Geliat Sastra dalam Kacamata Milenial

Kamis, 04 Agustus 2022 13:45 WIB

Penulis:MAR

Editor:MAR

irfan limbong.JPG
Irfan Limbong (Dokpri)

Oleh Ahmad Irfan 

JAKARTA (Floresku.com) - Kita percaya, kemegahan konstruksi  kesusastraan, mampu mewujudkan loncatan capaian di suatu bangsa pada perhelatan peradaban sejarah, tentunya  tidak hanya berendam pada kubangan yang remeh temeh semata. 

Namun mampu menangkap nalar lima siklus di depannya ialah melestarikan nilai luhur keberagaman dan kearifan lokal warisan leluhur.

Berangkat dari letupan pikiran.   Seseorang maupun komunal masyarakat mampu merangkul nota ketidaksepakatan dengan bijak dan penuh kedamaian. Sastra juga menganalisa pakem-pakem yang bersifat personal maupun sosial yang terkadang pada kondisi tertentu menjadi sangat sublim. 

Kekuatan sastra bukan terletak pada satu dua susunan katanya tapi bara api yang berkobar di dada penikmatnya  yang memberikan semacam suplemen tambahan

Membaca karya sastra berupa novel semisal Tambora 1815 (Paox Iben), Namaku Merah (Orghan Pamuk) atau Larasati (Pramoedya Ananta Toer), menggiring kita pada sebuah ekspedisi nalar, imajinasi serta cakrawala dunia tanpa batas bagaimana menemukan variabel baru, yang coba di tampilkan dari penggalan masalalu, bahwa masa lalu adalah masa depan "There are something new under the sun". 

Lalu pelan namun pasti simpul-simpul itu tergapai lantas sampailah kita pada fase refleksi dasar pada diri kita sendiri. sudah sejauh manakah kita kayuh lautan samudra kehidupan ini, kemandirian  nilai-nilai kebaikan dan estetika yang mampu kita capai.

Sebagai samudera yang senantiasa terlibat dipenggambaran dan perhelatan sistem bermasyarakat yang majemuk kian konvensional. meliputi sistem pemerintahan, ritus hingga pelayanan publik yang berkeadilan. 

Watak sastra yang mengungkungi ruang dan waktu, dengan sendirinya bersifat dinamis bukan statis membuat sastra tak bisa dipenjara. Dunia kesusastraan tak boleh nyaman dalam gendongan nina bobok kaum pemimpi semata. 

Yang menjadi benalu mengakibatkan sastra menjadi lumpuh. Inilah problem yang mendasar di era kekinian hari ini dimana karya hanya menjadi sebuah perspektik yang dangkal dan sofis. 

Sebagai samudera ia akan menampung hilir dari setiap situasi nan kondisi dalam konstruksi tafsir yang menjadi pisikologi dari karya sastra itu sendiri. Samudera tetaplah suci airnya. Perlunya mengenal teori sastra, sejarah sastra sampai apresiasi sastra. Artinya sastra memiliki peranan yang kuat dan mengkodifikasi.

Otokritik serta pergolakan di kandungan sastra senantiasa inheren. Misalnya dalam novel "Seperti Sebuah Novel Yang Malas Menceritakan Manusia" Karya Afrizal Malna. Sangat kental akan nuansa pergejolakan batin akan aspek antropologi dan sosiologi yang senantiasa disajikan pada sub judul bahasanya kemudian melahirkan genre Afrizalian yang belakangan banyak dianut salah satunya Malkan Junaidi. 

Dalam novel tersebut terpampang juga protes dan gugatan pria Padang yang tanggal dan bulan lahirnya sama dengan Orghan Pamuk ini, sastra memiliki variabel dimensi yang begitu luas cakupannya Ia juga mengandung makna dan tafsir tentang gapaian jati diri dalam rentang perjalan di ujung perjumpaan seperti Bima yang di perintahkan sang Guru dalam buku "Dewaruci"

Sastrawan harus kenyang memahami dan mendalami aspek sejarah sosial bangsanya sendiri, sebelum ia pun banyak berkecimpung prihal sosial bangsa di negeri-negeri lain. Harus berusaha melacak tatanan nilai kearifan lokalnya. 

Sehingga landscape capaiannya tidak membonsai. Karya sastra di harap mampu menyikat kecongkakan akademik yang bahkan kerapkali menjadi menjadi sekat di kalangan. Sastra hanya akan menjadi bau dan kumal jika hanya di pakai membedakan mana pembalut bekas dan kaos kaki SMA yang tak berdasi.

Karya sastra selalu berangkat dari titik awal yang bernama kegelisahan baik bersifat realistis maupun imajinatif. Daya magnet dari kegelisahan seakan diejawantahkan sebagai eksistensi  sastrawan dalam upaya menggapai sensor halus dalam relung kalbu manusia yang bernama perasaan.  Bersamaan dengan semuanya mewujudkan segala macam aspek kemajemukan serta keberagaman.

Tak sedikit pula yang memandang dunia sastra dunia yang terlmpau cengeng dan lebay, bagaimanapun itu kesusastraan mempunyai DNA khasnya sendiri. Suatu penafsiran dari citraan tanda, lambang dan simbol yang distribusikan lewat nalar intuitif sastrawan itu sendri, dia bukanlah sungai melainkan alirannya, dia bukan ombak melainkan gelombangnya. 

Hidup dalam pengembaraan pikiran radikal dan liberal. Di era yang serba banjir ketebukaan ini, dengan negara yang bersistim demokrasi serta ekonomi yang bersistim kapitalisasi sastra harus hadir sebagai daya kritik bagi keduanya.

Sastra duduk di bangku paling depan mengemukakan sesuatu dengan ketulusannya sendiri sebelum filsuf mengkonsepnya, ilmuan menelitinya, sebelum, dan sebelum pemerintah mengatur semuanya.