Cerpen Boy Waro: Jalan Buntu

Selasa, 09 Agustus 2022 22:00 WIB

Penulis:redaksi

Editor:redaksi

frater.JPG
Boy Waro, mahasiswa IFTK Ledalero-Maumere (Dokpri)

MALAM masih keras. Hujan turun deras. Dari tepi kota, angin menderitkan besi-besi yang sekarat. Bunyi itu mengiris, menyelinap di sisi kepala orang-orang yang bergegas pulang, pergi atau sekedar menghindari detak tajam ujung hujan di kepala. 

Mereka mengeluh karena terpaksa berteduh. Tapi hujan baik untuk menyeka yang lusuh: daun-daun, trotoar, gang-gang kumuh, atap-atap seng, dan jendela-jendela. Satu terbuka tiba-tiba. Tak penuh, hanya selebar siku. 

Di baliknya, seorang gadis berdiri. Sinar kuning merkuri lampu jalan menyelinap malas kamar itu.

Ia mendesah panjang. Hari ini tubuhnya perih. Tidak ia bukan lemah, hanya lelah. Lelah akan masa lalu yang masih mengukir panjang di benak kepalanya. 

Ia tidak pernah menetaskan air mata kala ia bernostalgia tentang masa-masa yang kala itu yang membentuk dirinya yang sehebat sekarang ini.  

Ilustrasi: Jalan Buntu (Foto: Istimewa).

Setiap orang harus menjual sesuatu untuk bertahan diri, ada yang menjual peluh dan sebagian menjual mimpi. Ia menjual mimpi berpeluh. Itu saja di dunia dimana setiap mengambil apa yang mereka butuh. 

Keringat darah itu tak ada arti untuk membeli mimpi yang katanya dapat membangun istana kala kita bertahan. 

Matilde itu namanya. Sesungging senyum getir mengambang mungkin buat gorden yang tak lagi punya warna. Jangan berdusta, katanya, bukankah dongeng dan negeri para peri pun adalah kejujuran? Lalu ia tertawa parau. 

Dibentang jendela. Ia berbalik arah dengan rau muka yang belum bersahabat dengan masa lalunya. Luka masih membekas di hati yang tak kelihatan, namun nyata dalam tindakan. Kehilangan sosok-sosok yang selalu menemanya kala ia disakiti. Mereka bukan pula guru, pastor maupun orang tuanya.

Mereka adalah sahabat kecilnya. Teringat akan sahabat. Matilde ikhlaskan semuanya itu. Ketika mentari menyapa kicauan burung-burung membangunkannya dari tidur yang kurang pulas semalam. 

Masih pada masa yang sama, waktu yang sama, namun tahun yang berbeda. Bertahan atau pergi adalah pilihan yang rumit untuk di putuskan dengan sekejap. Bosan dengan suasana saat ini. Tak ada lagi kasih, cinta, apalagi kasih sayang. 

Matilde menghela nafas panjang sambil meneguk segelas kopi panas di kamarnya di lantai  dua. Dunia sekarang berubah, hiruk pikuk, pekikan suara kendaraan dan manusia tak kenal waktu. 

Kicauan media-media mengalahkan kicauan burung-burung di pagi hari. Maltide bosan, lelah dengan rutinitas yang sama pula. Matilde teringat hari jadinya. Matahari kuning pucat bayang-bayang memanjang ke barat. 

Angin musim semi menyebarkan harum bunga cherry ke mana-mana. Di atas gereja, burung-burung menghambur ketika mendengar lonceng dibunyikan berdentang- dentang. Udara penuh tawa dan hamburan kelopak bunga. 

Anak-anak kecil berlarian di sela-sela kaki orang dewasa. Seluruh keluarganya ada disana. Ayah, ibu, adik laki-laki nya, paman, bibinya dan sepupu-sepupunya. 

Mereka melambai padanya. Selamat jalan. Selamat jalan. Matilde tersenyum. Dia merasa bahagia sekaligus sedih. Dia tak akan pergi jauh. Hanya pindah dari rumah orang tuanya ke biara itu. 

Tapi perpindahan itu menandai sebuah perpisahan. Bukan dengan orang-orang melainkan suatu masa. 

Matilde kini memasuki kehidupan yang baru yang menghadirkan kenyamanan serta kebahagiaan yang selama ini yang tak pernah ia rasakan. 

Hari-hari Matilde lewati penuh dengan kebahagiaan, bersama teman-teman nya. Hari itu terasa begitu jauh kini. 

Dia masih bisa mengingat segalanya dengan jelas. Sama seperti ia mengingat dongeng seribu satu malam yang diceritakan ibunya sebelum tidur.  Semakin lama ia berada di biara jadi semakin fiktif. Tapi rasa itu begitu nyata kehangatan yang masih membuatnya menangis sedikit, tiap kali dia mengingatnya. 

Malam telah lama lalu. Matilde masih membisu di sudut kamarnya mukanya kelihatan pucat dan semangat hidup membiarnya tidak seperti yang sebelumnya. 

Kini dia tidak terima apa yang ia rasakan, ia benci dengan kehidupannya sekarang. Maltide terpaksa untuk meninggalkan biara dengan perasaan yang tidak tulus. 

Mungkin ini ujian baginya. Dalam keadaan sakit ia hanya bergumam Ah... Tuhan kenapa Engkau mengambil kebahagiaanku yang telah aku terima? Berikan aku kesempatan sekali lagi tuk merasakan kasih-Mu di rumah ini. Matilde harus menerima semua dinamika hidup yang mewarnai hidupnya tanpa kesimpulan yang tepat hanya sebuah jalan buntut yang ia terima. ***

*Boy Waro adalah mahasiswa IFTK Ledalero-Maumere.