OPINI: Humanisme Lentur Dalam Bingkai Keindonesiaan Yang Plural

Rabu, 11 Agustus 2021 11:42 WIB

Penulis:redaksi

Editor:Redaksi

HUMANISME LENTUR.JPG
Ilustrasi: Humanis Lentur dalam Bingkai Keindonesiaan (slideplare.com)

Oleh: Bayu Tonggo

PERTANYAAN “siapakah manusia?” dalam konteks humanisme adalah  pertanyaan yang paling mendasar dan paling utama, sekaligus paling klasik untuk ditelaah  sepanjang sejarah peradaban manusia. Mulai dari zaman sebelum Sokrates (469-399 SM), berkembang di abad pertengahan, hingga di zaman modern, pertanyaan “siapakah manusia?” terus digumuli dan ditelaah secara komprehensif. Ini mengingat kompleksitas masalah-masalah kemanusiaan yang selalu hadir melilit eksistensi kehidupan manusia sendiri di setiap zamannya, seiring berkembangnya manusia dan segala aspek kehidupannya.

Di zaman modern, pertanyaan “siapakah manusia?” hadir dalam kemendesakannya yang begitu menguat. Tampil banyak usaha untuk menggumuli pertanyaan tersebut, dengan upaya penemuan jawaban-jawaban atas setiap problem-problem yang melilit manusia dan kemanusiaannya.

Manusia modern sebagaimana tampil dalam perkembangan pemikirannya, mengemuka dalam gerakan ke arah yang positivistik. Kehidupan manusia dililit dan berpijak pada pengaruh kemajuan sains dan teknologi. Lewat sains dan teknologi manusia mencoba mencari jawaban, kepastian tentang dirinya; yang pada zaman pertengahan manusia dililit oleh dogma dan otoritas tradisional (Gereja).

Perkembangan ke arah yang positivistik membawa hubungan antarmanusia sendiri jadi bersifat kebendaan. Orang melihat sesamanya, yang lain, laksana objek-objek material belaka. Orang tidak lagi dilihat dari keunikan pribadi, melainkan sebagai objek yang dapat diamati dan dimanipulasi berdasarkan sistem-sistem tertentu. Dengan demikian tampilah krisis bagi kehidupan manusia modern sendiri. Semangat zaman modern yang pada awalnya hadir dalam proyek untuk memanusiakan manusia atau dengan kata lain “men-subjek-kan diri”, tidak terwujud secara nyata. Upaya memanusiakan manusia, men-subjek-kan, justru tampil lewat upaya memandang sesama, yang lain, sebagai objek belaka.

Warna krisis manusia modern tersebut, boleh dilihat mencuat pula dalam kenyataan akan problem-problem intoleransi yang menodai pluralisme kehidupan bangsa Indonesia. Dalam catatan sejarah kehidupan bangsa Indonesia, problem-problem intoleransi yang tampak lebih banyak mengemuka pada upaya penyudutan semboyan persatuan, Bhineka  Tunggal Ika, sebagai pilar toleransi, penyangga kebersamaan hidup bangsa Indonesia. Sebut saja problem intoleransi yang misalkan hadir pada 2016 silam; kerusuhan Tanjung Balai dan Tolikara. Dua peristiwa kerusuhan yang dapat dilihat, terjadi dalam tindak men-subjek-kan kelompok, agama sendiri dan melihat yang lain sebagai objek yang sepatutnya dihilangkan. Sebabnya cukup sederhana; karena terprovokasi dengan hasutan kecil di media sosial, orang serta merta mengancam dan bahkan menghabisi nyawa sesamanya dalam tudung upaya “membela” agamanya, kelompoknya (Madung, 2017:45-46).

Pada aras ini, dapatlah ditinjau sebuah krisis kemanusiaan Indonesia di tengah pluralitas kehidupan bangsanya sendiri. Manusia Indonesia bertindak dalam cakupan humanisme: sebagai manusia modern. Adanya intoleransi yang dikembangkannya, “manusia modern Indonesia”, secara implisit dapat dikatakan, ingin mengklaim sebuah tindak penyangkalan terhadap adanya pluralitas kehidupan bangsanya sendiri. 

Gagasan humanisme lentur yang dicatat F. Budi Hardiman dalam bukunya, “Humanisme dan Sesudahnya, Meninjau Ulang Gagasan Besar tentang Manusia”,  dapatlah dilihat sebagai sebuah jawaban atas krisis kemanusiaan Indonesia itu (Hardiman, 2012:61). Penulis dalam ulasan ini akan melihat keterkaitan tersebut. Bahwasannya, humanisme lentur yang merupakan sebuah gagasan “sesudah humanisme” untuk membebaskan manusia dari krisis kemanusiaan modern (konsep metafisika kemanusiaan – tindak men-subjek-kan diri); dapat dijadikan payung acuan, dalam meninjau realitas pluralisme di Indonesia yang cenderung dinodai oleh problem-problem intoleransi.

Catatan tentang Keindonesiaan yang plural

Gagasan pluralisme di Indonesia tak terlepas dari konsep kebhinekaan yang telah lama hadir dalam sejarah kehidupan bangsa Indonesia sendiri. Dalam kebhinekaan, kita mengenal dua semangat kebudayaan tradisional yang menjadi pijakan dasar bagi adanya kebhinekaan di Indonesia, yakni semangat kekeluargaan dan gotong royong (Madung, 2017:1).

Di tengah gempuran perkembangan modernitas yang telah masuk ke dalam ranah kehidupan bangsa Indonesia, dua semangat ini telah mengalami ke-tak-berdaya-an-nya. Perkembangan ke arah modernitas telah membuat bangsa Indonesia tampil dalam kehidupan yang bergaya individualistik. Setiap individu dibiarkan berjuang sendiri untuk bertahan dan melindungi dirinya. 

Perubahan kehidupan bangsa Indonesia ke arah modernitas itu, tentu tak dapat dipersalahkan dan tak dapat dihindari di era informasi dan keterbukaan dewasa ini. Yang perlu dilakukan ialah bagaimana mengembangkan sejumlah strategi budaya maupun politik, agar kehidupan bangsa dan manusia Indonesia tidak menjadi korban dari perubahan tersebut. 

Marak terjadi bahwa warna modernitas dengan adanya perubahan menuju sikap individualistik akibat adanya perkembangan ekonomi global yang kapitalistik, cenderung membawa efek pada hadirnya ragam masalah pluralisme dalam kehidupan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia banyak kali cepat terpengaruh dengan rayuan-rayuan kemodernan; hidup dan berjuang demi demi kepentingan diri. Demi kepentingan kelompok atau pun individu tertentu, orang dapat begitu mudah menyangkal keberadaan pluralisme yang telah lama bercokol dalam sejarah kehidupan bangsa ini. Orang hadir dalam krisis kemodernan; bertindak dalam kerangkeng men-subjek-kan diri. Problem kerusuhan Tanjung Balai dan Tolikara pada 2016 silam dapat menjadi representasi gejolak krisis pluralisme keindonesiaan tersebut. 

Term yang tepat untuk menamakan sejumlah problem pluralisme di Indonesia ialah intoleransi. Masalah intoleransi hadir di Indonesia sebagai lawan dari gagasan dan upaya penghidupan kembali semangat toleransi dalam kehidupan pluralisme bangsa Indonesia. Achmad Fauzi dalam opininya bertajuk, “Intoleransi yang Mencemaskan” (Kompas, 10/2/2020), menjelaskan bahwa masalah intoleransi di Indonesia, dipengaruhi kuat oleh kemandulan peran negara dalam menerjemahkan konsep toleransi. Dalam penerapannya, konsep toleransi cenderung hadir secara artifisial. Masyarakat hanya dituntut toleran antara yang satu dengan yang lain, tanpa dibarengi dengan kesadaran untuk mengerti dan mempelajari kelompok/individu yang lain. Achmad Fauzi sebagaimana mengutip perkataan Gus Dur, menyebut kondisi semacam ini masih rawan konflik, karena tuntutannya hanya toleransi bukan saling mengerti. Sehingga ketika unsur yang mendamaikan hilang, konflik yang besar tidak dapat dihindarkan.

Menghadapi masalah intoleransi tersebut, seyogyanya dibutuhkan sebuah upaya peninjauan kembali akan prinsip-prinsip kemanusiaan Indonesia (keindonesiaan) yang dalam gerak pemikirannya, sejatinya mengedepankan aspek sosial: keharmonisan, kerukunan, dan keselarasan (Fernandes, 1983:267). Gagasan humanisme lentur yang dikembangkan dari gejolak krisis kemanusiaan modern, dapat membantu upaya penemuan prinsip-prinsip itu.

Gebrakan humanisme lentur 

Ketika humanisme, gagasan besar tentang manusia dan bakat-bakat kodratinya sebagai pusat pemaknaan seluruh kenyataan telah menciptakan “krisis” terhadap kehidupan manusia, apa yang bisa ditinjau lagi dari humanisme itu sendiri? Oleh para kritikus postmodern (metafisika yang diwakili oleh Martin Heidegger dan Jacques Derrida, kebudayaan oleh Richard Rorty, dan masyarakat oleh Niklas Luhman), humanisme yang berkembang dalam kancah modernitas itu telah dianggap bangkrut. 

Pergantian paham humanisme dari zaman pertengahan (yang di dalamnya segala disandarkan pada kebenaran-kebenaran agama – teosentrisme) menuju era modernitas  (zaman di mana manusia dan akal budinya menjadi sumber segala kebenaran – antroposentrisme), dilihat tak banyak membuat manusia keluar dari lingkaran pemikiran metafisika kemanusiaannya. Manusia tetap bercokol dalam karakter, keras, fanatik, picik dalam setiap obsesi intelektualnya (Hardiman, 2012:61-62).

Menanggapi krisis kemanusiaan modern yang telah dianggap bangkrut itu, F. Budi Hardiman menggagas apa yang diistilahkannya dengan “humanisme lentur”. Humanisme lentur merupakan sebuah gagasan kemanusiaan yang menyiratkan pengertian “sesudah humanisme”. Sesudah humanisme dalam arti, bahwa gagasan besar tentang manusia perlu ditinjau ulang dan dibebaskan dari konsep metafisika kemanusiaan yang bercokol di dalamnya, sebagaimana yang telah dihidupi di zaman modern. Metafisika kemanusiaan zaman modern memperlihatkan keberadaan manusia yang cenderung berkiblat dalam tindakan mensubjek-kan diri. Manusia hadir dengan bakat-bakat kodratinya sebagai pusat pemaknaan seluruh kenyataan.

Dalam “humanisme lentur-nya”, Budi Hardiman pertama-tama menilik gagasan humanisme dalam dua aspek. Aspek pertama adalah kekuatan kritis-normatif humanisme (humanisme etis) yang mampu menelanjangi kekuatan-kekuatan asing yang menindas manusia dan kemanusiaannya. Humanisme etis itu berangkat dari suatu keprihatinan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, serta ingin melindungi martabat manusia dari kesewenangan apa pun. Aspek ini dapat membuat kita waspada terhadap berbagai bentuk penindasan kebebasan, pelecehan akan manusia, yang bisa menyelinap dalam pembenaran-pembenaran sakral agama dan kekuatan hegemonialnya.

Aspek kedua yang ditinjau ialah aspek faktual bahwa humanisme bagaimana pun juga adalah sebuah “isme”, dan sebagai “isme” ia dapat dilambungkan menjadi sebuah metafisika kemanusiaan yang tidak hanya menjadi total, melainkan menjadi “kebenaran kaku” yang eksklusivitas dan hegemonial. Terhadap aspek ini, Budi Hardiman, sebagaimana meminjam istilah Hermann Broch, sastrawan dan psikolog massa asal Austria, mengemukakan istilah hipertrofi (membengkaknya) humanisme. 

Dalam humanisme lentur aspek pertamalah (kekuatan kritis-normatif) yang diterima dan mesti mendapat penghidupannya. Sementara aspek yang ditolak ialah aspek hipertrofi humanisme. Dengan penerimaan dan penolakan itu, kita sebetulnya sedang membela suatu bentuk pendirian yang berupaya melepakan manusia dari tawanan metafisika kemanusiaan. Caranya ialah dengan menyelamatkan aspek kritis-normatif humanisme, yang dewasa ini nyata-nyata telah ikut membangun kesadaran akan persaudaraan umat manusia yang melampaui batas-batas penyekat kebudayaan dan agama. 

Dengan bertumpu pada kekuatan kritis-normatif humanisme, pendirian kita ialah mengangkat sebuah tindak kewaspadaan (humanisme yang waspada) terhadap totalisasi dan homogenisasi oleh metafisika kemanusiaan. Humanisme model ini tidak menolak kemungkinan kebenaran agama dan tidak berpegang pada kebenaran-kebenaran kaku filsafat (antroposentrisme). Paham itu menjadi sebuah bingkai pengetahuan yang “lentur” tempat interseksi berbagai fragmen kebenaran agama, filsafat, dan sains. 

Humanisme lentur untuk keindonesiaan yang plural

Bangsa Indonesia dalam wajahnya yang plural memiliki ketidaksepakatan atau perbedaan pandangan yang selalu muncul. Ketidaksepakatan muncul karena kenyataan bahwa ada banyak pandangan atau falsafah hidup yang berbeda dan saling tidak cocok satu sama lain. John Rawls menyebut kondisi ini sebagai Faktum desvernünftigen Pluralismus, kenyataan pulralisme  yang rasional (reasonable pluralism). Hal ini tampak, karena setiap pandangan dalam sebuah komunitas plural, dirumuskan oleh orang-orang yang berakal budi sehat dan mulai dari dalam pandangan yang komprehensif mereka sendiri serta bertolak dari dasar religius, filosofis, dan pandangan moral mereka. 

Pluralitas kehidupan bangsa Indonesia sebagai Faktum desvernünftigen Pluralismus tersebut dengan pengaruh perkembangan modernitas serta penghidupannya, telah hadir dalam krisisnya. Muncul banyak problem intoleransi yang oleh Ricoeur disebut sebagai lawan dari toleransi. Problem-problem intoleransi yang muncul, banyak mengemuka dalam tindak men-subjek-kan diri dan memandang yang lain (individu/kelompok lain) sebagai yang asing, rendah – metafisika kemanusiaan, antroposentrisme. Seperti dalam peristiwa yang dicatat kerusuhan Tanjung Balai dan Tolikara pada 2016 silam. Dua peristiwa, yang sebabnya cukup sederhana, karena terprovokasi dengan hasutan kecil di media sosial, orang serta merta mengancam dan bahkan menghabisi nyawa sesamanya dalam tudung upaya “membela” agamanya, kelompoknya. 

Terhadap krisis keindonesiaan yang plural tersebut, bolehlah kita mendekatkannya dengan gagasan humanisme lentur. Bahwasannya, humanisme lentur dalam menilik krisis kehidupan manusia modern yang cenderung bergaya antroposentris (metafisika kemanusiaan), mengemukakan kekuatan kritis-normatifnya sebagai sebuah pendirian yang waspada terhadap bahaya totalisasi dan homogenasi oleh metafisika kemanusiaan – membengkaknya (hipertrofi) gagasan humanisme. Kekuatan kritis-normatif itu hadir sebagai humanisme etis untuk menelanjangi kekuatan-kekuatan asing yang menindas manusia dan kemanusiaannya. 

Kekuatan humanisme etis ala humanisme lentur ini, sekurang-kurangnya boleh dipakai sebagai sebuah jawaban terhadap problem-problem pluralisme, sebagai sebuah krisis dalam kehidupan kemanusiaan dan manusia Indonesia. Di tengah kehidupan pluralisme yang berbau modernitas, manusia Indonesia perlu memilki kekuatan kritis-normatifyang mesti bermukim di dalam akalnya sebagai nilai-nilai kemanusiaan dan di dalam hati sebagai perasaan kemanusiaannya. Humanisme etis (kekuatan kritis-normatif) yang dimiliki ini, akan menyanggupkan setiap manusia Indonesia untuk waspada, melepaskan diri dari bahaya hegemoni agama, sains, filsafat yang dapat melahirkan gagasan metafisika kemanusiaan dalam kehidupan manusia Indonesia sendiri. 

Selain itu, melalui humanisme lentur, manusia Indonesia di tengah pluralitas kehidupannya akan diyakinkan bahwa universalitas kemanusiaan itu mungkin, bukan sebagai ukuran yang ditetapkan secara monologal, melainkan sebagai suatu visi yang diperjuangkan secara dialogal. Manusia Indonesia yang sudah terbebas dari konsep metafisika kemanusiaannya, akan dikatakan humanis bila dalam kehidupan pluralisme-nya, ia tidak akan memahami tetangganya, pemeluk agama lain, kelompok lain, atau pun pendatang asing dengan mengukur mereka dari kodrat umum yang ia yakini sebelumnya. Sebaliknya, pengukuran itu ia lakukan dengan memasukkan sebanyak mungkin perbedaan untuk memperkaya perspektifnya tetang “menjadi manusia”.

Akhirnya, bahasan menjadi manusia Indonesia yang mengenakan “humanisme lentur” di tengah kehidupan bangsa Indonesia yang plural, akan menjadi sangat relevan dan lengkap dalam pengejawantahannya, bilatersemat pula gagasan tentang tooeransi. Toleransi dapatlah dilihat sebagai bentuk tidak nyata dari gagasan tersebut. Toleransi memiliki hubungan yang berlawanan dengan intoleransi yang menjadi “ungkapan problem” dalam pluralisme; sebagaimana dikatakan Ricoeur intoleransi dilihat sebagai negasi dari toleransi. 

Dalam kerangkeng humanisme lentur, spirit toleransi yang dihidupi di tengah pluralisme Indonesia haruslah merupakan toleransi yang bebas dari segala bentuk hegemoni kemodernan. Toleransi dalam penghidupannya, tidak bertanya “ukuran-ukuran manakah yang harus ditetapkan agar seseorang atau suatu kelompok termasuk dalam kemanusiaan kita (orang-orang seperti kita)? Melainkan yang menjadi pertanyaannya, bagaimana mencapai titik temu berbagai ukuran yang dimiliki oleh berbagai orang atau kelompok (?), sehingga kita dan mereka dapat mengantisipasi suatu kemanusiaan yang akan datang (Hardiman, 2012:66). (*)

*Bayu Tonggo, Mahasiswa STFK Ledalero, Tinggal di Ritapiret.