pajak
Rabu, 15 Juni 2022 07:32 WIB
Penulis:redaksi
TANGGAL 15 Juni 2022 merupakan sebuah hari yang bersejarah untuk Universitas Pelita Harapan (UPH).
Perguruan tinggi swasta yang didirikan oleh James Riady dan Johannes Oentoro merayakan dies natalis ke 25 pada tanggal tersebut.
Bertepatan dengan hari ulang tahunnya tersebut, UPH mengadakan acara wisuda yang dibarengi dengan pemberian piagam penghargaan kepada lulusan terbaik UPH baik pada lulusan sarjana, pasca sarjana, maupun lulusan doktoral.
Menariknya, di antara penerima penghargaan lulusan terbaik UPH, terdapat nama Hadi Poernomo yang notabene adalah Ketua Badan Pemeriksa keuangan (BPK) Periode 2009-2014 sekaligus Dirjen Pajak Periode 2001-2006 sebagai lulusan terbaik doktor hukum dengan predikat summa cum laude. Tidak hanya itu, bahkan baik UPH maupun Hadi Poernomo pada saat bersamaan dianugerahi piagam dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) sebagai perguruan tinggi pertama dan doktor hukum pertama yang melakukan uji publik disertasi yang dihadiri oleh lebih dari 1500 peserta sebelum sidang terbuka.
Uji publik ini menguji dari sisi feasebility dan kemanfaatan di masyarakat atas novelty (kebaruan) pemikiran ilmu pengetahuan dalam sebuah disertasi.
Hal tersebut sejalan dengan yang tertulis dalam penelitian bahwa sebuah penelitian memiliki manfaat teoritis dan manfaat praktis.
Disertasi Hadi Poernomo yang berjudul “Eksistensi SIN Dalam Bank Data Perpajakan Sebagai Upaya Hukum Pencegahan Tindak Pidana Korupsi” mengungkapkan sebuah metode link and match dalam pencegahan tindak pidana korupsi dengan memanfaatkan bank data perpajakan berbentuk Single Identity Number (SIN) Pajak.
SIN Pajak yang digaungkan oleh Hadi Poernomo tidak hanya dipandang menjadi satu-satunya jalan untuk mencapai penerimaan Pajak yang optimal namun juga mampu menjadi sebuah cara pencegahan tindak pidana korupsi.
Disertasi Hadi Poernomo tersebut bak kepingan terakhir dari strategi Pemerintah. Menteri Keuangan, pada Rapimnas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) 2022 yang dihadiri oleh seluruh staf ahli Menteri Keuangan di bidang Pajak, staf khusus bidang komunikasi strategis, dan para pejabat di DJP pada tanggal 30 Mei 2022, mengungkapkan bahwa tax ratio Indonesia sangat tertinggal dari negara tetangga, untuk itu perlu adanya upaya uji kepatuhan dengan adanya aliran data dan informasi dari Automatic Exchange Of Information (AEOI), Tax Amnesty serta data pihak ketiga atau Instansi Pemerintah, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak Lain (ILAP). Untuk itulah urgensi SIN Pajak sebagai alat uji kepatuhan dengan aliran data baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun dari pihak ketiga.
Kebutuhan nomor tunggal sebagai alat penyatu data dalam metode link and match sebenarnya telah disadari oleh Pemerintah dengan mengusulkan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mengamanatkan nomor tunggal antara Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Namun harus disadari bahwa penyatuan NPWP dan NIK saja tidaklah cukup. Terdapat beberapa kelemahan dengan hanya menyatukan NPWP dan NIK berkaitan dengan adanya sifat rahasia data Pajak dan kaitannya dengan wali data yang seharusnya berada pada DJP sebagai PENERIMA KEWENANGAN ATRIBUTIF.
Belum lagi masalah kecukupan data sesuai keinginan pemerintah untuk meneliti uji kepatuhan aliran data pihak ketiga yang bahkan tidak ada dalam database NIK yang akan digabungkan dengan NPWP.
Namun berdasarkan penelitian dalam disertasi Hadi Poernomo yang mungkin membuat banyak pihak baru menyadari bahwa konsep penyatuan data dengan nomor tunggal ternyata telah mulai dibentuk sejak 2001 dengan UU Nomor 19 Tahun 2001 sebagai tonggaknya.
Dan ternyata sistem SIN Pajak tersebut telah dilakukan piloting sejak tahun 2001. Piloting yang didasari dengan MoU tersebut berhasil menaikkan tax ratio tahun 2005 sesuai idaman Pemerintah sampai dengan 12,7 persen. Padahal kondisi saat itu perekonomian Indonesia masih dalam posisi pemulihan ekonomi karena adanya krisis moneter 1998.
Puncaknya piloting SIN Pajak kemudian dipayungi dalam Pasal 35A UU Nomor 28 Tahun 2007. Bahkan, substansi dalam Pasal 35A tersebut jauh lebih lengkap jika dibandingkan UU HPP yang hanya menyatukan data antara NPWP dan NIK.
Tidak hanya dari sisi sumber datanya yang lebih lengkap karena menjangkau data pihak ketiga, Pasal 35A UU Nomor 28 Tahun 2007 juga memberikan pengaturan yang jauh lebih lengkap sebagai upaya terbentuknya SIN Pajak melalui Bank Data Perpajakan.
Proyek SIN Pajak yang telah menjadi amanat dari rakyat dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 tersebut kemudian malah mati suri dan tidak berjalan.
Bahkan Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi peraturan pelaksanaan baru lahir 5 tahun sejak UU lahir melalui PP Nomor 31 Tahun 2012.
Ironisnya PP tersebut baru lahir setelah mendapat teguran dari Ketua BPK saat itu yang saat ini menjadi lulusan doktor hukum terbaik UPH, yaitu Hadi Poernomo.
UU Nomor 28 Tahun 2007 tersebut kemudian disempurnakan di era Presiden Joko Widodo dengan lahirnya UU Nomor 9 Tahun 2017 yang memberikan wewenang luar biasa kepada aparat Pajak dengan menghilangkan unsur kerahasiaan yang terdapat pada beberapa undang-undang, seperti UU Perbankan, UU Pasar Modal dan UU yang berada di lembaga Jasa Keuangan (Asuransi, Pegadaian, Koperasi, dll).
Hadi Poernomo mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa substansi aturan pelaksanaan UU tersebut yang tertuang dalam PP dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mencerminkan adanya ketidakkonsistenan. Hal tersebut menjadi salah satu hambatan utama dalam lahirnya SIN Pajak.
Sehingga, jika Pemerintah yang menginginkan adanya uji kepatuhan dengan menggunakan aliran data, sebaiknya Kementerian Keuangan segera berinisiatif untuk melakukan government review sebagaimana saran dari Hadi Poernomo.
Pemerintah yang mengajukan usul tax ratio di kisaran 9,3 dan 9,5 persendalam rapat Panitia Kerja Komisi XI DPR RI maupun rekomendasi DPRI RI di kisaran 9,45 dan 10 persen masih jauh dari nawacita Presiden Joko Widodo yang mencanangkan tax ratio 16 persen.
Padahal di era piloting SIN Pajak tahun 2001-2005 tax ratio Indonesia berada di kisaran 11,6 hingga12,7 persen.
Hal tersebut mungkin baik dari sisi pemerintah maupun DPR sama-sama sadar, belum adanya alat yang mampu menjadi uji kepatuhan wajib Pajak untuk mendongkrak tax ratio.
Sehingga SIN Pajak memang benar menjadi kepingan puzzle terakhir untuk mencapai Indonesia sejahtera APBN yang kuat.
Di luar substansi peraturan perundang-undangan, penyatuan data tersebut sebenarnya telah lama digaungkan tidak hanya di Kementerian Keuangan.
Teknologi informasi dewasa ini memungkinkan adanya penyatuan data secara cepat.
Ilmu mengenai data sendiri sudah berkembang sedemikian pesat, termasuk di Indonesia. Tidak hanya penyedia berasal dari luar negeri yang mampu menyediakan jasa penyatuan data, namun telah banyak penyedia di dalam negeri yang juga mampu menyediakan jasa penyatuan data tersebut.
Terbukti, saat menjadi Dirjen Pajak, Hadi Poernomo, dengan dana APBN telah mampu membangun sistem sinkronisasi data yang digunakan untuk piloting SIN Pajak 2001-2005 dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang mencapai 60 persen.
Hal ini tentu akan menjadi sebuah keuntungan tersendiri bagi bangsa dan negara, selain dari sisi keamanan data yang dapat lebih terkontrol karena tidak melibatkan pihak luar, tetapi juga sesuai arahan Presiden Joko Widodo bahwa pemerintah wajib menggunakan produk dalam negeri dengan nilai TKDN minimal 40 persen untuk Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk dapat memberikan dampak positif untuk pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Dengan demikian, tidak ada alasan lagi bagi Pemerintah untuk tidak mewujudkan SIN Pajak. (SP). ***