Ingin Sembuh dari 'Luka Bathin'? Datanglah ke Sumba

Rabu, 12 November 2025 10:53 WIB

Penulis:redaksi

ratenggaro.jpeg
Kampung adat Ratenggaro, Sumba Barat Daya (Istimewa)

WEETABULA (Floresku.com) - Beberapa luka cuma bisa sembuh kalau kamu pergi jauh. Dan ternyata, Sumba adalah salah satu tempat terindah untuk pulih. 

Pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur seolah menyimpan rahasia kuno tentang bagaimana alam, budaya, dan manusia hidup dalam keseimbangan. Ia bukan sekadar destinasi wisata, melainkan ruang penyembuhan—tempat di mana hati yang lelah bisa beristirahat dan belajar lagi tentang arti keheningan.

 Langitnya luas dan jernih, anginnya lembut menerpa wajah, dan setiap langkah di tanahnya membawa aroma kehidupan yang begitu purba sekaligus menenangkan.

Sumba adalah rumah bagi sabana luas yang membentang seperti karpet emas di musim kemarau, kuda-kuda liar yang berlari bebas di cakrawala, dan perkampungan adat yang menjaga napas masa lalu dengan penuh kebanggaan.

Di sini, waktu tidak berlari—ia berjalan perlahan, seakan memberi kesempatan bagi siapa pun untuk kembali menemukan dirinya.

 Pesona Alam dan Budaya yang Hidup

Salah satu pengalaman paling memikat di Sumba adalah mengunjungi Kampung Adat Ratenggaro, yang terletak di pesisir barat daya Pulau Sumba, tepatnya di Desa Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya. 

Ratenggaro dikenal dengan rumah adat beratap tinggi (uma bokulu) yang menjulang hingga 15 meter, menjadi ikon arsitektur khas Sumba yang mengagumkan. 

Bentuk atapnya yang runcing menjulang ke langit bukan sekadar estetika, melainkan memiliki makna spiritual—sebagai penghubung antara manusia dengan roh leluhur di alam atas.

Di kampung ini, waktu seakan berhenti. Deretan rumah adat berdiri mengelilingi lapangan batu kubur megalitik yang berusia ratusan tahun, simbol kuat hubungan masyarakat dengan leluhurnya. 

Batu-batu besar dengan ukiran simbolik menjadi saksi bisu tradisi Marapu, sistem kepercayaan asli masyarakat Sumba yang masih hidup hingga kini. Suasana Ratenggaro penuh kesakralan, namun sekaligus meneduhkan.

Yang membuat kampung ini semakin istimewa adalah lokasinya yang menghadap langsung ke laut biru Samudra Hindia. 

Dari balik rumah adat, kamu bisa melihat hamparan pasir putih dan ombak besar yang menghantam karang. Di sore hari, matahari tenggelam perlahan di balik cakrawala, menciptakan pemandangan yang luar biasa megah—perpaduan antara keindahan alam dan kekuatan budaya yang berbaur harmonis.

Penduduk Ratenggaro hidup dengan sederhana, namun penuh keramahan. Mereka masih mengenakan kain tenun ikat khas Sumba yang dibuat dengan teknik tradisional dan motif yang sarat makna. 

Kain-kain ini bukan sekadar pakaian, tetapi simbol identitas, status sosial, dan hubungan spiritual dengan alam serta leluhur. 

Para perempuan menenun di beranda rumah, sementara anak-anak berlari di antara batu kubur dan kuda yang merumput bebas—sebuah potret kehidupan yang begitu jujur dan alami.

Sunset di Pantai Walakiri (Foto: tripadvisor.co.id). 

Keindahan Pantai Walakiri – Senja yang Menyembuhkan

Namun, perjalanan ke Sumba belum lengkap tanpa singgah ke sisi timurnya—Pantai Walakiri, ikon keindahan di Desa Watumbaka, Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur. 

Pantai ini terkenal karena pemandangan matahari terbenam yang spektakuler dan fenomena unik “pohon menari”, yaitu mangrove kerdil dengan batang meliuk-liuk di tepi pantai. 

Saat senja datang, langit berubah warna dari jingga ke ungu, sementara siluet pohon-pohon itu tercermin di air dangkal menciptakan panorama yang magis dan fotogenik.

Pantai Walakiri berjarak sekitar 24 km dari Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur. Dari pusat kota, perjalanan dapat ditempuh sekitar 30–40 menit menggunakan kendaraan. 

Rutenya mudah: dari Waingapu menuju Kambajawa, kemudian mengikuti Jalan Adam Malik, Jalan Prof. Yohanes, dan berlanjut ke Jalan Suprapto atau Jalan Sutomo yang langsung mengarah ke pantai.

Daya Tarik Utama Pantai Walakiri:

Pohon Menari: Mangrove kerdil dengan bentuk batang meliuk yang terlihat menari di air dangkal saat air surut.

Matahari Terbenam: Kombinasi warna langit senja dan siluet pohon menciptakan pemandangan ikonik yang memukau.

Pasir Putih dan Air Tenang: Cocok untuk bersantai atau berjalan kaki di tepi pantai.

Suasana Alami: Walaupun fasilitas masih terbatas, kesederhanaannya menjadi pesona tersendiri.

Biaya masuk ke destininasi wisata ini relatif murah. Tiket masuk: Rp 5.000; Parkir motor: Rp 5.000, dan Parkir mobil: Rp 10.000

Di Pantai Walakiri, kamu bisa duduk di tepi pasir putih, mendengarkan suara ombak kecil, dan merasakan waktu yang mengalir tanpa tergesa. Saat matahari mulai tenggelam, semuanya terasa berhenti. Tidak ada yang lebih penting selain menikmati cahaya terakhir yang memantul di air laut—sebuah meditasi alami bagi jiwa yang ingin pulih.

Sumba: Pulau untuk Menemukan Diri

Sumba adalah pertemuan antara keindahan dan ketulusan. Dari sabana luas Bukit Wairinding hingga rumah adat beratap tinggi Ratenggaro, dari tenun ikat yang sarat makna hingga senja menawan di Walakiri, semuanya menyatu dalam harmoni yang nyaris sempurna.

Di sini, kamu tidak hanya menjadi wisatawan, tetapi peziarah—yang datang bukan untuk melihat, melainkan untuk merasakan. Karena di Sumba, setiap angin membawa cerita, setiap matahari terbenam adalah doa, dan setiap langkah di tanahnya adalah perjalanan menuju pemulihan.

Mungkin benar, beberapa luka memang hanya bisa sembuh ketika kamu menatap langit Sumba—dan membiarkan alam serta keheningannya menyentuh hatimu. (Sil). ***