Langkah Strategis Indonesia Menuju Poros Maritim Dunia Melalui KTT G20

Rabu, 16 November 2022 20:28 WIB

Penulis:redaksi

Editor:redaksi

hanke.jfif
Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Centre (IKAL SC), Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa (Dokpri)

JAKARTA (Floresku.com)-Indonesia telah menunjukkan kemampuannya dalam menghelat KTT G20 di Bali, sejak tanggal 15 hingga 16 November 2022. Hal itu dibuktikan dengan hadirnya 17 kepala negara dalam konferensi bertaraf internasional tersebut.

 Apalagi Indonesia merupakan negara berkembang pertama yang menjadi tuan rumah KTT G20.  Sehingga acara ini dapat dikatakan menjadi pertaruhan bagi wajah Pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Centre (IKAL SC), Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa mengatakan pelaksanaan KTT G20 dapat dipakai sebagai ajang diplomasi untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. 

"Saya memiliki harapan terhadap kegiatan KTT G20 ini. Semoga kegiatan ini dapat dijadikan sebagai ajang diplomasi Indonesia kepada negara-negara lain yang berkepentingan dengan wilayah kemaritiman Indonesia guna mewujudkan visi misi poros maritim dunia kita. Sehingga Indonesia dapat menunjukkan peradaban maritim, kedaulatan bangsa, dan ketahanan pangan serta energinya," ungkapnya. Rabu (16/11).

Ia juga berharap KTT G20 dapat menjadi hal utama pendorong pembangunan maritim Indonesia masa depan, sehingga dapat menjamin kekuatan ekonomi, sosial, politik, dan jati diri Indonesia di persaingan global.

Apalagi, lanjut Hakeng, saat ini telah terjadi peralihan perhatian dunia dan aktivitas dari wilayah Mediterania dan Atlantik ke kawasan Indopasifik. 

"Dengan peralihan perhatian dan aktivitas tersebut maka wilayah maritim Indonesia kembali menjadi perlintasan strategis. Karena itu Indonesia harus sadar dengan posisinya secara geopolitik dan geostrategis," tegasnya.

Menurutnya, dengan letak Indonesia yang begitu strategis tersebut, maka sudah sepatutnya dapat dijadikan sebagai modal untuk berdiplomasi dalam sektor perikanan dan kelautan. 

"Indonesia harus memanfaatkan momen perhelatan KTT G20 untuk berdiplomasi terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan yang sama-sama menguntungkan dan berkelanjutan. Serta membahas syarat ekspor produk perikanan dan kelautan dari Indonesia ke negara lain, khususnya negara  anggota G20," ujarnya.

Selain itu, menurut dia dalam KTT G20 juga sepatutnya Indonesia dapat membahas mengenai batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara Indonesia dengan China, dan Indonesia dengan Vietnam yang wilayah lautnya berdekatan dengan wilayah laut  Indonesia. Atau juga dengan Negara Australia.

"Sebab persoalan ZEE ini kerap muncul ke permukaan dan tidak jarang pula memunculkan konflik antara nelayan Indonesia dan nelayan asing atau nelayan Indonesia dengan pihak aparat penegak hukum negara lain dan sebaliknya," jelas pendiri serta Pengurus dari Dewan Pimpinan Pusat Ahli Keselamatan dan Keamanan Maritim Indonesia (AKKMI) itu.

Ia menambahkan, KTT G20 diharapkan juga menghasilkan suatu kesepakatan dalam memberikan perhatian dan perlindungan bagi para penyumbang devisa negara yakni Pelaut Kapal Niaga ataupun Pelaut Perikanan. Sebab, masih banyak perlakuan kurang adil yang diterima oleh Pekerja Migran Indonesia terutama yang bekerja sebagai Pelaut Perikanan (PMI PP) yang bekerja di atas Kapal Penangkap Ikan Berbendera Asing.

Berdasarkan laporan studi bertajuk 'Potret Kerawanan Kerja Pelaut Perikanan di Kapal Asing: Tinjauan Hukum, HAM, dan Kelembagaan' yang diluncurkan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) pada 31 Agustus 2022 lalu, PMI PP masih dihadapkan dengan praktik-praktik perbudakan modern dan perdagangan manusia. 

Tim Peneliti IOJI mengidentifikasi lima akar masalah yang menghambat perlindungan PMI PP, antara lain 1) kelemahan instrumen hukum di tingkat internasional, regional, nasional, dan daerah; 2) tumpang tindih kewenangan dan kelembagaan dalam perlindungan PMI PP; 3) ketimpangan relasi kuasa antara PMI PP dan pemberi kerja; 4) pelanggaran sistemik pada proses perekrutan dan penempatan PMI PP; serta 5) kelemahan sistem informasi, penanganan pengaduan, dan rendahnya akuntabilitas.

"Dari temuan tersebut diharapkan pemerintah dapat melakukan perundingan dengan negara-negara lain yang banyak memanfaatkan tenaga kerja Pelaut Perikanan Indonesia. Sehingga dapat ditemukan titik terang penyelesaian yang saling menguntungkan," pungkasnya. (PR/Filmon Hasrin). ***