Kakek Fransiskus Ma'u, Korban Sipil Bom Pesawat Sekutu yang Menghujam Nangaroro, 79 Tahun Silam

Jumat, 09 Agustus 2024 14:20 WIB

Penulis:redaksi

Editor:Redaksi

pesawat.jpg
B-24 Liberator Heavy Bomber Pesawat Jenis ini yang digunakan sekutu untuk membom Jepang di Ende. ( Gogle images)

NANGARORO (Floresku.com) -  Setiap menjelang HUT Kemerdekaan RI, penulis selalu merasa pilu dan galau. 

Betapa tidak, ketika seluruh warga bangsa Indonesia berpesta ria, penulis jstru tergerak untuk berimajinasi,  mereka-reka raut wajah sang kakek ‘Fransiskus Ma’u', ayah kandung Martinus Wuda, ayah kami sendiri.

Tentu saja, upaya itu sia-sia belaka, karena sang kakek tidak mewariskan foto dirinya meski cuma secarik,  sebelum nyawanya melayang dan tubuhnya tercabik-cabik oleh serpihan ledakan bom yang dijatuhkan pasukan Sekutu. 

Sebagaimana keluarga korban sipil Perang Dunia II lainnya,  mustahil penulis bisa  melusuri jati dirinya pelaku pengemboman keji itu, apalagi memohon dia bertanggung jawab, atau sekadar meminta maaf. 

Nasib nahas yang menimpa sang kakek Fransiskus Ma'u dipicu oleh sebuah peristiwa luar biasa yang terjadi di Hiroshima  Jepang,  -menurut Google Map - sekitar  4.937 km jauhnya dari Kampung Nangaroro.

Tanggal 6 Agustus 1945, tahap akhir Perang Dunia Kedua, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom uranium jenis bedil (Little Boy) di Hiroshima.  Tiga hari berikutnya,  9  Agustus, 'The Fat Man' dijatuhkan di Kota Nagasaki.  

Sekitar 16 jam kemudian Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman mendesak Jepang menyerah. Apabila masih membangkang Amerika Serikat akan menebarkan ‘hujan bom’ dari udara yang lebih dasyat.

Begitu salah satu potret paling memilukan dari rangkaian Perang Dunia II, yang berlangsung dari 1939 hingga 1945.

Dalam konteks Perang Dunia II itu pula, beberapa tahun sebelumnya, bom dari Sekutu telah menghujam Nangaroro, sebuah kampung kecil di pantai selatan Flores bagian tengah. 

Meski hanya dalam skala kecil, bom yang dihujam oleh pesawat B-24 Liberator Heavy Bomber tak kurang pilu dampaknya. Pasalnya, dari serangan tersebut jatuh pula sejumlah korban dari kalangan warga sipil.

Untuk menggali kembali tragedi kemanusiaan di Nangaroro  70-an tahun silam,  pada  tahun 2016, sebuah tim dari Departemen Kelautan RI melakukan penyelaman untuk tujuan penelitian dan dokumentasi atas bangkai kapal Jepang yang karam di Pantai Mauembo, Desa Tonggo, 10,6 km dari Aekana, Nangaroro. 

Kampung Nangaroro  saat ini. 79 tahun ini  kampung ini dihhumani bom oleh pasukan sekutt. (Sumber: Youtube.com)

Dalam sebuah wawancara dengan tim tersebut, Yohanes Goba, seorang saksi mata dalam peristiwa pemboman itu,  menceritakan bahwa pada pagi hari, tiga pesawat sekutu  meraung-raung di kawasan Pantai Nangaroro hingga Pantai Mauembo. 

Mereka terbang rendah dari arah Kota Ende menuju sebuah teluk di balik Tanjung Embo, menyusuri pantai selatan Flores. 

Sepertinya mereka mengincar kapal Jepang yang sedang bersembunyi di steluk Pantai Mauembo, yang berfungsi sebagai pelabuhan alamiah yang tenang dan cukup airnya. 

Konon, sejak abad pertengahan, pantai itu menjadi tempat berlabuh kapal-kapal dagang milik para saudagar dari Cina, Arab, India, Jawa, Bugis, Bima dan Portugis serta Belanda.

Ketika menghampiri kapal Jepang itu, para pilot melihat ada yang kurang kondusif di sana. 

Pasalnya,  ada banyak anak sedang mandi di Pantai Mauembo, di sekitar kapal Jepang itu. 

Ketiga ‘burung besi’ Sekutu itu pun mengurungkan niatnya untuk menjatuhkan bomnya. 

Mereka kemudian terbang ke arah utara, menuju Nangaroro. 

Tanpa dididuga, para pilot Sekutu itu menjatuhkan sejumlah bom atas jembatan yang terletak di antara Dusun Aekana dan Dusun Madambake. 

Beberapa buah bom memang berhasil meluluhlantakkan jembatan tersebut. 

Namun, sejumlah bom justru jatu di area perkebunan kapas, di atas lahan milik pengusaha Belanda, Van Back.

Mengapa pasukan Sekutu menyasar jembatan itu? Alasannya tak lain karena pasukan Sekutu ingin memutuskan aliran pasokan senjata dan bahan makanan bagi pasukan Jepang yang bermarkas di Mbay. 

Memang, selama pendudukannya di Flores, pasukan Jepang membangun markasnya di Mbay. 

Di sana mereka mendirikan lapangan terbang yang dikenal dengan nama Surabaya II.

Di pantai Mbay pula Jepang membangun  sebuah pelabuhan, yang kini dikenal sebagai Pelabuhan Marapokot.

Di  sejumlah lokasi di kaki bukit-bukit yang berada di tengah dan pinggiran dataran Mbay, Jepang juga membangun bungker (Inggris: bunker), sebagai tempat persembunyian kalau ada serangan udara dari pasukan Sekutu.

Makanya, di Kota Mbay dan beberapa wilayah Kabupaten Nagekeo lainnya, tercatat paling tidak ada 24 lubang atau bungker Jepang. 

Bungker-bungker tersebut rata-rata dibangun di bibir bukit, menyerupai lubang yang panjang dengan konstruksi yang kokoh. Semua bungker itu masihmasih terjaga hingga saat ini.

Korban warga sipil berjatuhan

Setelah mengebom jembatan Nangaroro, pesawat-pesawat Sekutu itu kembali berputar ke arah Pantai Mauembo. 

Kali ini, anak-anak yang sebelumnya mandi di pantai sudah tak ada lagi.  Ketika melihat tiga pesawat datang menghampir Pantai Embo, anak-anak itu sudah lari terbirit-birit menyembunyikan diri di area pebukitan, di sekitar Kampung Pauwua. 

Melihat keadaan sudah cukup kondusif, pesawat-pesawat Sekutu itu pun membombardir kapal Jepang itu tanpa ampun. Kapal itu pun karam seketika.

Konon, ketika pengeboman terjadi, para serdadu Jepang sudah mengamankan diri di sebuah gua batu, tak jauh dari bibir Pantai Mauembo.

Menurut cerita seorang saksi mata, Jakob Sajo, pada hari naas itu, warga di sekitar Mauembo dan Embo Wawo atau Pauwua sedang mendapat giliran untuk bekerja di perkebunan kapas, di Nangaroro. 

Kebun kapas itu sendiri sebetulnya milik seorang pengusaha Belanda, namanya Van Back. 

Namun, ketika Belanda menyerah kalah tahun 1942,  Jepang mengambilalih kepemilikannya.

Nah, atas komando penjajah Jepang-lah, warga Kampung Mauembo  dan Pauwua bekerja di kebun kapas pada hari pengemboman jembatan Nangaroro dan kapal Jepang di Mauembo.

Penulis (kiri) bersama Bapak Jakob Sajo (89) saksi hidup tragedi pemboman di Aekana, Nangaroro, pada 06 Agustus 1945 silam. (Foto: MAP).

Pada hari nahas ini Jakob Sajo kecil lagi ikut serta dengan orangtuanya ke perkebunan kapas di Nangaroro itu.

Menurut Jakob, ketika pesawat Sekutu menjatuhkan bom ke arah jembatan, warga yang sedang istirahat kerja dan duduk-duduk sambil makan singkong rebus di sejumlah pondok, kaget bukan kepalang. Mereka pun panik, lalu lari kocar-kacir. 

Sebagian berlari ke arah pantai untuk menuju ke kampung Mauembo dan Pauwua. Beberapa justru berlari ke arah utara dan bersembunyi di sekitar jembatan. 

Nah, mereka yang bersembunyi di sekitar jembatan itulah yang kemudian menjadi korban. 

Jakob mengisahkan, ketika tiba kembali di  Mauembo dan Pauwua, dalam kekalutan yang luar biasa, warga mencoba menghitung jumlah warga kampung. Setelah diteliti dan dihitung, ternyata ada tiga orang yang hilang.

Maka, keesokan harinya, pada pagi buta,  mereka kembali menelusuri area tempat bom dijatuhkan. 

Di antara puing-puing bom, mereka akhirnya menemukan sejumlah potongan tubuh yang kemudian dikenali atas nama: Yohanes Meo, Josep Siga, dan Fransiskus Ma''u.

Rofinus Sela Wolo, salah seorang cucu alm. Fransiskus Mau tengah berdoa di makam tiga korban pengemboman Sekutu, di Aekana bawah. (Foto: Rofin S. Wolo)

Fransiskus Mau

Tentang korban bom Sekutu, menurut almarhum Yosef Naga, salah satu tetua adat Utetoto yang menjaga perbatasan wilayah tanah Toto di pantai selatan pernah bercerita kepada penulis begini:

“Sebetulnya, selain, tiga orang dari Kampung Pauwua yang saat itu sedang bekerja di perkebunan kapas, ada dua sepupu saya  yang juga menjadi korban dalam peristiwa naas tersebut.”

Namun, nama-nama mereka tidak bisa disebutkan di sini, penulis kehilangan catatan soal nama yang pernah dikisahkan Yosef Naga. 

Pagi itu, demikian Yosef Naga, saat warga sedang bergegas hendak bekerja massal,  para korban masih duduk-duduk di pondok kebun milik bapak saya. 

"Sambil menikmati sarapan pagi, mereka ngobrol ramai sekali," tuturnya, sambil mengenang.

Ketika pesawat Sekutu datang dari arah laut, orang-orang langsung lari tercerai berai. 

Sebagian menuju lembah Sungai Aekana. Sebagian justru memilih untuk berlindung di bawah jembatan.

Para korban itu justru bersembunyi di sekitar jembatan yang menjadi sasaran pengeboman.

“Waktu itu saya sudah cukup besar, jadi saya tahu persis peristiwa itu. Apalagi salah satu korban, almarhum Bapak Frans Ma'u adalah kerabat saya sendiri yang berasal dari Pauwua.  Mereka  lebih banyak tinggal bersama orang tua saya. Jadi, kami sudah menjadi seperti keluarga sendiri.”

Bapak Fransiskus Ma'u, cerita Yosef Naga lagi,  meninggalkan istrinya, Sofia Sea dan dua anak yang masih kecil, yaitu Martinus Wuda dan Marta Te.

“Tak tega melihat kedua anak itu, dan juga karena jodoh,  Bapak Bhia, sepupu Bapak Frans Ma'u,  menikahi  Sofia Sea,  putri Sela Wolo dari Kampung Nelu, Pora di Lio selatan. Saya mengenal dekat Mama Sofia karena ia dan suaminya tinggal bersama dengan keluarga kami di  Aekana, Nangaroro, tak jauh dari lokasi jatuhnya bom,” tutur Yosef Naga pula.

Bapak Bhia dan Mama Sofi,  lanjut Yosef Naga lagi, kemudian melahirkan dua anak yaitu Albertus Poa dan Tina.

Alm. Sofia Sea, janda Frans Mau (Sumber: Rofin S. Wolo)
Pasukan Jepang mendarat di beberapa tempat di Flores, dalam waktu berbeda

Tragedi yang menimpa Fransiskus Ma'u dan para kerabatnya di Nangaraoro memiliki latar belakang sejarah yang panjang, semenjak bumi yang dikenal dengan nama Nusa Nipa itu dijadikan ‘ladang' perburuan harta kekayaan dan ‘wilayah penyebaran agama’ oleh suku dan bangsa ‘asing’ seperti Cina, India, Arab/Gujarat, Jawa, Bima, Bugis,  Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda.  bangsa asing terakhir, tentu saja, Nippon atau Jepang.

Penulis buku “Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur” (1980) bersaksi bahwa pasukan Jepang masuk ke wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 1942. Antara satu daerah dengan daerah lainnya bala tentara Jepang mendarat tidak pada waktu yang sama. 

Di Sumba, Jepang mendaratkan pasukannya di Waingapu pada 14 Mei 1942. 

Di Flores bala tentara Jepang masuk lewat Manggarai melalui  Reo,  Borong dan Labuhan Bajo pada anggal 13-15 Mei 1942 dengan melabuhkan tiga kapal perang.

Pasukan Jepang ini dengan cepat bergerak ke arah timur, melalui Ngada, Nage, Keo dan Ende dan menguasai daerah-daerah Flores  di wilayah timur tanpa  perlawanan yang berarti dari pihak Belanda, rezim kolonial sebelumnya.

Namun, situs www.oocities.org menyajjkan informasi yang sedikit berbeda. Situs web itu mencatat bahwa pada tanggal 14 Mei 1942, Pasukan Pendarat Angkatan Laut (NLF) Jepang mendarat di Reo, Pulau Flores.

Pada hari yang sama mereka kembali lagi ke pelabuhan Bima di Pulau Soembawa.

Pada tanggal 16 Mei 1942, Pasukan Pendarat Angkatan Laut (NLF) Jepang mendarat di Labuhanbadjo di Pulau Flores.

Pada tanggal 16 Mei 1942, Pasukan Pendarat Angkatan Laut (NLF)  Jepang mendarat di pelabuhan Waingapoe di Pulau Soemba. 

NLF mendarat di hadapan musuh dan menduduki seluruh medan. Satu kompi, satu unit komunikasi, satu unit insinyur, satu unit transportasi, satu unit medis, dan satu unit pembayar ditinggalkan untuk menduduki wilayah tersebut.

Pada tanggal 17 Mei 1942, Pasukan Pendarat Angkatan Laut (NLF) mendarat di Larantuka, Pulau Flores.

Pada tanggal 17 Mei, Pasukan Pendarat Angkatan Laut (NLF) Jepang mendarat di Endeh, Pulau Flores. NLF mendarat di hadapan musuh dan menduduki seluruh medan. Satu kompi, satu unit komunikasi, satu unit insinyur, satu unit transportasi, satu unit medis dan satu unit pembayar ditinggalkan untuk menduduki wilayah tersebut.

Mulanya ramah, belakangan berperilaku kasar

Ketika mulai menduduki Flores dan NTT secara umum,  Jepang  menerapkan ‘Gerakan Tiga A (3A)’ yakni: ‘Nippon Pelindung Asia,’  ‘Nippon Pemimpin Asia’, dan ‘Nippon Cahaya Asia’. 

Selain itu pasukan Jepang pun bersikap manis dan selalu mengumbar janji-janji yang muluk dengan semboyan, 'Nipon adalah saudara tua." 

Dengan begitu Jepang berhasil menarik simpati masyarakat yang sedang mendambakan pembebasan dari belenggu penjajahan Belanda. 

Namun dalam perkembangannya, sikap Jepang pun berubah total dan menjadi sangat kejam, bahkan lebih kejam dari penjajah Belanda. 

 Jepang kemudianmelaksanakan pemerintahan dengan semena-mena. Setiap orang yang berusaha membangkang ditangkap  dan disiksa, bahkan ada yang dibunuh. 

Banyak orang dicurigai sebagai mata-mata Sekutu ataupun bekas pembantu Belanda ditangkap dan didera. 

Lebih-lebih setelah pihak Sekutu mulai mengadakan serangan balasan, dalam kekalautan Jepang pun sibuk membangun perlindungan.

Mereka menerapkan sistem Romusha, yaitu sistem kerja paksa atas rakyat Flores. Rakyat dipaksa bekerja apa saja untuk kepentingan Jepang, termasuk  menggali lubang di sejumlah bukit untuk dijadikan bungker, tempat perlindungan pasukan Jepang. 

Selain itu, pasukan Jepang pun doyan merampas harta benda dan makanan rakyat dengan alasan untuk pertahanan.  

Mereka juga sering melakukan kekerasan seksual terhadap para wanita, besar kemungkinan terhadap wanta Flores, juga.

Terkait hal ini, Uki Tanaka dalam bukunya Japan’s Comfort Women menyoroti salah satu dari banyak korban yang dikirim ke Flores.

“Menurut seorang perempuan Jawa, Siti Fatimah, putri Singadikarto, camat Subang di Jawa Barat, ia diberi tahu bahwa ia akan dikirim ke Jepang untuk belajar di Tokyo. 

Pada tahun 1943, saat ia berusia 16 tahun, ia dan empat gadis lainnya dari kecamatan asalnya ditempatkan di sebuah kapal di Tanjung Priok.

Mereka bergabung dengan beberapa ratus gadis Indonesia yang telah ditipu oleh Jepang dan percaya bahwa mereka akan pergi ke Tokyo. Kapal itu malah pergi ke Pulau Flores. 

Begitu mereka tiba, sikap Jepang terhadap gadis-gadis itu tiba-tiba berubah. Mereka dibawa ke sebuah kamp dan dipaksa untuk memberikan layanan seksual kepada tentara Jepang. Setiap gadis harus melayani setidaknya dua tentara setiap hari. 

Tiga bulan kemudian mereka diangkut ke utara Pulau Buru, di mana mereka ditempatkan di kompleks militer. Di sini juga, mereka dilecehkan secara seksual setiap hari hingga berakhirnya perang.”

Baik di Flores maupun di Pulau Buru, banyak perempuan yang meninggal karena penganiayaan oleh Jepang. 

Mereka yang selamat mengalami trauma psikologis akibat penganiayaan yang mereka alami.

Flores, medan pertempuran senyap 

Selama perang antara Jepang dan Sekutu berkecamuk,  Pulau Flores menjadi  seperti ‘medan pertempuran senyap’ ,  tidak pernah dijadikan topik berita dunia. 

Walaupun hanya sebuah pulau kecil,  tapi dalam peta peperangan,  Jepang jstrumenjadi Pulau Flores sebagai  ‘pintu masuk’ sekaligus ‘tembok pertahanan’ terakhir menghadapi Sekutu yang ‘bermarkas’ di  Australia. 

Demikian pula halnya dengan Sekutu. Sekutu menjadikan  Pulau Flores sebagai benteng  pertahanan untuk membendung serangan Jepang menuju Asutralia,  sekaligus  pintu pijakan bagi pasukan Sekutu untuk memukul mundur pasukan Jepang.

Menurut berbagai sumber lisan dan tertulis perang antara Jepang dan Sekutu berlangsung seru di wilayah Flores dan sekitarnya. 

Aksi kejar-kejaran dan baku tembak di perairan Laut Flores di utara dan di Laut Sawu di selatan,  berlangsug sengit. Hal tersebut  tidak banyak disadari oleh warga Flores sendiri. 

Namun, fakta itu tak bisa dipungkiri.  Pasalnya banyak kapal Jepang yang berlabuh di Reo, Terang, Labuhan Bajo, Bari, Mauembo,  Ende,  Wairterang di Teluk Maumere,  kemudian dihujam bom dan meriam Sekutu sehingga ternggealam sebagai bangkai (Bdk. Forum Arkeologi Volume 32, Nomor 1, April 2019 (1 – 12).

Bangkai Kapal Jepang di Pantai Mauembo (Sumber: Tim Departemen Kelautan, 20`6)
Teluk Mauembo, di  selata Pulau Flores. Tak jauh dari bibir pantai ini masih terdapat bangkai kapal Jepang yang ditenggelamkan pasukan Sekutu, lebih dari 76 tahun yang lallu (Foto: Ist)

Dikatakan, pada April 1943, pasukan Sekutu mulai menggelar serangan balasan kepada Jepang. Serangan umumnya dilakukan dari  udara dengan pemboman-pemboman atas sejumlah markas pasukan Jepang, seperti di Mbay, Talibura dan Maumere.  

Aksi tersebut  kemudian disusul dengan pemboman-pemboman atas-atas kapal Jepang yang berlabuh pantai laut, baik di wilayah utara, selatan maupun di timur Pulau Flores. 

Banyak kapal Jepang, kemudian karam akibat serangan Sekutu tersebut.

Serangan Sekutu yang semakin gencar membuat Jepang kalang kabut. 

Oleh karena itu Jepang mengerahkan semakin banyaklah Romusha untuk bekerja kepentingan demi memperkuat pertahanannya.

Banyak tenaga petani yang dikerahkan menjadi tenaga Romusha ke luar daerah yang jauh dari tempat asalnya dalam waktu yang lama. 

Hal ini sering membawa akibat terbengkalainya tanah pertanian mereka. 

Keadaan ini menjadi lebih parah lagi dengan adanya blokade Sekutu, sebagai strategu untuk  melemahkan pertahanan Jepang. 

Serangan-serangan pasukan Sekutu melalui pemboman-pemboman terhadap pihak Jepang tak hanya  menimbulkan korban harga dan nyawa tidak hanya di kalangan Jepang saja, melainkan juga di kalangan rakyat Flores. 

Di ketahui, dari sisi persenjataan, Sekutu lebih unggul dari Jepang. Keunggulan Sekutu di laut dan di udara sangat menyulitkan posisi Jepang. 

Sebagai contoh,  12 buah kapal yang diberangkatkan dari Bali dengan membawa bahan makanan dan pakaian untuk Hari Natal dan Tahun Baru 1944 bagi  pasukan Jepang di Pulau Flores, Sumba dan Timor, tidak ada satu pun yang sampai ke tujuan.  Semuanya berhasil  ditenggelamkan oleh Sekutu. 

Pasukan Jepang dan gereja Katolik di Flores

Sikap semena-mena Jepang juga berlaku bagi para agamawan, terutama para pastor dan bruder, suster di Flores yang berkebangsaan Belanda dan Jerman. 

Tak sedikit dari mereka ditangkap dan dibuang ke Makassar, Sulawesi. 

Kapten Tasuku Sato justru didatangkan ke Flores untuk mengurus pengasingan para pastor, bruder dan suster itu. 

Menurut Tasuku Sato, bagi Jepang saat itu kaum religis berkebangsaan Belanda dan Jerman adalah musuh yang berbahaya  bagi Jepang (Mark. Tennien dan T. Sato, 1957, hal. I 0).

Langkah Jepang  sangat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan agama Katolik di Flores dan NTT secara umum, kala itu. 

Apalagi, selain menyingkirkan para pastor, bruder dan suster, pasukan Jepang mengambil alih sejumlah gedung dan harta benda milik gereja Katolik,  lalu menjadikannya sebagai barak militer dan gudang senjata Jepang. 

Jepang juga merampas bahan makan di pastoran dan komunitas biara dirampas untuk memberi makan anggota pasukannya. 

Di Timor terdapat dua pastor Portugis yang dibunuh Jepang, di Ende Lio terdapat tiga pastor dan delapan bruder yang ditangkap.  

Mereka tak peduli pada kondisi dan usia pastor. Tercatat, dua pastor yang sudah lanjut usia di Detuskoko dan Jopu  juga ditangkap dan hendak dibaung ke Sulawesi Selatan. 

 Namun, atas permohonan Pemimpin Regional SVD Ende, Pater Yohanes Bouma SVD,  keduanya dibebaskan kembali.

Yang jelas, pada 15 Juli 1943, di Flores hanya tertinggal tujuh orang imam, enam bruder dan 30 suster. Mereka bersusah payah melayani 300.000 umat Katolik yang tersebat dari Manggarai hingga Flores Timur (Sejarah Gereja Katolik Indonesia, 3b, 1974, hal. 1137). 

Rupanya, Jepang menyadari bahwa para Pastor, Bruder dan Suster mempunyai peranan yang besar dalam kehidupan masyarakat Flores.

Oleh karena itu supaya kehidupan warga masyarakat Flores tidak terlampau goncang,  Jepang kemudian mendatangkan pastor-pastor Jepang ke Flores. 

Tugas mereka  adalah menggantikan peran dan fungsi para misionaris berkebangsaan Belanda dan Jerman yang diinternir ke Makasar.

Pada 30 Agustus 1943  Uskup Nagasaki Mgr. Paulus Yamaguchi Pr,  Administrator Apostolik Hiroshima, Mgr. Aloysius Ogikara SY, dan dua orang imam diosesan: Mikhael Iwanaga dan Filipus Kyono, tiba di Ende. 

Mereka kemudian dengan giat sekali belajar bahasa Indonesia sehingga bisa membantu di mana saja mereka bisa. 

Kehidupan mengereja di NTT, terutama di Flores,  berangsur-angsur  membaik setelah  para pastor, bruder dan suster yang diinternir di Makassar, Sulawesi dibebaskan. 

Orang Flores di mata tawanan perang

Kebrutalan pasukan Jepang tidak saja diarahkan kepada warga lokal, paa misonaris Barat, tetapi juga kepada para  Tahanan Perang atau Prisoners-of-War (POW). 

Jepang ternyata memperlakukan POW dengan kejam  kamp kerja paksa di Flores.

Situs web Kajo Mag mencatat, pada April 1943, lebih dari 2.000 orang Belanda dan Eropa lainnya tiba di Flores dari Jawa dengan tiga kapal.

Mereka dibawa untuk membangun lapangan terbang di pulau tersebut.

Kelompok pertama POW membangun tiga kamp di dekat Maumere; dua kamp kerja paksa dan satu lagi sebagai kamp rumah sakit.

Kemudian pada  Agustus 1943, 300 POW lainnya ditempatkan di kamp kerja paksa dekat Talibura sekitar 60 kilometer di timur Maumere.

Lapangan terbang di timur Maumere selesai dibangun pada awal bulan November 1943 sehingga para POW dikirim untuk bekerja di tempat lain di pulau tersebut.

Sebagian dikirim untuk bekerja di pelabuhan dan sebagian lainnya dikirim untuk membangun dua lapangan terbang yang lebih kecil.

Pada tahun 1944, para tawanan perang ini dikirim kembali ke Jawa secara berkelompok dengan kelompok terakhir meninggalkan Flores pada 12 September 1944.

Jepang memastikan tidak ada kontak antara para pendeta dan para tawanan ini.

Namun, banyak warga Flores membantu para tawanan dengan hadiah berupa makanan dan bungkusan kecil buah-buahan.

Setelah perang, para misionaris di Flores menerima sepucuk surat dari salah seorang mantan tawanan perang.

Surat itu menyatakan,

“Pada bulan Mei 1943 kami tiba di Maurmere – 1.200 tawanan perang. Karena banyak yang sakit, dua kamp dibangun, satu di Maumere dan satu lagi beberapa kilometer jauhnya."

"Penduduknya ramah dan karena kami sakit, mereka menawarkan kelapa, ikan, daging, dan buah-buahan. Kami dapat membelinya dengan harga murah pada awalnya, tetapi kemudian Jepang menaikkan harga sehingga setelah beberapa saat penjualan makanan berhenti."

“Kami sering melihat penduduk asli dipukuli secara brutal oleh para prajurit, tetapi kami selalu berhubungan dengan penduduk setempat. Kemudian kami bekerja mencari pasir untuk landasan udara dan setiap kali kami melihat penduduk asli, kami terkesan dengan ekspresi kesetiaan mereka kepada Belanda. "

"Saya ingat bahwa pada tanggal 31 Agustus, hari ulang tahun Ratu, kami menemukan sekeranjang kecil makanan di jalan, dan di dalamnya ada catatan yang mengatakan bahwa ia berharap Ratu akan menerima berkat dan permintaan agar setiap orang di kamp berdoa untuk para pendeta di Flores."

“Ketika beberapa tahanan bekerja di landasan udara baru, beberapa gadis Flores berada di dekatnya dan ada kenangan indah tentang segala macam hadiah kecil berupa gula, buah, dan sebagainya yang mereka berikan kepada kami. Beberapa tahanan masih memiliki rosario yang diselipkan oleh gadis-gadis ini.”

Pada akhirnya, total 214 tawanan perang di Flores tidak berhasil keluar dari pulau itu dalam keadaan hidup. Mereka gugur secara mengenas di bumi Flores.

Nah, begitulah, sekelumit kisah  pilu dari  Kampung Nangaroro di pulau yang dengan nama purba,  Nusa Nipa. 

Kisah pilu itu telah ikut mewarnai sejarah perjuangan bangsa Indonesia, meraih kemerdekaan. Dirgahayu Republik Indonesia yang ber-HUT ke-79, pada 17 Agustus 2024. (*) (MA/MAR dari berbagai sumber). ***