CERBUNG: Wanita Penagih Janji (Part 2)

Sabtu, 11 September 2021 23:02 WIB

Penulis:Redaksi

Editor:redaksi

GOMEZ.jpeg
Isidora Anggraini Thelma Da Gomez (Dokpri)

Oleh:  Isidora Anggraini Thelma Da Gomez

MELELAHKAN. Itu yang saat ini aku rasakan. Mengurus kepindahan dari hotel ke indekos, lalu berbelanja keperluan untuk kehidupan selanjutnya ternyata tidak mudah dibayangkan. Bersyukur, ada Dian yang setia membantu. Gadis itu meluangkan waktu untuk menemaniku berbelanja. Sekalian menjadi guide untukku yang mengenalkan Kota Merpau dan segala isinya.

Menatap sekeliling kamar bernuansa putih ini, aku bergeming. Pikiranku kalut, bagaimana untuk menghadapi hari-hari selanjutnya. Aku hanya orang asing yang memiliki sebuah alasan kuat mendatangi kota ini. Mengorbankan segalanya hanya untuk mengejar sesuatu yang entah pasti atau tidak untuk kuraih.

"Argh!" Aku sedikit berteriak. Sungguh, rasa frustrasi ini sungguh menyiksa. Aku bingung harus mulai darimana. Semuanya sangat menyusahkan untuk perempuan sepertiku yang tak bisa berbuat apa-apa kalau sendiri. Biasanya ada orang lain yang membantu, dan biasa untuk kusuruh. Termasuk dia yang entah di mana keberadaannya sekarang.

Cacing di perutku mulai berontak. Kulirik sekilas jam di tangan, sudah pukul 14.35. Sejak pagi, aku memang belum sarapan. Terlalu sibuk mengurus kepindahan, membuatku melewati sarapan serta makan siang. Aku tidak mungkin memasak, karena itu sama sekali bukan keahlian diri ini. Bakatku hanya di bagian menggambar dan menari, itu aku juaranya.

Mengambil cardigan rajut, aku memilih keluar untuk mencari makan. Sudah hampir tiga hari di kota ini, perlahan aku mulai mengingat tempat-tempat yang pernah dilalui dan kusinggahi.

Aku memilih berjalan kaki, menikmati panasnya mentari yang perlahan menusuk kulit meksipun sebuah cardigan telah membalut tubuh semampaiku. Jika dibandingkan dengan daerah kelahiranku, infrastruktur kota ini masih tertinggal cukup jauh. Namun, untuk kenyamanan serta keramahan, aku rasa Merpau masih berada di atasnya.

Di kotaku semua serba ada. Menjadi ibukota dari sebuah negeri yang kaya akan kepulauan dan penduduknya, segalanya dapat didapat dengan mudah. Hanya saja kotaku selalu menjadi juara permasalahan di berbagai bidang kehidupan.

Tanpa sadar, aku sudah berada di pusat perbelanjaan. Banyak toko berjejer yang ramai dikunjungi pembeli. Pejalan kaki, serta berbagai pedagang kaki lima terlihat sibuk menjajakan barang dagangannya.

Aku mencari pedagang yang menjual bakso. Sudah lama sekali, lidahku tak dimanjakan dengan makanan berkuah itu. Syukurlah, ada sebuah warung bakso di ujung jalan yang tidak terlalu ramai.

Sambil menunggu pesanan, atensiku berselancar di media sosial. Kesibukanku sebagai pendatang, membuat aku hampir saja lupa jika punya beberapa akun medsos yang belum dikunjungi lagi.

Pertama yang kubuka adalah aplikasi bersimbol huruf F besar berwarna biru. Banyak pesan masuk muncul serta beberapa pemberitahuan yang sama sekali tak penting menurutku. Hingga tanganku berhenti seketika, menemukan sebuah kenangan yang dibagikan aplikasi itu.

Aku bergeming sesaat. Embun mulai bergelayut manja di pelupuk. Manikku seolah tak ingin pergi dari sebuah foto yang dibagikan dua tahun lalu. Kenangan dua insan di depan sebuah monumen nasional, yang masih terekam jelas dalam ingatan.

"Mbak, ini pesanannya."

Lamunanku buyar seketika, mendengar suara itu. Seorang pelayan datang dan meletakkan pesananku di meja, lalu berlalu.

Dengan segera, kuusap setetes air mata yang berhasil tumpah. Napsu makanku hilang seketika karena kembali memikirkan kenangan itu. Menunduk, dengan perasaan yang tak bisa kujelaskan. Terlalu rumit menjadi seorang wanita yang harus hidup dalam sebuah ketidakpastian. Namun, aku sudah melangkah sejauh ini. Tak pernah terbesit dalam benak untuk mundur, sampai aku bisa mengetahui alasannya memilih pergi serta menghilang.

Meletakkan uang di meja, aku pergi begitu saja tanpa memberi cacing di perutku makan. Semuanya begitu abu-abu dan membuatku seolah terjebak dalam labirin.

***

Dian membawaku ke sebuah gereja di dekat tempat tinggal kami. Seperti biasa, berjalan kaki sudah menjadi hal biasa bagiku meskipun satu kata yang mewakili setelahnya, yaitu lelah.

Kami mengambil tempat di bagian belakang, dekat pintu utama gereja. Sudah banyak umat yang datang, memenuhi tempat suci berukuran besar itu.

Perayaan berjalan dengan khidmat. Aku pun begitu khusyuk mengikutinya sampai akhir. Rasa rindu bertemu sang pencipta akhirnya berhasil ditebus dengan perayaan misa sore ini.

Aku punya kisah hidup, di mana sempat melupakan Tuhan karena dikuasai kesibukan duniawi. Menjadi mahasiswa jurusan Desain Grafis di salah satu universitas terkenal, membuatku lupa dengan kewajiban sebagai umat Katolik. Namun, saat itu aku punya dia yang selalu memperingatkan agar diri ini tak lupa dengan Tuhan.

Lagi dan lagi, ingatanku kembali kepada sosok itu. Begitu hebat peran orang itu dalam kehidupanku selama lima tahun belakangan ini. Aku tersenyum miris, mengusir sejenak rasa sesak yang menyiksa dada. Perih rasanya jika bayangan kenangan itu bermunculan dalam otak, padahal hatiku begitu terluka hingga detik ini.

"Melamun terus, Kak."

Aku menoleh, tersenyum kecil mendengar teguran Dian. Kami masih di dalam gereja, meskipun misa telah selesai beberapa menit yang lalu. Tak ingin berdesakan yang membuat kami memutuskan untuk pulang paling terakhir.

"Tidak."

"Aku perhatikan sejak tadi, Kak. Oh, iya sebenarnya ada hal yang ingin aku tanyakan semenjak Kakak tinggal di indekos."

Dian berjalan di sampingku, memeluk erat Alkitab di dadanya. Aku mengangguk, memberi izin gadis itu bertanya apa saja yang mengganggu pikirannya terhadapku.

"Tujuan Kak Tita ke Merpau sebenarnya untuk apa? Maaf ... jika aku begitu penasaran."

Aku tersenyum kecil. "Mencari seseorang."

"Siapa? Kak Tita punya keluarga di sini?"

Gadis yang berjalan di depanku sekarang, begitu lucu. Saking penasarannya, dia sampai mengadang langkahku.

"Aku orang asing di sini. Jika aku punya keluarga, kita tidak akan bertemu."

"Lalu, siapa yang Kakak cari? Mungkin ... aku bisa membantu." Dian menawarkan diri. Jujur, tawarannya begitu menarik, dan sangat membantu. Hanya saja, aku tidak punya petunjuk apa pun kecuali sebuah ruang chatt terakhir beberapa bulan lalu, dan sebuah foto usang.

"Terima kasih untuk tawaranmu, Dian. Aku akan memikirkannya nanti."

Aku berjalan terlebih dahulu, menikmati angin malam yang berembus mesra. Rasanya aku butuh kembali butuh ketenangan. Tanpa ada beban pikiran yang membuatku susah untuk terlelap.

"Kak!"

Dian mengejar langkahku hingga kami kembali beriringan. Raut wajahnya masih diliputi penasaran, tetapi aku tetap enggan berbagi. Walaupun Dian orang pertama yang membantuku di kota ini, tetap saja masih terasa asing. Mungkin, aku akan menceritakannya, tetapi nanti. Entah itu kapan.

"Ada apa?"

"Aku ...."

"Aku belum bisa, Dian!" Suaraku sedikit dinaikkan, agar Dian bisa mendengar dan memahaminya.

Gadis itu terdiam, sebelum melengkungkan senyum tipis. "Tidak apa-apa, Kak. Jika butuh bantuan, jangan sungkan mencariku."

Dia gadis yang baik dan aku mengakui hal itu. Kami kembali melanjutkan langkah, kali ini Dian lebih banyak bercerita mengenai dirinya. Gadis itu lulusan SMA dua tahun lalu, dan tidak melanjutkan kuliah karena tak mampu. Bekerja sebagai cleaning servis sudah beberapa bulan belakangan digeluti olehnya. Orang tuanya pedagang sayur di pasar, sementara kakaknya seorang satpam. Dian sendiri adalah anak bungsu dari dua bersaudara.

Terlalu asyik mendengarnya bercerita, aku hampir saja tak melihat jalanan yang kami lewati. Sebuah motor matic dari arah berlawanan, hampir saja menabrakku jika Dian tak menarik lengan ini dengan cepat. Namun, aku tidak peduli akan hal itu. Sosok di atas motor tadi lebih menarik perhatian karena sangatlah tidak asing bagiku.

"Dia," gumamku pelan.

BIODATA PENULIS

  • Nama Lengkap : Isidora Anggraini Thelma Da Gomez
  • Nama pena : Anggraini Da Gomez
  • Usia : 21 Tahun
  • Domisili : Maumere, Flores NTT