HOMILI P. Gregor Nule SVD, Minggu 20 Februari 2022: Mengampuni Musuh adalah Perwujudan Hukum Cinta Kasih yang Paling Luhur

Sabtu, 19 Februari 2022 20:35 WIB

Penulis:redaksi

PATER GORIS.JPG
Pater Gregor Nule SVD, Pastor Paroki Kewapante, Keuskupan Maumere, Flores. (Dokpri)

           (Minggu Biasa VIIC: 1Sam 26:2.7-9.12-13.22-23; 1Kor 15:45-49; Luk 6: 27-38)       

Ilustrasi: 

Ketika Gandhi belajar hukum di London, ia mengalami sesuatu yang luar biasa. Profesor Peters sepertinya tidak menyukainya. Suatu hari ketika profesor itu sedang makan siang di Kantin Universitas, Gandhi datang dan ingin makan juga di sampingnya. Prof. Peters berkata, “Gandhi, apakah anda tidak mengerti bahwa seekor babi dan seekor burung tidak duduk berdampingan untuk makan?” Gandhi bagai orang tua yang menatap anak yang nakal. menjawab, “jangan khawatir prof…saya akan segera terbang…”? Dan Gandhi lalu pindah ke meja lainnya. Muka prof Peter menjadi merah padam, penuh kemarahan dan  berniat untuk balas dendam…

Keesokan harinya ia sengaja  mengajukan sebuah pertanyaan kepada Gandhi di depan mahasiswa lain,“Gandhi, seandainya kamu sedang berjalan  dan tiba-tiba menemukan satu tas penuh uang pounsterling lembaran 100 ribuan  dan satu tas lain penuh dengan kebijaksanaa: mana yang kamu ambil?

Tanpa ragu Gandhi menjawab, “Ya, tas uanglah yang saya ambil”. Prof Peters tersenyum sinis lalu berkata dengan bangga, jika tas uang yang kamu ambil, maka aku akan mengambil tas kebijaksanaan. Dengan santai Gandhi menegaskan, “Seseorang itu biasanya mengambil apa yang dia tidak punya….”. Prof. Peters hilang akal dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Dengan penuh kemarahan dia menulis kata “Idiot” pada lembaran ujian Gandhi dan mengembalikannya kepada Gandhi. Sesudah membacanya Gandhi duduk dan berusaha untuk tenang. Beberapa menit kemudian ia berdiri dan menghampiri profesor Peters seraya berkata dengan sangat sopan: “Prof..anda baru saja menandatanggani lembaran jawaban ini, tetapi belum memberi nilai”.

***

Kitab pertama Samuel melukiskan tentang raja Daud yang baik hati, penuh iman dan kesetiaan kepada Allah, serta besar kasih dan belaskasihnya kepada sesama, termasuk Saul yang membenci dan memusuhinya. 

Daud tentu saja marah karena ia sedang dikejar oleh Saul bersama sekitar 3.000 serdadu untuk membunuhnya, tanpa alasan jelas. Mungkin karena iri hati. 

Sebetulnya Daud memiliki kesempatan yang sangat istimewa untuk membunuh Saul ketika menemukannya sedang tidur lelap di perkemahan. Tetapi Daud tidak rela melakukannya. 

Ia mengampuni Saul dan membiarkannya tetap hidup. Ia tidak ingin balas dendam. Ia ingin membalas kejahatan dengan kebaikan dan kasih.  Mengapa? Sebab Daud takut akan Allah. Ia tidak mau menjamah apalagi membunuh Saul, orang yang diurapi Tuhan dan juga tuannya sendiri.  

Dalam Injil Yesus menantang para murid dan pendengarNya untuk memberi perhatian khusus kepada salah satu perintah kasih yang paling sulit. 

Yesus minta dan bahkan menuntut supaya menghayati perintah kasih kepada musuh. Yesus berkata, “Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu; mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu”, (Luk 6:27).

Pewartaan Yesus ini tentu tidak mudah dicerna dan diterima. Sebah   kebanyakan pendengar Yesus pada zaman-Nya masih sangat kuat dipengaruhi oleh hukum balas dendam: gigi ganti gigi; kejahatan ganti kejahatan. 

Yesus menuntut  para pendengar dan pengikutNya punya cara hidup dan perilaku yang berbeda, yakni jangan membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi, sebaliknya, membalas kejahatan dengan kebaikan dan kasih. 

Perintah mengasihi musuh meskipun dirasa sulit dan mustahil, tetapi mesti  dilaksankan, karena memberi ciri khas kepada para pengikut Kristus. Para pengikut Kristus diminta untuk berbuat baik, memberkati dan berdoa demi kebaikan para musuh.  Alasan  utama perintah ini adalah karena Bapa di surga baik pula terhadap orang-orang jahat. 

Bagi kita, para pengikut Kristus di zaman ini, perintah mengasihi musuh juga menjadi tantangan tersendiri. Mungkin kita bisa memahaminya. 

Tetapi, sebagaimana, para pendengar dan pengikut Yesus dahulu, kita pun alami kesulitan untuk menghayati dan melaksanakannya di dalam hidup sehari-hari. Meski demikian, tidak ada hal yang begitu mustahil jika kita mau terbuka dan  bekerja sama dengan kuasa dan rahmat Allah.

 Karena itu, kita belajar dari  Gandhi dalam ilustrasi di atas. Meskipun ia tersinggung dan marah. Ia tetap tenang dan sabar. Sikap tenang dan sabar menjadi senjata baginya untuk mengalahkan kesombongan dan menyadarkan profesor Peters akan perilaku dan sikapnya yang tidak pantas terhadap orang lain, khususnya terhadap Gandhi. 

Kita pun hendaknya belajar tenang dan sabar ketika berhadapan dengan sikap sinis, fitnaan, dan penghinaan yang tidak jarang kita alami dalam hidup sehari-hari. Sikap tenang dan sabar menjadi kekuatan untuk mengalahkan kecenderungan membalas dendam dan suka membenci.

Kita juga belajar dari raja Daud yang sungguh percaya kepada Allah, bersandar pada kekuatan dan rahmat Allah sehingga ia mampu mengampuni dan   membalas kejahatan dengan kebaikan dan cinta kasih. 

Sebab iman akan Allah dan kasih yang tulus kepada orang lain akan membebaskan kita dari keinginan untuk menghabisi musuh-musuh dan nafsu balas dendam.  Iman akan Allah dan cinta yang tulus memotivasi kita untuk berbuat baik, memberkati dan berdoa bagi oran-orang  yang marah,  membenci, dan memusuhi kita. Amen.

*Kewapante, Minggu, 20 Februari 2022. ***