Yesus
Sabtu, 26 Maret 2022 20:19 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
(Yos 5:9a.10-12; Mzm 34: 2-7; 2 Kor 5:17-21; Luk 15:1-3.11-32)
Ilstrasi:
Ketika mengikuti perayaan ekaristi di gereja seorang pemuda duduk di bangku paling belakang. Dia hanya duduk terdiam selama perayaan ekaristi. Dia juga tidak menerima komuni kudus.
Setelah lagu penutup dan hampir semua umat telah meninggalkan gereja, pastor yang memimpin ekaristi mendekati pemuda itu dan menyalami dia.
Pastor bertanya, “Masih mau berdoa di sini? Kelihatan khusuk sekali doanya”. Pemuda itu menjawab, “Ya pastor. Hati saya tidak tenang karena masa lalu saya penuh kegelapan. Saya tidak yakin Tuhan mengampuni saya”.
Pastor memandang wajah pemuda itu dan berkata, “Urusan mengampuni bukan urusan kita. Tetapi yang harus kita miliki adalah komitmen untuk bertobat dan melakukan kehendak Allah”.
Dengan wajah tersenyum pemuda itu berkata, “Terima kasih pastor. Saya ingin mengawali komitmen saya dengan mengaku dosa dan berusaha hidup lebih baik”.
Renungan:
Injil hari ini melukiskan tentang kritikan orang Farisi dan ahli Taurat terhadap sikap Yesus yang begitu terbuka untuk menerima, duduk dan makan bersama dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa.
Menurut mereka, orang-orang ini patut ditolak dari pergaulan sehari-hari. Sebab bergaul dengan orang berdosa berarti menyetujui perbuatan mereka dan masuk dalam dunia mereka yang kotor.
Itulah sebabnya orang-orang Farisi dan ahli Taurat menggerutu dan bersungut-sungut karena Yesus, nabi dan Mesias, membiarkan orang-orang itu datang kepadaNya untuk mendengarkan pengajaran dan mengikuti-Nya.
Menanggapi kritikan itu Yesus menyampaikan suatu perumpamaan tentang kasih seorang bapak yang sungguh mengagumkan kepada kedua anaknya yang dinilai tidak beres dan durhaka. Itulah perumpamaan tentang “anak yang hilang”, Luk 15:11-32).
Anak bungsu itu durhaka karena meskipun ia selalu mendapat kasih sayang bapak. Tetapi, ia merasa tidak nyaman di rumah. Maka ia minta warisan yang sebetulnya bukan haknya, karena ia mau bebas dan urus diri sendiri.
Ia menginggalkan rumah, menjual seluruh harta miliknya, menggunakannya sesuka hati dan memboroskannya dengan hidup berfoya-foya. Justeru hidup berfoya-foya inilah yang menjadi akar dan awal segala penderitaan, kelaparan dan kehancuran. Ini juga menjadi tanda kebebasan tanpa batas yang menghantarnya kepada bencana dan kemelaratan.
Tetapi, dalam penderitaan di tanah rantau anak bungsu itu mulai sadar dan paham akan cinta yang melimpah di rumah bapaknya. Ia teringat akan kelimpahan makanan dan ketenangan hidup yang dialami para pekerja di rumah bapaknya, sedangkan dia sendiri mati kelaparan di tanah asing.
Kenangan indah ini memotivasi dan mendorongnya untuk kembali ke rumah bapak. Ia mau bersatu lagi dengan bapak dan kakaknya. Kerinduan ini akhirnya mendapat sambutan hangat dan penuh sukacita dari bapaknya ketika ia tiba kembali di rumah.
Sedangkan, anak sulung itu baik dan taat kepada bapak. Ia bekerja dengan giat untuk bapaknya. Ia tidak pernah melanggar satu perintah pun dari bapaknya. Tetapi, ia juga adalah anak durhaka.
Sebab kendati pun ia tidak pernah pergi dari rumah dan bapak, ia selalu merasa jauh dari bapaknya dan lagi penuh kecurigaan. Ia protes dan menolak keras sikap bapak yang menerima kembali anak bungsu atau adiknya tanpa syarat, padahal ia telah memboroskan semua hartanya dengan para pelacur dan perempuan sundal. Ia juga menuduh bapaknya bersikap tidak adil terhadap dirinya.
Anak sulung ternyata tidak kenal kebaikan hati bapaknya. Ia hidup dalam dunianya yang penuh iri, dendam dan cemburu. Dan ia adalah tipe orang yang kelihatan baik dan dekat dengan bapak, tetapi sebenarnya jauh dan bahkan membenci bapak dan adiknya.
Perumpamaan di atas melukiskan secara tepat arti sebuah pertobatan, yang hendaknya menjadi komitmen dan usaha kita selama masa prapaskah, dan sekaligus ajakan untuk membangun iman akan Allah yang maharahim dan maha pengampun.
Bagi kita, tobat sejati menuntut proses panjang yang lahir dari kesadaran akan sikap, tingkah laku dan hidup lama yang menolak cinta dan kebaikan Allah, serta melawan perintah-perintah Allah.
Ketika mengalami hidup keras dan penuh penderitaan di tanah asing, anak bungsu sadar bahwa semua itu menjadi akibat dari keputusannya untuk keluar dari rumah dan hidup jauh dari bapaknya. Artinya ia telah menyangkal cinta dan kebaikan bapak.
Maka ia putuskan untuk kembali ke rumah, bersatu dengan bapak, kakak dan orang-orang lain. Di sini, tobat berarti kembali rukun dengan Allah, dengan sesama, dengan lingkungan sekitar dan dengan diri sendiri.
Tobat juga menuntut sikap jujur, tulus dan terbuka untuk mengaku diri telah melakukan dosa dan salah. Tanpa pengakuan dosa dan rasa bersalah maka tidak mungkin ada sesal dan tobat.
Si bungu mengaku dosa dan menerima diri bersalah, maka ia memutuskan untuk kembali kepada bapak dan mengaku dosa secara tulus dan jujur. “Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapak, aku tidak layak lagi menjadi anak bapak; jadikan aku sebagai salah seorang upahan bapak”, (Luk 15:18-19). Sikap jujur dan tulus si bungsu ini hendaknya menjadi sikap kita sebagai syarat utama untuk mendapatkan belaskasihan dan pengampunan Bapa.
Akhirnya, sebagai pengikut Yesus kita belajar mencontohi hati bapak yang terbuka untuk merangkul dan menerima siapa saja, khususnya mereka yang karena alasan tertentu mendapat nama buruk dan dijauhkan dari pergaulan sehari-hari.
Kita hendaknya menjauhi sikap anak sulung, orang-orang Farisi dan ahli Taurat yang menganggap diri suci dan lebih baik dari yang lain. Dan, jika hati kita penuh dengan iri, dendam dan cemburu. Maka kita mesti bertobat! Amen.
Kewapante, 27 Maret 2022
P. Gregorius Nule, SVD . ***