Gubernur NTT Dikawal Bersenjata Saat Kunjungi Poco Leok, Simbol Apakah Ini?

Sabtu, 19 Juli 2025 23:23 WIB

Penulis:redaksi

Editor:redaksi

simbol.jpg
Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena saat berjalan menuju Aula Stasi Lungar untuk berdialog dengan Masyarakat Adat Poco Leok. Dalam kunjungan pada 16 Juli 2025 itu, ia dikawal ketat oleh pengawal pribadi dan sejumlah polisi yang membawa senjata laras panjang. ((Dokumentasi Floresa))

Oleh: Maxi Ali Perajaka*

KUNJUNGAN Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Melki Laka Lena, ke Poco Leok – sebuah wilayah pedesaan di Kabupaten Manggarai yang saat ini menjadi pusat konflik pembangunan proyek panas bumi – pada 16 Juli lalu, menimbulkan banyak perbincangan publik. 

Bukan soal isi pidato atau pendekatan dialog yang digunakan sang gubernur, melainkan penampilannya yang dikawal aparat keamanan dengan senjata lengkap. 

Potret ini menciptakan pertanyaan yang lebih besar: Apakah etis seorang pejabat publik hadir di tengah rakyatnya dengan lapisan perlindungan bersenjata, apalagi saat yang dikunjungi adalah komunitas sipil yang selama ini justru memohon didengar?

Poco Leok: Daerah Strategis yang Sarat Ketegangan

Poco Leok bukan wilayah sembarangan. Ia menjadi titik konflik panas antara pemerintah, perusahaan pengembang panas bumi, dan masyarakat adat. 

Proyek panas bumi di wilayah ini telah menimbulkan penolakan keras dari sejumlah warga dan kelompok adat, yang merasa tanah ulayat mereka terancam. Kecurigaan atas proses sosialisasi, sertifikasi lahan, dan keterlibatan warga dalam proses keputusan semakin memperkeruh suasana.

Dalam konteks seperti itu, kedatangan Gubernur NTT seharusnya menjadi momen penting membangun jembatan kepercayaan. Namun apa yang terjadi? 

Potret dan kesaksian warga menggambarkan suasana yang justru jauh dari prinsip dialog egaliter: pengawalan bersenjata, iring-iringan mobil dinas, hingga penempatan personel keamanan yang menciptakan nuansa seolah-olah rakyat adalah potensi ancaman.

Simbol Kekuasaan vs Simbol Ketakutan

Di banyak negara, kehadiran pemimpin publik di tengah masyarakat sering kali dirancang sebagai simbol keterbukaan dan kepercayaan timbal balik. Presiden Uruguay misalnya, José Mujica, dikenal tanpa pengawalan berlebihan, bahkan mengemudi sendiri ke acara-acara publik. 

Kontras dengan itu, kehadiran pejabat publik dengan pengawal bersenjata – apalagi dalam konteks masyarakat sipil tak bersenjata seperti Poco Leok – menimbulkan kesan sebaliknya: rakyat bukan sahabat, melainkan ancaman.

Kesan ini menciptakan jurang emosional yang dalam. Bukankah pemimpin publik harusnya menjadi bagian dari rakyat, bukan berada di atas atau berjarak karena rasa curiga dan ketakutan?

Etika Kekuasaan: Ketimpangan Akses terhadap Perlindungan Diri

Kritik terhadap penggunaan pengamanan bersenjata juga berhubungan dengan isu etis yang lebih luas. Dalam wacana global, sering muncul pertanyaan: Apakah etis pejabat publik, yang dilindungi pengawal bersenjata atau aparat negara, mendorong kebijakan yang membatasi rakyat untuk memiliki akses terhadap teknologi perlindungan diri yang sama?

Pertanyaan ini pertama kali menjadi bahan diskusi tajam dalam debat soal kepemilikan senjata api di Amerika Serikat, di mana beberapa politisi yang memiliki detail keamanan pribadi bersenjata mendorong undang-undang kontrol senjata ketat terhadap warga sipil.

 Ketimpangan ini menjadi sorotan: Jika pejabat bisa mengakses perlindungan maksimal, mengapa warga tidak bisa mengakses tingkat keamanan serupa, terutama di wilayah yang minim kehadiran aparat?

Dalam konteks NTT, terutama di desa-desa terpencil seperti Poco Leok, masyarakat justru sering merasa tidak memiliki perlindungan. Ketika konflik agraria pecah, atau aparat negara absen, masyarakat hanya bisa mengandalkan solidaritas komunitas. 

Maka, ketika pejabat hadir dengan lapisan keamanan bersenjata, muncul kesan ketimpangan: negara hadir penuh untuk melindungi elite, tapi setengah hati untuk melindungi warga biasa.

Perspektif Hukum dan Protokol Keamanan

Dari sisi formal, pengawalan bersenjata kepada gubernur sah-sah saja. Berdasarkan peraturan perundangan dan protokol keamanan, pejabat tinggi negara seperti gubernur memang mendapat pengamanan dari polisi atau Satpol PP bersenjata jika dianggap perlu. 

Dalam konteks kunjungan ke wilayah dengan potensi konflik atau massa besar, aparat bisa menetapkan level ancaman tertentu dan menyediakan pengamanan ekstra.

Namun yang menjadi soal bukan legalitas, melainkan simbolisme dan pesan publik. Apakah Gubernur NTT atau tim protokolnya menyadari bahwa keputusan membawa pengawal bersenjata ke kampung-kampung adat yang sedang berkonflik adalah tindakan yang kontraproduktif terhadap semangat rekonsiliasi?

Apakah keputusan itu membangun kepercayaan, atau justru memperkuat narasi bahwa negara lebih berpihak pada kepentingan korporasi dan siap menggunakan otoritas bersenjata untuk menekan perlawanan warga?

Solusi dan Rekomendasi: Saatnya Mengedepankan Keamanan Sosial, Bukan Reaktif Militeristik

Keamanan sejati dalam masyarakat sipil tidak dibangun dari laras senjata, tetapi dari kepercayaan sosial. Dalam konteks pembangunan proyek-proyek strategis nasional, terutama yang menyentuh tanah ulayat atau wilayah adat, kehadiran pejabat publik harus dirancang secara humanis, bukan intimidatif. 

Beberapa rekomendasi berikut layak dipertimbangkan:

  • Evaluasi Protokol Keamanan Lokal: Protokol kunjungan pejabat daerah perlu mempertimbangkan konteks sosial kultural setempat. Tidak semua wilayah membutuhkan pengawalan bersenjata. Kadang, justru dialog terbuka tanpa pengawalan berlebihan menghasilkan keamanan yang lebih otentik.
  • Transparansi Tujuan Kunjungan: Jika pejabat hadir untuk berdialog, maka hadirkan dialog yang sejati. Gunakan pendekatan partisipatif, dengarkan warga, dan hindari komunikasi satu arah dengan narasi kekuasaan.
  • Hindari Militerisasi Ruang Sipil: Negara seharusnya membangun keamanan melalui keadilan, bukan dominasi. Jangan biasakan warga melihat senjata sebagai cara negara membungkam, bukan melindungi.
  • Akses Setara terhadap Rasa Aman: Jika negara memberikan perlindungan penuh kepada pejabat, maka logikanya, rakyat pun harus mendapatkan jaminan rasa aman yang setara – bukan malah merasa terancam oleh kehadiran pejabat.

 Jangan Jadikan Rakyat Objek Kecurigaan

Kunjungan Gubernur Melki Laka Lena ke Poco Leok bisa menjadi momentum berharga membangun dialog dan perdamaian. Namun cara kunjungan itu dirancang – dengan pengawalan bersenjata – justru memperkuat ketidakpercayaan rakyat terhadap negara. 

Ini bukan soal teknis keamanan, tetapi soal pesan moral dan etika: apakah pejabat publik masih melihat rakyat sebagai mitra, ataukah sebagai pihak yang harus diwaspadai?

Dalam dunia yang semakin sadar pada prinsip keadilan dan kesetaraan, wibawa tidak lagi dibangun dari kendaraan mewah atau senjata di pinggang pengawal. 

Wibawa sejati justru lahir dari kemampuan mendengar, keberanian hadir tanpa takut, dan ketulusan menjawab keresahan rakyat dengan solusi, bukan intimidasi.*

*Pemimpin Redaksi Floresku.com. ***