Islam
Sabtu, 12 Juni 2021 15:24 WIB
Penulis:redaksi
Oleh Bone Jehandut
Sebagai seorang buangan, Bung Karno sedikit sekali memiliki akses untuk berkorespondensi dengan para pejuang di Pulau Jawa. Hal inilah yang kadang membuat ia jadi drop, merasa sendirian, dan kalah telak dari Belanda.
Waktu ia merasa bahwa apa yang ia telah lakukan selama ini seperti sesuatu yang tak berguna. Lenyap begitu saja hingga tak menyisakan apa-apa.
Inggit tidak tahan melihat Bung Karno yang selalu nampak murung, nampak tak bertenaga dan sering melamun. Akhirnya Inggit berusaha membuat suami yang dipanggilnya “Ngkus” ini agar bisa terus bersemangat.
Inggit terus menanyainya, terus menekan Bung Karno untuk berbicara. Akhirnya apa yang dipikirkan Inggit memanglah jadi kenyataan. Suaminya nyaris menyerah. Berbekal kesabaran dan rasa cintanya pada Bung Karno, Inggit membuat suaminya berjanji malam itu. Berjanji agar tidak menyerah. Berjanji untuk terus berjuang sampai akhir meski sendirian saja
Pada suatu malam Bung Karno menangis dengan suara keras karena merasa kalah. Ia merasa tak berguna hingga tak tahu harus melakukan apa.
Di sela isak tangisnua ia meminta maaf kepada Inggit karena tak mampu membahagiakannya, selalu membawanya ke tempat yang penuh penderitaan. Dan inilah balasan Inggit atas perkataan suaminya: Cinta saya kepada Ngkus tak bisa diukur hanya dengan ikut Ngkus ke tanah buangan. Saya bahagia karena bisa berbakti dengan suami. Saya bahagia. Tapi Ngkus janji ya, Ngkus harus bangkit.”
Setelah mengalami titik nadir itu bung Karno akhirnya bangkit. Perlahan-lahan Ia mulai memikirkan bangsa Indonesia lagi meski rasanya sangat sulit.
Setiap hari, Bung Karno banyak menghabiskan diri di dalam kamar solat, atau kalau tidak ke kamar meditasi. Ia ingin menenangkan pikiran dan banyak-banyak mendekatkan diri kepada Tuhan yang mampu mengubah segala hal.
Selain itu perdi berdiskusi dengan para sahabanyad di rumah Biara St Yoseph yang jaraknya tak jauh dari rumah pengasingannya. Di sana ia berdiskusi atau kalua tidak membaca buku-buku ilmu sosial dan filsafat.
Kembali ke rumah ia membaca dan mempelajari buku-buku Islam.Sesekali ia melakukan korespondensi dengan A. Hassan, seorang ulama modernis Islam terkenal dan tokoh organisasi Persatuan Islam (Persis).
Surat menyurat antara keduanya berlangsung sejak 1 Desember 1934 hingga 17 Oktober 1936. Menurut catatan Solichin Salam, di dalam surat-surat Sukarno tertuang isi hati dan jiwanya tentang agama Islam dan umat Islam di Indonesia yang pada waktu itu diliputi kebekuan dan kekolotan. Surat-surat tersebut; pertama tertanggal 1 Desember 1934, kedua 25 Januari 1935, ketiga 26 Maret 1935, keempat 17 Juli 1935, kelima 15 September 1935, keenam 25 Oktober 1935, ketujuh 14 Desember 1935, kedelapan 22 Pebruari 1936, kesembilan 22 April 1936, kesepuluh 12 Juni 1936, kesebelas 18 Agustus 1936, dan kedua belas tertanggal 17 Oktober 1936.
Surat-surat di atas dihimpun dan diterbitkan oleh A. Hassan dengan judul, “Surat-Surat Islam Dari Endeh” (Persatuan Islam – Bandung: 1936).
Surat pertama hingga ke tiga telah saya paparkan pada dua tulisan sebelumnya. Sekarang saya mencuplik suratnya yang ke empat.
Ende, 17 Juli 1935
Assalamu’alaikum,
Telah lama saya tidak kirim surat kepada saudara. Sudahkah saudara terima surat saya yang terakhir, kurang lebih dua bulan yang lalu?
"Kabar Ende: Sehat wal’afiat, Alhamdulilah. Saya masih terus belajar Islam, tetapi sayang kekurangan perpustakaan, semua buku yang ada pada saya sudah habis “termakan”. Maklum, pekerjaan saya sehari-hari, sesudah cabut-cabut rumput di kebun, dan di sampingnya “mengobrol” dengan anak-bini buat menggembirakan mereka, ialah membaca saja. Berganti-ganti membaca buku-buku ilmu pengetahuan sosial dengan buku-buku yang mengenai Islam. Yang belakangan ini, dari tangannya orang Islam sendiri di Indonesia atau di luar Indonesia, dan dari tangannya kaum ilmuwan yang bukan Islam."
Bung Karno merasa bahwa , di Ende ia sendiri tidak bisa menemukan ‘teman berdiskusi’yang sepadan untuk mendalami ilmu keislaman. Makanya, ia menulis lebih lanjut sebagai berikut:
"Di Ende sendiri tak ada seorang pun yang saya bisa tanyai, karena semuanya memang kurang pengetahuan (seperti biasa) dan kolot-bin kolot. Semuanya hanya mentaqlid saja zonder tahu sendiri apa-apa yang pokok; ada satu dua berpengetahuan sedikit, - di Ende ada seorang “sajid” yang sedikit terpelajar, - tetapi tak dapat memuaskan saya, karena pengetahuannya tak keluar sedikitpun dari “kitab fiqh”: mati hidup dengan kiab fiqh itu, dus – kolot, dependet (mengikut saja), unfree (tidak merdeka pikirannya), taqlid. Qur’an dan Api-Islam seakan- akan mati, karena kitab - fiqh itulah yang mereka jadikan pedoman hidup, bukan kalam Ilahi sendiri.
Ya, kalau, dipikirkan dalam-dalam, maka kitab-fiqh itulah yang seakan-akan ikut menjadi algoju “Roh” dan “Semangat” Islam. Bisakah, sebagai missal, suatu masyarakat menjadi “hidup” , menjadi bernyawa, kalau masyarakat itu hanya dialaskan saja kepada “wetboek van Strafrecht” dan “Burgerlijk Wetboek”, kepada artikel ini dan artikel itu? Masyarakat yang demikian itu akan segeralah menjadi masyarakt “mati”, masyarakat “bangkai”, masyarakat yang – bukan masyarakat. Sebab tandanya masyarakat, ialah justru ia punya hidup, ia punya nyawa. Begitu pula, maka dunia Islam sekarang ini setengah mati, tiada Roh, tiada nyawa, tiada Api, karena umat Islam sama sekali tenggelam di dalam “kitab – fiqh” itu, tidak terbang seperti burung garuda di atas udara - udaranya Agama yang Hidup.
Nah. – begitulah keadaan saya di Ende; mau menambah pengetahuan tetapi kurang petunjuk. Pulang balik kepada buku-buku yang ada saja. Padahal buku- buku yang tertulis oleh otoritas-otoritas ke – Islam- ampun, masih ada yang mengandung beberapa fasal yang belum memuaskan hati saya, kadang-kadang malahan tertolak oleh hati dan ingatan saya. Kalau di negeri ramai, tentu lebih gampang melebarkan saya punya sayap….
Alhamdulillah, antara kawan-kawan saya di Ende, sudah banyak yang mulai luntur kekolotan dan kejumudannya. Kini mereka sudah mulai sehaluan dengan kita dan tak mau mengambing saja lagi kepada kekolotannya, katakhayulannya, kejumudannya, kehadramautannya, kemesumannya, kemusyrikannya ( karena percaya kepada azimat-azimat, tangkal – tangkal dan “keramat-keramat” ) kaum kuno, dan mulailah terbuka hatinya buat “Agama yang hidup”.
Mereka ingin baca buku-buku Persatuan Islam, tapi karena malaise, mereka minta pada saya mendatangkan buku-buku itu dengan separuh harga. Saya sekarang minta kerelaan tuan mengirim buku-buku yang saya sebutkan di bawah ini dengan separuh harga (**tidak disebutkan)…. haraplah tuan ingatkan, bahwa yang mau baca buku-buku itu, ialah orang – orang korban malaise, dan bahwa mereka itu pengikut – pengikut baru dari haluan muda. Alangkah baiknya, kalau mereka itu bisa sembuh sama sekali dari kekolotan dan kekonservatifan mereka itu ; Ende barangkali bukan masyarakat mesum sebagai sekarang!
Bagi saya sendiri, saya minta kepada saudara hadiah satu dua buku apa saja yang bisa menambah pengetahuan saja, - terserah kepada saudara buku apa.
Terima kasih lebih dahulu, dari saya dan dari kawan-kawan di Ende. Sampaikan salam saya kepada saudara-saudara yang lain.
Wassalam,
SUKARNO
Kemudian pada suratnya yang kelima Bung Karno mengisahkan kalau ia juga sering berdiskusi dengan para pastor. Dari diskusi tersebut ia melakukan ‘otokritik’terhadap Islam. Begini pendapat bung Karno tetang misi Katolik dan dakwah Islam
Ende, 15 September 1935.
Assalamu’alaikum,
Paket pos telah kami ambil dari kantor pos, kami di Ende semua mengucapkan terima kasih atas potongan 50% yang tuan ijinkan itu. Kawan-kawan semua bergirang, dan mereka ada maksud lain kali akan memesan buku-buku lagi, insya Allah.
Saya sendiripun tak kurang-kurang berterima kasih, mendapat hadiah lagi beberapa brochures. Isinya brochure Congress Palestina itu, tak mampu menangkap “centre need of Islam” (kepentingan Islam yang terpenting). Di Palestina orang tak lepas dari conventionalism (Tidak memegang pada pokok pembicaraan saja),- tak cukup kemampuan buat mengadakan perobahan yang radikal di dalam aliran yang nyata membawa Islam kepada kemunduran. Juga pimpinan kongres itu ada “ruwet”, orang seperti tidak tahu apa yang dirapatkan, bagaimana caranya tehnik kongres. Program kongres yang terang dan nyata rupanya taka da. Orang tidak zakelijk (rantainya adat kebiasaan), dan saya kira di kongres itu, orang terlalu “meniup pantat satu sama lain” , - terlalu “Caressing each other”, terlalu “mekaar lekker meken”. Memang begitulah gambaran dunia Islam sekarang ini : kurang Roh yang nyata, kurang Tenaga yang Wujud, terlalu “bedak membedaki satu sama lain” , terlalu membanggakan sesuatu negeri Islam yang ada sedikit berkemajuan, - orang Islam biasanya sudah bangga kepada “Mesir” dan “Turki”! – terlalu mengutamakan pulasan – pulasan yang sebenarnya tiada tenaga!!!
Brochures yang lain-lain sedang say abaca, insya Allah nanti saya akan ceriterakan kepada tuan saya punya pendapat tentang brochure- brochure itu. Terutama brochurenya tuan A.D.Hasnie saya perhatikan betul. Buat sekarang ini, sesudah saya baca brochure Hasnie itu secara sambil-lalu, maka bisalah sudah saya katakan, bahwa “cara penerintahan Islam” yang diterangkan di situ itu, tidaklah memuaskan saya, karena kurang “up to date”. Begitukah hokum-kenegaraan Islam? Tuan A.D.Husnie menerangkan, bahwa demokrasi parlementer itu, cita-cita Islam. Tetapi sudahkah demokrasi parlementer itu menyelamatkan dunia? Memang sudah satu anggapan tua, bahwa demokrasi parlementer itu puncaknya ideal cara pemerintahan. Juga Moh.Ali, di dalam ia punya tafsir Qur’an yang terkenal, mengatakan bahwa itulah idealnya Islam. Padahal ada cara pemerintahan yang lebih sempurna lagi, yang juga bisa dikatakan cocok dengan azas-azasya Islam!
Brochure almarhum H.Fachroeddin akan berfaedah pula bagi saya, karena saya sendiripun banyak bertukar pikiran dengan kaum pastor di Ende. Tuan tahu, bahwa pulau Flores itu ada “pulau missi” yang mereka sangat banggakan. Dan memang “pantas” mereka membanggakan mereka punya pekerjaan di Flores itu. Saya sendiri melihat, bagaimana mereka “bekrja mati-matian” buat mengembangkan mereka punya agama di Flores. Saya ada “respek” buat mereka punya kesukaan bekerja itu. Kita banyak mencela missi, - tapi apakah yang kita kerjakan bagi menyebarkan agama Islam dan memperkokoh agama Islam? Bahwa missi mengembangkan roomskatholocisme, itu adalah mereka punya “hak”, yang kita tidak boleh cela dan gerutu. Tapi “kita”, kenapa “kita” malas, kenapa “kita” teledor, kenapa “kita” tak mau kerja, kenapa “kita” tak mau giat? Kenapa misalnya di Flores tidak ada seorangpun muballigh Islam dari sesuatu perhimpunan Islam yang ternama (misalnya Muhammadiyah) buat mempropagandakan Islam di situ kepada orang kafir? Missi dalam beberapa tahun saja bisa mengkristenkan 250.000 orang kafir di Flores, - tapi berapa orang kafir yang bisa “dihela” oleh Islan di Flores itu? Kalau dipikirkan, memang itu “salah kita sendiri “ , bukan salah orang lain. Pantas Islam selamanya diperhinakan orang!
Kejadian di Bandung yang tuan beritakan, sebagian saya sudah tahu, sebagian belum. Misalnya, saya belum tahu, bahwa tuan punya anak telah dipanggil kembali ke tempat asalnya. Saya bisa menduga tuan punya duka-cita, dan saya pun semakin insyaf, bahwa manusia punya hidup adalah sama sekali di dalam genggaman Ilahi. Yah, kita harus tetap tawakkal, dan haraplah tuan sauka sampaikan saya punya ajakan tawakkal itu kepada saudara-saudara yang lain, yang juga tertimpa kesedihan.
Sampaikanlah salamku kepada semua.
Wassalam,
SUKARNO
Publisher “The Spirit of Islam” kini saya sudah tahu: Doran & Co., New York. Saya sudah dapat persanggupan ongkosnya dari saya punya mbakyu, dan sudah pesan buku itu. Saya ingin tahu pendapat Ameer Ali, apakah yang menjadikan kekuatan Islam, dan apakah sebabnya “semangat kambing” sekarang ini. Cocokkah dengan pendapat saya atau tidak?
setahun yang lalu