Tuhan
Sabtu, 11 November 2023 15:08 WIB
Penulis:redaksi
(Minggu Biasa XXXIIA: Keb 6:12-17; 1Tes 4:13-18; Mat 25:1-13)
ADA seorang gadis Katolik yang amat cantik dan baik hati. Ia berasal dari sebuah keluarga sederhana.
Ia sungguh bersyukur karena berkat usaha dan kerja keras orangtuanya ia bisa menyelesaikan pendidikannya di Perguruan Tinggi, jurusan Akuntansi dengan prestasi luar biasa. Ia lebih bersyukur lagi karena diterima untuk bekerja di suatu perusahaan terkenal di kotanya.
Ia juga patut bersyukur karena anak sulung pemilik perusahaan, tempat ia bekerja, jatuh hati kepadanya. Rupanya gadis itu juga mencintai pemuda itu.
Tetapi, ada satu kendala besar. Keduanya memeluk agama yang berbeda, Islam dan Katolik. Dan, orang tua si pemuda itu menuntut agar calon isteri mengikuti agama anaknya.
Tuntutan ini jadi sangat berat karena gadis itu adalah seorang penganut agama katolik yang setia. Sejak kecil ia terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan Gereja seperti, misdinar, Sekami dan Kelompok kerasulan remaja.
Karena itu, gadis ini berhadapan dengan pilihan yang sangat rumit. Semua keluarga membujuknya supaya tidak mempermasalahkan soal agama.
Kebanyakan teman dan sahabatnya pun berpendapat sama. Bahkan orang tuanya menuntut supaya ia segera menerima lamaran pria itu sebagai bukti anak yang berbakti dan tahu berterima kasih.
Menurut mereka, ia boleh saja pindah agama. Tidak masalah. Soal agama itu urusan dengan Tuhan di kemudian hari.
Setelah beberapa hari bergumul dengan persoalan itu, gadis itu putuskan untuk tinggalkan orangtua dan kekasihnya secara diam-diam.
Kepada kekasihnya ia menulis sepucuk surat yang isinya, “Saya berterima kasih atas cinta dan perhatianmu. Saya juga sangat mencintaimu. Tetapi minta maaf saya tidak bisa meninggalkan agama dan keyakinan saya. Maka biarlah saya pergi meninggalkan engkau”.
Ia juga menulis sepucuk surat permohonan maaf kepada orangtuanya. Ia berharap bahwa pada suatu hari kelak ia akan lebih berbakti kepda kedua orang tua. Ia menulis, “Imanku adalah segala-galanya bagiku. Saya tidak rela meninggalkan Yesus yang telah mencintai dan menunjukkan jalan benar bagiku”.
Sejumlah temannya menyesali kepergiannya. Bagi mereka, itu adalah keputusan bodoh. Karena itu, ada yang mengatakan bahwa ia adalah gadis saleh, tapi tolol.
Ketika berhadapan dengan sebuah keputusan besar dalam hidup, sebagaimana yang dialami oleh seorang gadis dalam ilustrasi di atas, kita diminta untuk memiliki sikap tenang, tidak gegabah, waspada dan hati-hati.
Untuk membangun sikap hidup demikian, kita diajak untuk belajar menjadi orang yang bijaksana, sebagaimana dilukiskan dalam bacaan pertama.
Orang bijaksana tahu mana yang paling berguna untuk hidup yang baik, benar dan yang menuntunnya kepada kebahagiaan yang sejati.
Sebab orang bijaksana tahu bahwa kebijaksanaan adalah Allah sendiri yang memanggil manusia untuk tinggal bersama Dia dan belajar hidup dari Dia, satu-satunya jaminan kebahagiaan yang tertinggi.
Injil hari ini mengajak kita untuk membangun sikap benar dan bijaksana dalam menantikan kedatangan Tuhan, yakni bersikap senantiasa berjaga-jaga dan waspada.
Yesus berkata, “…..berjaga-jagalah dan waspadalah sebab kamu tidak tahu akan hari dan saatnya”, (Mat 25:13).
Kelima gadis bijaksana ikut serta menikmati perjamuan bersama pengantin itu. Karena mereka menantikan kedatangannya sambil menyiapkan pelita.
Mereka tetap mengarahkan perhatian ke depan, tetapi tidak melupakan pelita yang perlu disiapkan dengan minyaknya. Mereka tetap menantikan kedatangan Tuhan sambil melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari.
Sebaliknya, kelima gadis bodoh hanya fokus melihat ke depan menantikan kedatangan Tuhan. Mereka lupa menyiapkan pelita dan minyak.
Artinya mereka menantikan kedatangan Tuhan, tetapi melalaikan urusan-urusan hari ini dan di sini yang amat berguna dan menentukan hari Tuhan. Mereka lengah dan lalai. Akibatnya mereka tidak menikmati perjamuan nikah bersama sang pengantin.
Pada akhir zaman Kristus akan menyatakan Diri sebagai Tuhan segala ciptaan. Maka dari kita dituntut kesiapsigaan untuk menyongsong Kristus sebab Dia akan datang bagaikan pencuri di waktu malam.
Orang yang bijaksana akan mengisi lampunya dengan minyak secukupnya sehingga tetap siap-siaga menyambut kedatangan Tuhan.
Kita tahu bahwa waktu hidup di dunia ini singkat dan penantian kita tidak pasti. Tetapi kita mesti manfaatkannya dengan baik sehingga bermakna bagi diri sendiri, sesama, dunia dan untuk kemuliaan Allah. Sebab hidup dunia ini menjadi persiapan untuk hidup yang kekal kelak.
Dan, kita juga diberi kuasa serta kemampuan oleh Allah untuk mengelola hidup ini dengan baik. Merawat dan memelihara hidup adalah ungkapan tanggungjawab dan syukur atas anugerah hidup dari Tuhan kepada kita.
Sebab pada waktunya setiap orang harus mempertanggungjawabkan anugerah hidup itu kepada Tuhan.
Orang tidak bisa katakan hidup adalah hidupnya sendiri; dan mati adalah matinya sendiri. Kita hendaknya hidup bagi Allah dan hidup bagi sesama.
Karena itu, kita mesti sadar bahwa hidup dan mati adalah milik Tuhan. Dan Tuhan sendirilah yang menghendaki agar setiap orang yang adalah milikNya mengalami kebahagiaan sejati baik di dunia maupun di akhirat kelak. Inilah cara berpikir dan cara hidup bijaksana yang berkenan kepada Tuhan. Amen. (*)
Kewapante, Minggu, 12 November 2023
P. Gregorius Nule, SVD. ***