Hukum
Rabu, 05 November 2025 14:17 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi

Oleh: Silvia S.A.W. *
BEBERAPA foto sederhana yang beredar di media sosial mendadak mengusik nurani banyak orang Flores. Pada salah satu foto, tampak seorang anggota kepolisian berdiri di sebuah lokasi pedesaan, dengan beberapa jerigen berwarna biru tua berisi cairan yang dikelan sebagai: moke, minuman tradisional kebanggaan orang Sikka.
Keterangan foto menyebutkan: “Polisi menyita moke di wilayah Kabupaten Sikka.”
Bagi sebagian orang, itu mungkin sekadar razia biasa. Tapi bagi banyak warga, foto itu seperti potret ketegangan lama antara hukum formal dan tradisi rakyat.
Di pelosok Flores, terutama di Nagekeo, Ende, dan Sikka, moke bukan sekadar minuman beralkohol. Ia adalah hasil olahan nira pohon lontar, yang sejak ratusan tahun lalu menjadi simbol kerja keras, solidaritas, dan kebersamaan.
Dalam upacara adat, moke hadir di setiap tahap hidup manusia — dari kelahiran hingga kematian. Ia bukan hanya diminum, tetapi dihormati sebagai medium persaudaraan.
Di Desa Kuwuwire, Lepolima, hidup seorang pembuat moke bernama Servasius Nong Dewa. Saat ditemui media ini di gubuk pembuatannya yang sederhana, asap kayu bercampur aroma manis nira mengisi udara pagi.
Tangannya cekatan mengatur api di bawah drum penyulingan. Ia tersenyum getir ketika membicarakan razia itu.
“Kami sudah turun-temurun hidup dari moke. Dari sinilah saya bisa sekolahkan anak-anak sampai kuliah,” katanya. “Kalau dilarang, kami mau makan apa? Pemerintah mau kasih pekerjaan baru?”
Servasius bukan satu-satunya yang merasakan getirnya stigma terhadap moke. Bagi dia, moke adalah nafkah dan martabat.
Setiap tetes hasil sulingan itu mengandung keringat dan harapan. “Siang malam hidup kami bersandar pada moke. Biar sedikit, tapi di sanalah harapan kami,” tambahnya lirih.
Masyarakat memahami, memang ada sebagian orang yang menyalahgunakan moke — meminumnya berlebihan hingga mabuk dan membuat keributan. Namun bagi Servasius, pelanggaran perilaku tidak bisa digeneralisasi menjadi pelanggaran budaya.
“Minum itu harus tahu tempat dan ukurannya. Jangan bawa ke tempat kerja. Itu yang salah. Tapi jangan salahkan kami yang buat moke,” ujarnya.
Di sisi lain, aparat keamanan juga punya alasan. Menurut IPDA Leonardus Tunga, S.M., Humas Polres Sikka, razia dilakukan karena ada laporan aktivitas produksi dan distribusi moke yang diduga melanggar aturan.
Namun pernyataan ini belum cukup menjawab keresahan warga: apakah yang dirazia adalah pelaku kriminal, atau pewaris tradisi?
Pertanyaan itu mengemuka di banyak ruang obrolan publik di Flores. Sebab bagi orang kampung, moke bukan sekadar produk ekonomi — ia adalah identitas budaya.
Di Kecamatan Kangae, tepatnya di kampung Watuliwung, warga seperti YM memahami betul arti penting pohon lontar. Mereka menyebutnya sebagai “pohon kehidupan.” Dari batangnya, mereka mendapat bahan bangunan; dari daunnya, atap rumah; dari niranya, moke.
Kesadaran kolektif membuat mereka tidak sembarang menebang pohon lontar. “Kami tahu itu sumber kehidupan,” kata YM. “Kalau ditebang sembarangan, kami juga yang susah. Karena bahan baku utama moke ya dari situ.”
Ia bahkan menuturkan bahwa masyarakat Watuliwung pernah mengusir pengusaha luar daerah yang datang menebang pohon lontar untuk kayu.
Kami usir karena mereka tidak paham nilai dari pohon itu. Mereka datang hanya mau ambil untung, bukan jaga hidup,” ujarnya tegas.
Cerita YM menegaskan satu hal: moke lahir dari sistem budaya dan ekologi yang saling menopang. Razia terhadap moke tanpa memahami konteksnya bisa dianggap sebagai razia terhadap seluruh ekosistem kehidupan rakyat kecil.
Fenomena ini menggambarkan dilema klasik: ketika hukum positif bertemu hukum adat. Di atas kertas, peraturan melarang produksi dan distribusi minuman beralkohol tanpa izin.
Tapi di lapangan, moke tidak pernah masuk kategori industri formal. Ia dibuat di halaman rumah, di tungku tanah, dengan kayu bakar dan wadah sederhana.
Bagaimana mungkin warga kecil di pelosok memiliki izin industri alkohol?
Inilah yang membuat banyak kalangan menilai bahwa penegakan hukum seharusnya berimbang dengan pemahaman sosial-budaya.
Negara tidak bisa hanya hadir sebagai pengatur, tapi juga sebagai pendamping. Bila moke dianggap berpotensi menimbulkan masalah, maka solusinya bukan penyitaan semata — melainkan pendidikan, pengawasan, dan pemberdayaan.
Beberapa tokoh adat di Flores bahkan mengusulkan agar pemerintah daerah membentuk regulasi lokal atau Perda yang mengakui moke sebagai bagian dari warisan budaya tak benda. Dengan cara itu, produksi moke bisa diatur tanpa mematikan tradisi.
Sebagai contoh, beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur telah menetapkan sopi — sejenis moke di Timor — sebagai produk khas daerah yang diawasi secara ketat namun tetap dilegalkan.
“Kalau pemerintah mau serius, bantu kami buat aturan yang jelas. Ajari kami cara produksi yang aman dan bersih, kasih kami izin kecil-kecilan,” ujar Servasius. “Jangan datang cuma waktu razia.”
Perdebatan soal moke sejatinya lebih dalam dari sekadar persoalan minuman. Ia mencerminkan ketegangan antara dua dunia — dunia rakyat yang hidup dari alam dan tradisi, dan dunia birokrasi yang diatur oleh formulir, izin, dan angka.
Di tengah pusaran modernisasi, moke berdiri sebagai simbol perlawanan terhadap kehilangan makna hidup sederhana.
Di banyak pesta adat, moke masih dituangkan perlahan ke dalam tempurung, dibagikan dari tangan ke tangan. Ada keheningan penuh hormat saat gelas bambu berpindah, sebelum semua mengucap salam damai. Di sana, moke tidak membuat mabuk; ia menyatukan.
“Kalau pemerintah mau tahu, datanglah duduk bersama kami waktu pesta adat,” kata YM. “Rasakan bagaimana moke itu membuat orang rukun, bukan ribut.”
Razia terhadap moke di Sikka mungkin telah berlalu, tapi gema pertanyaannya belum padam: apakah hukum kita masih punya ruang untuk hati nurani dan budaya rakyat kecil?
Karena sesungguhnya, di balik setiap jerigen yang disita, ada kisah keluarga yang hidup dari nira, ada anak yang sekolah dari hasil penjualan moke, dan ada sepotong martabat yang ikut tersita.
Bagi Servasius Nong Dewa, jawabannya sederhana namun menggugah: “Kami bukan penjahat. Kami hanya pewaris tradisi yang mau hidup. Jadi, ketika moke kami disita, hati kami teriris luka, dan mata istri dan anak-anak meneteskan air mata duka.
*Silvia S.A.W. adalah anggota redaksi Floresku.con, liputan Maumere dan sekitarnya. ***
sehari yang lalu