Lazarus
Sabtu, 19 April 2025 14:30 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
Oleh: Rober Bala
PASKAH kali ini, Dike dan Bala, pasutri berumur 70-an tahun ini sebenarnya bisa dirayakan di tengah anak-anaknya.
Meskipun kini berduanya tinggal di Dualei, Atalojo, yang berjarak sekitar 15km dari pusat Paroki, tetapi itu mestinya tidak jadi alasan kakek-nenek di pusat paroki itu ada anaknya.
Di sana pun dia bisa bertemu dengan cucu-cucunya. Tetapi mengapa kali ini mereka berdua seakan tidak bergairah untuk merayakan Paskah?
Genetek…(Berantem)
Sudah sejak dua bulan lebih, Bala dan Dike memang menghadapi masalah yang cukup serius. Hal itu karena berkaitan dengan permintaan anak-anaknya agar keduanya bisa meninggalkan tempat itu berhubung sangat dekat dengan lokasi bencana alam.
Bagi Bala, itu hal yang baik karena bisa tinggal dekat dengan cucu-cucunya. Ia pun bisa bermain poker. Di kampung itu juga ada banyak temannya. Dia sudah rasa bisa mengunjungi Lewra (panggilan untuk Magun Lagan Lele), dan Kepala Kepeo (alias Teka Tolon).
“Dua jema-jema kreje (sejak dulu kalau keerja) di luar Lerek, jadi sekarang bisa kembali lagi ke kampung” (kata Bala dalam hatinya).
Tetapi tidak sama halnya dengan Dike. Baginya, bisa saja hal itu menyenangkan tetapi tentu bukan seterusnya. Harus ada sesuatu yang dikerjakan. Ia tetap berkeras agar apa pun yang terjadi, mereka dua tetap tinggal terpisah dari anak dan cucu.
“Di hare terdoe-doe. Mua tu-tu ne po te heneke” (Lebih baik kita tinggal berjauah, sesekali baru kita bertemu), kata Dike dengan meyakinkan.
Dike juga berucap: “anak laki bo tek neroge hi er de keweenei bo muawei dew pmebur ene lew belakang” (anak laki-laki tidak apa tetapi isteri mereka kadang mereka mengeluh di belakang).
Bala coba memberi penjelasan dalam bahasa guarauan: “pe no nuhei ke ba mua tutu nek kei etihi, er umurehe dewa rebe ke tek usa hirau e ma” (mereka ada mulut jadi pasti sesekali juga bicara tetapi umur kita sudah begini sehingga tidak usah dipikirkan)
“Tapi, ba na boga mek ti sakit pruhin. Tite tewa nebe ke harus pikir etihi, temal orehe ” (Apa yang terjadi kalau kita sakit? Umur kita sudah begini jadi kita harus pikir-pikir, berdamai dengan hati kita). Beberapa kata kasar pun dilontarkan Bala.
Baginya, Dike terlalu ingat barang-barang, dan terutama ”ewang lekuhu” (hewan piaraan seperti: babi, kambing, ayam).
Penilaian itulah yang membuat Dike agak ‘emosi’. “Mio mer laki itu tau saya makan”, kata Dike dengan bahasa Melayunya yang salah kena, maksudnya ‘tahu saja makan’..
Maksudnya kamu sebagai laki-laki itu hanya tahu makan). Akhirnya sejak itu, kalau tidak salah Februari, mereka berdua memilih jadi ‘bisu’. Tidak ada yang bicara apa-apa.
Memang Dike, sebagai isteri masih siapkan makanan untuk suaminya, tetapi itu pun ditaruhnya diam-diam. Suaminya pun tahu kesenangan isterinya, minum satu dua gelas tuak. Itu pun diletakkan diam-diam.
Keduanya seakan punya kesepakatan tak tertulis untuk tidak bicara. Percuma bicara karena kedua-duanya sama-sama tidak mau kalah. Kadang-kadang dikaitkan dengan suku asal mereka.
Dike bilang “Bala lewguna kepala batu norega wato de beje lew guna jenei” (Bala dari lewotolok sombong dan keras kepala sekeras batu di Lewoguna), dan Bala bilang “Dike Henaki kmirang-teneraha” (Henakin kikir keras kepala).
Masing-masing pikir pendapatnya yang paling benar. Itulah konflik atau yang dalam bahasa Lerek disebut ‘genetek’.
Terpaksa Bicara….
Di hari Sabtu “Santo”, pagi-pagi, saat keduanya bangun. Udara sangat dingin. Wah, belum pernah sedingin ini. Karena itu Dike yang punya kebiasaan bangun pagi langsung menyiapkan api dan berdiang.
Tidak lama kemudian, Bala pun yang tidak tahan dingin terbangun juga. Ia mendekati api yang sudah menyala.
Baru kali ini berdua duduk bersama. Ya, terpaksa harus duduk karena memang dingin, demikian Bala coba membela diri, padahal dia sudah bersumpah tidak akan duduk dekat dengan isterinya sampai isterinya yang meminta maaf.
“Ner rone ke harus tunduk be gon” (Dia perempuan jadi harus tunduk pada saya), kata Bala. Dike juga dalam hati bilang “bale bo…ba kew lopas hen ke mere maaf”.
Keduanya pun duduk tanpa suara. Ya, masih ‘jual mahal’ satu sama lain. Bala pun hanya menambah beberapa kayu bakar biar api itu lebih membiaskan panasnya lagi.
Tiba-tiba Bala membuka pembicaraan: “Aper orek le… nera keu henemekeg” (apinya cukup bagus, dan saya tidak merasa dingin lagi).
Mendengar ucapan suaminya itu, Dike hanya melemparkan senyum, tanda setuju.apiTetapi akhirnya dia juga menjawab setelah memilih diam beberapa menit:” Yang nera ti henemekehe bukan hanya karena aper tetapi karena tite orehe tu. Meski ap kenatingen tetapi kalau orehe tek satu hi, tetap beletehen “ (Yang membuat kita rasa sejuk bukan saja karena api tetapi karena hati kita. Meski apinya panas tetapi hati kita dingin, akan tetap dingin).
Keduanya pun mulai berbicara dan mulai tukar menukar pikiran tentang permintaan perpindahan itu. Bala menemukan bahwa bukan karena Dike tidak mau, tetapi ia berpikir lebih jauh.
Sementara Dike pun sadar bahwa umur semakin tua. Tidak mungkin hidup sendirian jauh dari tempat anak-anaknya.
Nampaknya semakin hangat saja api juga pembicaraan. Tiba-tiba Bala yang guru agama itu berucap: “aper ne be norega aper malam Paskah le, ne tule tew henemekehe” (Api ini seperti malam paskah). Dike yang tidak mau kalah juga bilang: Ake tuan Alleh ne maksud aper hen ne tule tite dir dee di” (Jangan sampai liturgi api itu mau buat kita semakin dekat).
“Nemoi” (benar). “Aper nebo norega liturgi awal, hen tite semakin dekat. Setelah dekat baru tite penua maketei. Hame juat ne be. Mek tek te dekat hi, tek mungkin maketei keluar hi” (Api itu awal supaya kita saling dekat. Kalau tidak dekat tidak mungkin bisa bicara).
“Ba re bo jenei bo te penueneng dere e ka ba te penuenehi atau na boge” (kita akan bicarakan lagi). Yang dibicarakan Bala dan Dike di pagi itu tidak sekedar rencana pindah.
Tidak tahu kenapa, keduanya ingat saat 40 tahun lalu waktu mulai meniti hidup di daerah itu. Tugas Bala yang hanya menjadi guru agama tidaklah cukup.
Tetapi untung saja ia sangat piawai bergaul dengan masyarakat sehingga banyak kali ia dibantu oleh umat mengerjakan kebunnya.
Masa itu sudah lewat dan kini hasilnya pun sudah dipetik. Bala dan Dike sampai tersenyum ketika mendengar bahwa seorang anak yang dulu diajarkan agama, khususnya kepada orang tuanya itu bahkan telah jadi uskup di Jayapura.
Betapa senangnya. “Mo hulut nero tua, apa yang ti mulai, sekarang sudah berbuah. Itu yang buat kita senang”.
Dike pun menyela. “Memang naboro magu”.
Dike pun mengingatkan suaminya akan salah satu tanda yang akan dilakukan malam itu dalam misa Paskah. “Magu, tea ne be kana de mulei no upacara api, no rega juat tertobegene ne le di” (Pak, malam ini upacara malam Paskah dimulai dengan pemasangan api, seperti yang kita berdua lakukan ini).apii
Bala yang guru agama itu pun setuju dan menambahkan: “He., bukan saja upacara api, tite juga dengan bacaan kitab suci sampai mua pire, lime atau pito” (kita juga dengar Kitab Suci sampai tujuh atau delapan bacaan).
“Itu seperti juat ter perodotehe. Kadang tite bo teu gupaha no tite janji. Karena itu Tuhan Allah ingat kan kita lewat bacaan”. (Itu seperti apa yang sedang kita tukar pikiran. Kadang kita lupa dengan janji makanya perlu bacaan itu).
“Berarti tite juat nek ti rayakan Paskah ene to”, (berarti kita dua juga rayakan Paskah dengan upacara api dan tukar pikiran dari hati ke hati), kata Dike. “Ne moi”… (betul), sahut Bala.”.
Sambil berkata begitu, Dike yang sangat cekatan menyiapkan air untuk minum kopi, di cangkir kesayangan suaminya.
Memang sejak ‘genetek’, ia tidak siapkan kopi lagi. Kebetulan juga gulanya habis, tetapi juga karena rasa jengkel saja.
Tetapi ada hal yang membuat Bala heran, ternyata air yang disiapkan sangat banyak. Kalau masak air untuk kopi cukup di periuk kecil, tetapi ini di “kuje rajan” alias periuknya besar. “Bo weer ge rei bene? ” (mengapa airnya banyak sekali).apip
“Wer reiken, karena go siapkan hen me lebok ene e magu. Ekei lete-lete ke mo harus leb no wei kenatingen” (air banyak disiapkan juga agar bisa mandi. Udarah dingin harus mandi dengan air panas).
Tiba-tiba Bala teringat akan peristiwa malam paskah. Setelah berjanji, sebelum makan, ternyata semua orang diberkati dengan air berkat dan janji babtis. “Pe lengkap le di. Tite nek ti laksanakan upacara janji babtis”. (Sangat lengkap. kita juga laksanakan upacara janji babtis).
Dike pun menyahut: “he, hen te bersih ipo harus tite mek pnue bo te pilih makat kemelengei (ya, agar setelah bersih, kita juga dalam berbicara, memilih kata-kata yang baik biar senang).
Suasana pagi itu menjadi begitu lengkap. Sambil Bala mandi, Dike memanggil ayam-ayamnya: “kurrrrrrrrrrrr”, dan semua ayamnya datang, tak terkecuali ayam yang baru mulai menanjak jadi jantan atau dalam bahasa setempat disebut “baran”.
Salah satunya ditangkap dan dengan cekatan ia siapkan makan pagi yang enak. Hidangan yang dicampuri dengan bumbu alam, ampas kelapa, lengkuas, serei, jadi masakan itu menarik sekali.
Setelah Dike juga mandi, keduanya duduk berhadapan di meja.
“Juat nek torei rayakan Paskah ene", kata Dike. Bala pun menyambung: "Ke malam paskah, setelah di hekit wekihi no aper, ipo de pnua makat (norega bacaan), ipo bo de janji no weer dan terakhir bo de tobe hen de buei. Norega mek lengkap bene di….”
Setelah beberapa lama, Dike pun berucap: “Meski juat makan besar le er noregamek phek-phek. Juat meha buei, tapi tetap kurang kalau tite tek glapi hame-hame no anekei no cucu. Lalu berdua sepakat: been bee-bee juat te lew Lerek” (besok pagi-pagi kita dua ke Lerek untuk misa Paskah).
Kita buat anak-anak terkejut dengan kedatangan kita dua di hari Minggu Paskah. Meski Kamis Putih, Jumat Agung dan Malam Paskah tidak hadir, yang penting hari Paskah bo juat hadir.
“Setuju magu. Pasti go siapkan no hure nunun dapire soalnya cucu anekei mek de leka, pasti de deri hure nunui”... Jawab Bala sambil mengasah parangnya: ‘Atureng ete le tua’ . Selamat Paskah, Minggu, 20 Aprril 2025. ***
"Penulis adalah Direktur Akademi Perhotelan Tunas Indonesia, Tangerang Selatan, penulis sejumlah buku laris.***