HOMILI, Minggu, 31 Oktober 2021: Hukum yang Benar dan Menyelamatkan

Sabtu, 30 Oktober 2021 19:58 WIB

Penulis:redaksi

Editor:Redaksi

HOMILI, Minggu, 31 Oktober 2021: Hukum yang Benar dan Menyelamatkan
HOMILI, Minggu, 31 Oktober 2021: Hukum yang Benar dan Menyelamatkan (Dokpri)

 KEWAPANTE (Floresku.com) -  Hari ini, Minggu, 31 Oktober 2002, Pater Gregor Nule SVD, Pastor Paroki Ratu Rosari, Kewapante,  Keuskupan Maumere menyajikan bagi kita sebuah Homili yang indah dan menyejukkan lagi memberikan pengharapan.

Pater Gregor meramu Homili tersebut  berdasarkan bacaan Hari Minggu XXXI B yaitu  Ulangan 6: 2 – 6; Ibrani 7:23-38; Markus 12:28b-34 

Selamat menikmati dan menimba pengalaman iman dari Homili Pater Gregor berikut ini!               

MARKUS mencatat tentang  tiga soal besar yang dihadapi Yesus ketika berada di Yerusalem. Kelompok Herodian bertanya tentang soal membayar pajak kepada Kaisar (Mrk 12:13-17), dan kelompok Saduki bertanya tentang soal kebangkitan orang mati (12: 18-27). Kedua pertanyaan ini bersifat menjebak dan mau mencobai Yesus untuk mencari kesalahanNya. 

Tetapi Yesus memberi  jawaban  tepat yang membuat kaum Herodian dan  Saduki tidak berkutik. Karena itu, para ahli Taurat yakin bahwa Yesus mengajarkan kebenaran. Maka salah seorang di antara mereka bertanya bukan sekedar untuk mencobai Yesus melainkan untuk mencari kebenaran sejati berkaitan dengan hukum manakah yang paling utama. 

Memang  para ahli Taurat  tahu bahwa ada 10 perintah Allah dan ada pula 613 hukum yang diperincikan menjadi 365 larangan dan 248 suruhan. Dan jika semuanya ditaati maka  hidup mereka jadi baik, sejahtera dan berkenan di hadapan Allah. Tetapi, manakah hukum yang pertama dan utama?

Yesus menjawab pertanyaan itu dengan mengutip doa Shema yang diucapkan dua kali sehari oleh seorang Israel sejati. “Dengarlah hai orang Israel, Tuhan Allah kita itu Tuhan yang esa! Kasihanilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi, dan dengan segenap kekuatanmu”, (bdk Mrk 12:29-30). Lalu Yesus menambahkan lagi.  

“Dan hukum yang kedua ialah kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari kedua hukum ini”, (Mrk 12: 31). Dengan penegasan ini Yesus membuat kedua hukum di atas menjadi sama penting: mengashi Allah dan mengasihi sesama. 

Saya yakin kita semua setuju bahwa ajaran cinta kasih kepada Allah dan kepada sesama merupakan sebuah kebenaran iman yang memberikan jaminan kebahagiaan kepada setiap orang yang mentaati dan melaksanakannya. 

Tetapi kita bertanya, mengapa manusia mesti mencintai Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan dengan segenap kekuatannya?  Lalu, mengapa manusia mesti mencintai sesamanya seperti dirinya sendiri?

Pertama, cinta kepada Allah terutama merupakan ucapan syukur dan pujian atas segala kebaikan dan kasih Allah yang tak terbatas kepada manusia. Allah telah mecintai manusia secara total dan tanpa syarat. 

Maka pantaslah jika kita yang adalah ciptaanNya yang istimewa mengasihi dan mengabdi kepadaNya tanpa batas dan tanpa syarat. Sebab hanya orang yang dengan tulus ikhlas mengasihi Allah dan setia mentaati firmanNya, dialah yang paling berbahagia. Baginya Allah sesungguhnya merupakan pelindung dan pembela dalam situasi apa pun. 

Kedua, cinta kepada Allah harus nyata  dalam cinta kepada sesama. Kedua ungkapan cinta ini harus selalu bersama dan tidak boleh dipisahkan. Kita ungkapkan cinta kepada Allah lewat doa, ibadah, mendengarkan SabdaNya dan mentaati perintah-perintahNya. 

Kita juga ke gereja setiap hari Minggu dan bahkan setiap hari untuk memberikan persembahan dan melakukan bentuk pengorbanan lainnya sebagai pernyataan iman dan kasih kita kepada Allah. Kita berikan yang terindah kepada Allah sebagai ungkapan kasih dan iman.

Tetapi, semua ungkapan itu akan menjadi sia-sia jika kita mengabaikan orang-orang di sekitar kita. Kita tidak memberikan perhatian secukupnya kepada orang miskin dan terlantar, orang sakit, kelompok lanjut usia dan anak-anak yatim-piatu. Kita ingat diri dan mau enak sendiri. 

Kita mengabaikan keamanan, ketenangan, kedamaian dan kesejahteraan mereka. Tidak mungkin kita mencintai Allah dengan tulus ikhlas dan sementara itu kita membenci, menaruh dendam, berpikir negatif terhadap sesama serta merencanakan sesuatu buruk dan jahat bagi mereka. 

Dan, siapakah sesama kita? Mungkin dialah pasangan kita; adik atau kakak; saudara atau saudari sekomunitas; kerabat kerja; pimpinan atau bawahan; majikan atau pekerja; tetangga; atau dia yang pernah menyakiti hati kita; dia yang berbeda agama, pandangan dan suku dengan kita, dan lain-lain. 

Bila dalam ziarah hidup ini kita berhasil menyatukan cinta kasih kepada Allah dan sesama, maka yakinlah kita akan merasakan betapa nikmatnya kasih serta betapa aman dan damainya kehidupan kita. Dan, pada akhir zaman kita akan menikmati kehidupan kekal. Amen.

Kewapante, 31 Oktober 2021. ***