'Dua Lilin' untuk Bapa Hebat

Minggu, 16 Juli 2023 12:27 WIB

Penulis:redaksi

ANGGARAINI.jpg
Isidora Anggraini Thelma Da Gomez (Dokpri)

Oleh: Anggraini Da Gomez

JULI 2021 tidak hujan seperti Juli tahun ini. Tidak membuka lembaran bulan baru dengan tangisan langit yang tak kunjung reda. 

Juli 2021 lebih banyak disergap duka. Banyak kematian terdengar begitu pilu dari berbagai sudut dunia. Diselubungi duka semenjak semesta dikuasai pandemi, tangisan akan kehilangan jadi alunan memilukan yang mungkin tidak akan terlupa sepanjang sejarah. 

Sama seperti kisahku yang terukir akan kehilangan sosoknya di hari Jumat kala itu.

Berderap, langkah kaki ini menyusuri jalanan kecil yang sudah lama tak dipijak. Rindu sekali dengan suasana rumah bercat hijau yang penuh terukir cerita. 

Ternyata waktu cepat sekali merangkak, sekarang sudah menginjak dua tahun aku dan keluarga ditampar kenyataan akan kehilangan sosok cinta pertama. 

Suasana terasa berbeda, tidak ada lagi sosok pria tua yang biasa duduk di teras setiap sore. Suara berat yang biasa menyapa tetangga lewat, sudah lenyap dibawa dunia lain. 

Kadang, aku berpikir bapa masih bisa lama di dunia, mungkin pergi bukan di saat dunia sedang berjuang melawan pandemi. Bukan juga pergi di bulan Juli 2021, di saat semua lengkap berkumpul di rumah. 

Namun, aku tidak tahu saat itu memang sudah seharusnya aku dan keluarga belajar tentang kehilangan. Saat-saat terakhir begitu menyayat hati jika kembali dikenang. 

Wajah tua itu seperti enggan untuk berpamitan pergi, tetapi bapa tak punya pilihan lain selain menangis sebelum memejamkan mata.

Anggraini Da Gomez (Foto:Dokpri/floresku.com)

Aku masih ingat, ada saja hal-hal yang terjadi sebelum semua berubah setelah kepergiannya. Kami banyak menghabiskan waktu bersama di rumah. 

Perkumpulan tiga anak perempuan dan seorang bapa, ketika mama lagi sibuk bekerja. Malam itu entah di tanggal berapa, kami berempat bernyanyi di depan teras rumah. 

Semua lagu zaman dulu sengaja aku putar, bermaksud ingin bertanya pada bapa perihal siapa penciptanya. Bapak banyak menjawab salah, mungkin karena daya ingatannya yang sudah perlahan menurun. 

Namun, semua liriknya masih dihafal, bahkan ketika bibir kami bertiga bungkam karena tak tahu, bapa dengan senang hati melanjutkankan hingga selesai.

Hangat sekali rasanya, kami berempat tertawa jika tebakan bapa salah. Begitu juga sebaliknya, tawa bapa akan terdengar jika si bungsu pun ikut salah menjawab. 

Ternyata kehangatan itu tidak bisa terjadi lagi dan aku baru sadar, kalau itu hanya kenangan-kenangan kecil yang tercipta sebelum beliau pergi. 

Karena setelah dua Minggu  kami sekeluarga terjangkit Covid -9 dan itu menjadi awal titik terberat yang harus aku dan keluarga mulai.

Benar-benar mengerikan, satu desa semua diisolasi karena hampir semua penghuni dalam satu rumah positif Covid -19. 

Seperti tidak ada kehidupan, jalanan sepi, tidak ada orang-orang yang lewat seperti biasa. Semua terkurung, setiap pagi selalu ada kunjungan dari pihak kesehatan dan pemerintah, untuk mengecek keadaan masing-masing orang dari setiap rumah. 

Hampir setiap hari juga, selalu ada kiriman bahan makanan, untuk membantu mengatasi permasalahan yang datang saat itu.

Aku tidak bisa bercerita lebih lebih dalam tulisan ini, karena banyak sekali hal-hal yang terjadi dan itu benar-benar menguras emosi, tenaga, dan air mata. 

Pikiranku waktu itu tidak sampai pada harus sosok bapa yang keadaannya lebih parah di antara kami semua, karena beliau yang paling terakhir positif corona di saat mama sedang diisolasi di tempat lain.

Bapa punya komorbid, penyakit bawaan membuat kondisinya kian parah. Bapa tidak sadarkan diri, di saat hanya kami bertiga anak-anaknya di rumah. 

Panik, gelisah, bingung tidak bisa terelakkan lagi. Posisi bapa dalam keadaan tertidur di kursi, tanpa baju. Tidak ada suara lagi yang keluar ketika kami ajak bicara, bapa bahkan melewatkan makan malam dan obat yang harus diminum.

Saat itu, orang yang kami hubungi adalah pihak kesehatan terdekat sesuai anjuran mama di telpon. Kami bertiga menjadi saksi, ketika semua orang mungkin sudah terlelap, suara ambulans memecah keheningan saat bapa dijemput pihak rumah sakit untuk diisolasi di Lela.

Kami tidak bisa mendekat, hanya si sulung yang membantu mengurus bapa berpakaian sebelum dipindahkan ke brankar bersama dua perawat yang mengunakan seragam APD. 

Pukul sepuluh malam lebih, kami bertiga akhirnya sendiri di rumah. Titik terberat sekali saat itu, saat kedua orangtua diisolasi di dua tempat berbeda.

Satu hari setelah bapa diisolasi, mama boleh pulang setelah negatif. Setiap malam, tugas kami hanya bisa berdoa. Sangat besar keinginan kami berempat untuk mengunjungi, tetapi aturan rumah sakit tak bisa diganggu gugat. 

Corona menyakitkan, dipisahkan oleh bapa yang tengah berjuang sendiri, selalu menjadi alasan kami punya ketakutan sendiri di samping itu.

Membayangkan bagaimana bapa sendiri berjuang di sana, makanan yang masuk hanya melalui selang, dan kami hanya diam di rumah sambil menunggu info dan perkembangan dari pihak rumah sakit. 

Namun, di balik semua itu ada rasa sedikit lega karena setiap perkembangan bapa disampaikan dan dikirim lewat video oleh pihak rumah sakit.

Rupanya Tuhan tidak tidur dengan doa yang kami panjatkan. Ada kabar baik dari pihak rumah sakit, setelah sepuluh hari beliau dirawat. 

Hasil tes kedua negatif, sehingga bapa disarankan boleh pulang. Tentu saja ada rasa syukur dan kelegaan yang luar biasa yang kami rasakan. 

Harapan terwujud dan bapa bisa kembali ke rumah. Namun, kami tidak tahu kalau semenjak pulang dari rumah sakit kondisi bapa tidak seperti dulu.  

Bapa tidak bisa bangun dari tempat tidur, seluruh tubuhnya tak bisa bergerak sempurna lagi. 

Bapa juga tidak bisa makan kecuali lewat selang dan yang lebih menyakitkan bapa tidak bisa bicara karena mengalami stroke juga saat itu. 

Setiap diajak bicara, jawaban bapa adalah menangis. Seperti ada yang ingin beliau katakan, tetapi tak bisa tersampaikan hanya lewat air mata. 

Setiap malam yang kami saksikan, mama akan mengajak Bapa berdoa, dengan satu harapan ada kekuatan untuk beliau bisa berjuang lebih dari sakitnya kini.

Tidak ada yang tahu jika Bapa hanya bisa bertahan selama tiga hari di rumah. Setiap pagi, kami berempat membantu memandikan Bapa. 

Setelahnya mama akan menyuntikkan makanan  yang telah dihaluskan lewat selang agar Bapa bisa makan. 

Kami saling berjaga bergantian, mengajak cerita walau balasannya selalu air mata. Padahal jika sehat, beliau pasti akan lebih bersemangat membalasnya.

Lalu hari kehilangan itu akhirnya tiba, di hari Jumat pagi itu. Bapa muntah, semua makanan ditolak olehnya. Pihak puskesmas terdekat segera datang setelah ditelepon, berusaha memasang infus, tetapi nadi bapa tidak ditemukan. 

Mama kalang kabut, saran membawa bapa ke rumah sakit segera diiyakan sambil menunggu ambulans menjemput. 

Sementara aku dan si bungsu sibuk membereskan pakaian bapa untuk dibawa nantinya, hingga suara tangisan mama menjadi pertanda bapa pergi. 

Jumat, pukul setengah sebelas waktu itu, kami kehilangan sosok Bapa untuk selama-lamanya.

Bapa kuat sekali berjuang sepuluh hari di tempat isolasi demi kembali pulang untuk berkumpul bersama kami. 

Tiga hari Tuhan sisihkan waktu bapa untuk kami berempat mengurusnya sebelum dipanggil kembali pulang. 

Bapa hebat masih mau kembali ke rumah, memberikan kesempatan terakhir untuk kami menjalankan kewajiban sebagai anak-anak.

Patah hati terberat, melihat mata itu tertutup dengan air mata yang sempat mengalir. Tubuh ringkihnya sudah terbaring kaku, jiwanya pergi dengan keadaan tenang di depan istri dan anak-anaknya. 

Jumat 16 Juli 2021 menyakitkan, setiap mengenang selalu harus ada air mata yang menetes tanpa bisa dibendung. 

Selalu ada terselip rasa tak rela hingga sekarang, walaupun semua sudah berlalu dan bapa sudah tenang di rumah barunya.

Kini waktu membawaku kembali berkunjung ke sebuah kuburan putih setelah pulang karena liburan. Ada tulisan yang tertera namanya dan membuat rasa duka kembali berputar ke masa-masa itu. 

Mengenang semua kembali rasanya tak sanggup, masih ada juga rasa tak rela begitu kuat tetap melekat sampai sekarang. Tanpa terasa, dua tahun berlalu begitu cepat dan singkat. 

Nestapa yang dirasakan sebelumnya perlahan memudar, karena sudah seharusnya kehidupan kembali berjalan.

Namun, untuk kenangan tentang hari-hari terakhir tidak bisa lenyap begitu saja. Selalu ada kerinduan yang tersirat, ingin memeluk hanya kembali sadar dunia sudah berbeda. 

Terlalu jauh jarak yang membentang dan rumah yang dihuni pun sudah tak sama.

"Kini rumah Bapa berbeda, tetapi Bapa pasti sudah tidak sakit lagi."  

Pandanganku ke arah  foto bapa yang terukir juga di nisan, terlihat begitu tampan walau tak setampan aslinya. Bapa memang tampan, sering sekali kalimat itu meluncur dari bibir hitamnya. Kenapa hitam? 

Karena Bapa perokok aktif, setiap kesempatan dia selalu merokok walaupun dalam keadaan sakit sekalipun.

Tatapanku masih melekat ke arah fotonya, sembari tangan ini sibuk membersihkan dedaunan kering yang perlahan mampir di atas keramik putih. 

Bapa termasuk orang yang suka kebersihan, jika melihat sesuatu yang kotor, bapa akan mengomel. Suara besarnya kadang membuat telinga terganggu, tetapi kini itu yang dirindukan. 

Semua tentang bapa yang dulu terkadang menjengkelkan sekarang malah yang paling ingin dikenang kembali.

Bapa itu lucu, sering melawak dan menjahili. Sering juga marah dan memicu pertengkaran kecil di antara kami. Aku baru sadar namanya hidup tidak semua harus berjalan lurus seperti aspal. 

Ada saja pertengkaran-pertengkaran yang terjadi dan saat itu belum sepenuhnya aku memahami dan menerima.

"Kami rindu." Bibir ini berujar walaupun tidak ada jawaban yang didapat. Rasanya berbeda sekali bicara pada seseorang yang kini raganya sama sekali tak dapat dilihat. 

Jangankan raga, hadir dalam mimpi saja sudah hampir tak pernah dan kami berempat di rumah mengeluh akan hal itu. 

Kami ingin Bapa menyapa lewat mimpi, seperti setiap doa yang selalu digaungkan. Karena mungkin hanya dengan kehadiran dalam tidur saja, rasa haus akan kerinduan bertemu terbayar.

Sore ini kami kembali hadir di rumah baru bapa, untuk membakar lilin dan berdoa seperti biasa. Dua lilin dinyalakan untuknya saat ini, mengisyaratkan saja jika Bapa sudah pergi selama dua tahun. 

Bapa pergi dan meninggalkan semua kisah yang selalu membekas dalam memori kami hingga detik ini. 

Raganya boleh saja tak terlihat, tetapi semua tentang Bapa selalu tersimpan rapi dan sering dikenang melalui sebuah tulisan. ***

*Anggraini Da Gomez, penulis, tinggal di Mamumere.

Catatan: Cerita ini  dipersembahkann khusus untuk mengenang dua tahun kepergian Bapak Josef 
Joserfus Da Gomez yang telah berpulang ke surga pada Jumat, 16 Juli 2021 – 16 Juli 2023.