Cinta
Sabtu, 18 Februari 2023 12:24 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
(Minggu Biasa VIIA: Im 19:1-2.17-18; 1Kor 3:16-23; Mat 5:38-48)
Berbicara tentang mengampuni orang yang telah membuat kita menderita, hati sakit, dan terluka, mungkin lebih ganpang ketimbang mempraktekkannya.
Dalam hidup sehari-hari muncul pendapat yang berbeda-beda tentang soal pengampunan. Ada yang katakan bahwa ia bisa mengampuni, tapi sulit melupakan kesalahan dan rasa sakit hati yang telah dialaminya.
Ada yang katakan bahwa pengampunan yang sejati sangatlah sulit bagi manusia, hanya Allah saja yang dapat mengampuni secara benar.
Ada pula yang mengatakan bahwa sekali atau dua kali mengampuni kesalahan yang sama dari orang yang sama, mungkin bisa, tetapi jika kesalahan yang sama diulang terus-menerus maka pasti sulit untuk memberikan pengampunan.
Tetapi, apakah mustahil bagi manusia mengampuni secara tulus? Saya yakin tidak. Mengampuni orang yang telah menyakiti kita adalah hal yang mungkin bagi manusia.
Saya sebutkan satu dua contoh. Paus Yohanes Paulus II mengampuni Ali Agca yang telah mencoba membunuhnya di lapangan Santo Petrus Roma dan mengunjunginya di penjara ketika menjalani masa tahanan.
Nelson Mandela, pahlawan kemanusiaan dari Afrika Selatan, yang mengalami perlakuan yang tidak manusiawi dan hukuman di penjara secara tidak adil mengakui bahwa ia tidak dendam dan benci terhadap orang-orang kulit putih yang telah menghukumnya. Ia mengampuni mereka dan ingin menjadi sahabat mereka.
Tetapi ia menolak secara tegas dan bahkan membenci sistem apartheid yang tidak adil yang menciptakan diskriminasi sosial serta membuat banyak orang kulit hitam atau negro di Afrika Selatan menderita.
Kitab Imamat dan Injil hari ini berbicara tentang alasan mendasar pengampunan yang harus kita berikan kepada orang lain.
Penulis Kitab Imamat menegaskan bahwa Allah adalah kudus maka setiap orang hendaknya berusaha menjadi kudus. Artinya, seseorang tidak boleh menajiskan hatinya dan mendatangkan dosa bagi diri sendiri dengan membenci saudaranya dan suka membalas dendam. Dan, sikap yang benar adalah berterus terang menegur sesama yang bersalah.
Dalam nada yang saja, Yesus memberikan alasan mengapa orang mesti saling mengampuni, yakni karena Allah telah lebih dahulu mengampuni kita tanpa batas.
Allah itu murah hati dan suka mengampuni, maka kita pun hendaknya murah hati dan bersedia mengampuni sesama. Yesus juga meminta agar sikap belaskasihan dan kemurahan hati Allah ditiru dan dipraktekkan setiap kali berhadapan dengan sesama yang lalai dan mudah jatuh ke dalam dosa.
Dalam Kotbah di Bukit Yesus coba menyadarkan para muridNya untuk memahami, menerima dan menghayati ajaran baru tentang pengampunan yang didasarkan pada kasih persaudaraan. Para murid sudah mengenal hukum pembalasan atau lex talionis: “mata ganti mata dan gigi ganti”, (Mt 5:38).
Atau dalam Kitab Keluaran, “Mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak”,(Kel 21:24).
Di sini, orang harus menuntut balasan kerugian yang setimpal atau balasan rasa sakit yang ia derita. Mungkin tindakan pembalasan ini dirasa adil dan pantas di mata manusia. Tetapi di mata Yesus tidaklah demikian. Yesus ingin membalikkan dan merombak semuanya.
Sebab kemarahan dan kebencian pasti akan mendatangkan kejahatan balas dendam yang dashyat. Yesus menawarkan ajaran baru, yakni pengampunan yang terpancar dari kemurahan hati dan rasa belaskasihan yang berlimpah-limpah untuk memadamkan bara api kemarahan dan dendam.
Dan pengampumpunan yang sejati mesti didasarkan pada kasih. Maka Yesus meminta agar para muridNya mengasihi musuh-musuh dan berdoa bagi mereka.
Hari ini Yesus mengajak dan sekaligus menantang kita untuk mempraktekkan pengampunan atas dasar kasih. Kita diajak untuk mengampuni orang yang bersalah dan mendoakan mereka yang telah menyakiti hati kita.
Sebab dalam keluarga dan masyarakat kita tidak hidup dengan malaekat-malaekat yang bebas dari kejahatan, dosa dan salah, Sebaliknya kita pun tidak hidup dan bekerja dengan orang jahat dan setan-setan, yang dalam segala aspek hidupnya gelap dan negatif.
Kita justeru hidup dan berbagi dengan manusia biasa, yang punya kekuatan dan kelebihan, dan juga kelemahan dan kekurangan. Maka kita dituntut niat luhur dan kehendak baik untuk saling mengampuni.
Barang siapa yang tidak mau mengampuni tidak akan memiliki kedamaian di dalam hati, ia jauh dari sesama dan juga jauh dari Allah.
Sebab bebencian dan dendam adalah racun yang mematikan. Menyimpan dendam dan kebencian di dalam hati adalah tindakan membunuh diri sendiri dan membunuh orang-orang di sekitar kita.
Barang siapa yang tidak mengampuni akan mengalami rasa sakit di dalam hati-bathin, yang tentu berakibat terhadap kesehatan tubuhnya.
Karena itu, keluarga, komunitas biara, masyarakat dan Gereja harus menjadi wadah yang baik untuk membangun kehidupan dan bukan kematian, tempat penyembuhan dan bukan penyebaran virus dan penyakit.
Ingatlah, pengampunan dan kasih yang merangkul semua orang akan mendatangkan kegembiraan, sedangkan benci dan dendam mendatangkan kesedihan dan penyakit.
Pengalaman menunjukkan bahwa orang yang hidup dalam kebencian dan dendam mudah terserang gangguan tekanan darah yang tidak stabil dan serangan jantung.
Mari kita berusaha membangun hidup bersama sebagai umat Allah maupun sebagai anggota masyarakat dalam semangat persaudaraan dan kekeluargaan dengan selalu bersedia untuk saling mengampuni dan mau berdamai kembali dengan orang lain atas dasar kasih.
Semoga Tuhan Yesus memberkati kita selalu. Amen.
Kewapante, Minggu, 19 Februari 2023.
P. Gregorius Nule, SVD. ***