawan bicaranya. Sungguh, aku merindukannya!
Semakin dekat, aku memejamkan mata sesaat. Keduanya tidak menyadari keberadaanku, lantaran posisi mereka dihalangi seorang wanita bertubuh gempal.
Aku berdeham, menarik atensi keduanya. Ekspresi berbeda kutangkap dari kedua insan itu. Sang wanita terlihat bingung, tetapi yang pria begitu terkejut. Tentu saja dia pasti terkejut dengan keberadaanku di depannya sekarang. Aku yang menetap di kota metropolitan, bisa berada tiba-tiba di depannya yang tinggal jauh di pelosok negeri.
"Siapa, ya?" Wanita itu bersuara, membuatku tersenyum tipis.
"Aku Tita Adriana," jawabku penuh penekanan.
Kulirik sekilas sosok dia yang masih tak lepas memandangku. Ternyata, dia banyak berubah. Sosok pria yang kucintai itu terlihat lebih gemuk dan jujur semakin tampan. Rambut hitamnya digunting sedemikian rupa menyerupai model rambut yang sedang tren. Sangat berbanding terbalik dengan sosok dia yang masih bersamaku saat itu.
Dulu, tubuhnya kurus dan terlihat tak sehat. Mungkin efek menjadi anak perantauan yang mengejar ilmu di luar kota. Rambutnya dulu pun tak tertata rapi seperti saat ini. Namun, aku tahu dia termasuk orang yang mencintai kebersihan. Karena beberapa kali aku mendatangi indekostnya yang selalu bersih dan rapi. Jauh berbeda dengan indekost milik teman priaku yang lain.
"Ada yang bisa kami bantu?" Lagi, wanita itu bertanya.
Aku melempar senyum tipis. "Aku ingin bicara dengan pria di sampingmu."
Wanita itu menatap dia yang tersadar dari lamunan. Aku bisa melihat wajah tampannya yang berubah salah tingkah.
"Dia siapa?"
"Aku Tita Adriana," sahutku sedikit ketus.
Memang pertanyaan itu ditunjukkan untuk dia, tetapi melihatnya yang bungkam, aku yakin dia tak akan menjawabnya. Jadi, dengan berani aku mengambil alih untuk memberikan jawaban.
"Kamu bisa tunggu sebentar, aku ingin bicara dengan Tita dulu." Akhirnya, dia bersuara. Hatiku sedikit menghangat, saat bibirnya menyebut kembali namaku.
Awalnya, wanita itu menolak. Namun, berkat bujuk rayu dia, si wanita itu pun mengangguk meskipun terlihat begitu jelas karena terpaksa.
Aku mengikuti langkah dia yang berjalan di depanku. Jika dulu, kami saling bergandengan dan berjalan berdampingan. Sekarang semuanya berbeda. Dia terlihat seperti orang asing bagiku.
Dia mengambil tempat di sekitar parkiran. Kami berdiri berhadapan dan saling pandang, sebelum dirinya memalingkan wajah. Lalu, aku hanya bisa tersenyum getir.
"Kenapa bisa di sini?"
Aku kira dia akan menyatakan sebuah kalimat berisi kerinduan, atau menanyakan kabarku. Namun, pertanyaan yang keluar malah seperti itu. Terkesan seperti tak menyukai keberadaanku di depannya sekarang.
"Kenapa bisa di sini, Tita?"
"Mencari seseorang," sahutku datar.
Dia menghela napas. "Kamu terlalu jauh keluar dari zona nyaman kehidupanmu. Berada di kota ini bukanlah hal yang bagus untukmu, Tita."
"Lalu aku harus apa, Ari?" tanyaku menyerupai bisikan.
Ya, namanya Ari Michaels. Sosok pria yang membuatku jatuh hati untuk pertama kali saat bertemu di kampus. Sosok dengan keuletan serta keramahan yang telah berhasil membuatku begitu berani melabuhkan hati ini untuknya. Lalu dia juga yang menjadi alasanku untuk memulai perjuangan tentang sebuah jalinan kasih.
"Kamu tak perlu melakukan apa pun. Aku tak pernah meminta kamu untuk melakukan apa-apa!"
Aku terkesiap. Nada bicara Ari mulai meninggi. Pertama kalinya, dia berbicara seperti itu dan sungguh menyakitkan. Selama ini, Ari yang aku kenal begitu lembut. Bukan kasar meskipun sedang berkumpul bersama teman-temannya.
"Kamu berubah, Ari!" tukasku menahan tangis.
Ari mengambil ponsel dari saku celana. Sepertinya, wanita yang bersamanya tadi sudah menelepon berulang kali. Aku bisa melihat wajah Ari yang terlihat frustrasi saat bersamaku. Berbeda ketika bersama wanita tadi. Hal yang semakin membuatku yakin jika wanita tadi memiliki hubungan dengan Ari.
"Aku harus pergi!"
"Ari!"
Aku menahan lengannya saat dia ingin beranjak pergi. Air mataku jatuh di depan Ari yang bergeming. Kami saling bertatapan lama, tak peduli jika menjadi bahan tontonan orang-orang di sekitar. Tak peduli jika dianggap sedang melakukan drama bak aktor dan aktris Korea. Yang jelas aku butuh penjelasan dari Ari saat ini.
Ari melepaskan genggaman tanganku. Pria itu memilih pergi tanpa sebuah penjelasan. Terulang kembali saat dirinya menghilang selama setahun ini. Aku menatap punggungnya yang menjauh. Dia benar-benar pergi menemui wanita yang bersamanya tadi. Membiarkanku sendiri dengan kekalutan yang menyiksa batin ini.
"Kak!"
Itu suara Dian, tetapi aku tak peduli. Memilih berbalik, aku melangkah pergi. Gadis itu berusaha mengejar sambil membawa beberapa tas hasil belanja sore tadi.
Kami pulang dalam diam. Dian tidak bertanya banyak, lalu memutuskan untuk pamit pulang. Kepulangan Dian, membuatku lebih leluasa menuangkan air mata ini. Di kamar tak luas itu, suara tangisku akhirnya pecah. Memeluk lutut, aku bersandar pada tembok sambil memejamkan mata. Nostalgia kenangan bersama Ari berlarian di kepala seolah sedang mengejekku yang telah di ambang kekalahan.
Aku tidak bodoh dengan mengartikan hubungan Ari bersama wanita tadi. Melihat kemesraan keduanya, jelas mereka bukan kakak adik atau memiliki ikatan keluarga. Wanita itu pasti kekasih Ari. Aku terlalu meyakini hal itu dan mengakuinya. Walaupun fakta yang ada semakin menyayat luka di hati ini.
***
Bangun dalam kondisi berantakan, itu yang sedang menimpaku saat ini. Wajahku masih terlihat sembab dan bengkak. Semalam, aku menghabiskan waktu dengan menangis, tanpa menikmati makan malam. Bagaimana ingin makan jika napsu makanku telah lenyap karena pertemuan dengan Ari. Aku sudah pernah bilang jika berhubungan dengan Ari, aku akan terlihat seperti orang bodoh. Sosok Tita Adriana yang terkenal cerdas dan cerdik, akan menjadi bodoh saat sudah bersama Ari. Itu hal yang benar, dan beberapa temanku sudah mengatakan berulang kali saat kami masih di bangku kuliah.
Tak ingin merusak hariku pagi ini, aku memutuskan mandi dan membuat sarapan. Nasi goreng dengan telur dadar menjadi pilihan untuk mengganjal perut yang sudah berbunyi minta jatah.
Pagi ini, aku ingin beristirahat sejenak dari kejadian semalam. Terlalu menangis dan banyak pikiran bisa membuatku stres. Aku tidak ingin hal itu terjadi. Terlebih besok diri ini sudah mulai melakukan training.
Berusaha menghibur diri, kubiarkan lagu rohani mengalun merdu dari ponsel. Santapan rohani pagi ini begitu membuatku merasa damai dan tenang. Hanya saja, aku kembali merasa terganggu ketika notifikasi pesan masuk beruntun memenuhi aplikasi telepon hijau itu.
Ssbuah nomor asing, tanpa profil menjadi penyebabnya. Namun, atensiku lebih fokus pada pesan-pesan yang dikirimkan orang itu.
[Besok malam kita ketemu di tempat kemarin]
Pesan yang sama, dan dikirimkan berulang kali. Lama berpikir, akhirnya aku tahu siapa pengirim tanpa profil itu.
"Ari."
*BIODATA PENULIS
Baca Juga:
https://floresku.com/read/cerbung-wanita-penagih-janji-part-4
https://floresku.com/read/cerbung-wanita-penagih-janji-part-3
https://floresku.com/read/cerbung-wanita-penagih-janji-part-2
https://floresku.com/read/cerbung-wanita-penagih-janji-part-1
sebulan yang lalu