flores
Senin, 03 April 2023 15:59 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
Bagian Kedua (terakhir) dari Satu Tulisan
ORANG TONGGO: ‘KAMI KETURUNAN MBESI’
Kisah nenek moyang orang Keo juga berkembang di Tonggo. Lois Ann Johnston, dalam disertasinya, ‘Identifying the People of Tonggo, Flores, Easter Indonesia’ (2006: 144-146) mengemukakan, berdasarkan lisan orang Tonggo, selama ratusan tahun, nelayan, pedagang, pelaut di kapal dagang, dan pembelot dari kapal perang telah mengarungi pantai selatan Pulau Flores. Mereka memahami arus, garis pantai, dan pelabuhan alami.
Menurut Johnston, warga Muslim di Tonggo memulai kisah asal muasalnya dengan menuebut nama ‘Mbesi’, seorang pedagang, yang tiba di tepi pantai sekitar Desa Ma'u Tonggo.
Soal dari mana asal Mbesi mereka tampaknya tidak sepakat. Ada yang bilang Mbesi itu datang dari Jawa; yang lain menduga bahwa Mbesi berasal dari Sumatera Barat.
Bahkan, ada beberapa yang menyebutkan kalau Mbesi pernah singgah di Sumba, entah dari mana. Namun, semua sepakat bahwa Mbesi dan tiba sekitar 1500-an.
Warga Muslim di Tonggo juga mengisahkan, Mbesi datang ditemani beberapa saudara, salah satunya bernama Bi Tura.*
Beberapa dari mereka juga menceritakan bahwa seorang saudara Mbesi menetap di pantai utara Flores.
Berteman dengan Mea bersaudara di perbukitan (Tonggo di pebukitan), Mbesi kemudian dikawinkan dengan seorang adik perempuan dari temannya. Nama perempuan itu, Dero Mea.
Mbesi dan Dero Mea, kemudian tinggal di tanah leluhur marga Liti. Orang Liti sendiri membangun desa di punggung bukit yang tinggi dan curam.
Hal itu dilakukan untuk mencegah invasi mendadak dari kelompok bajak laut dan para pedangang budak yang sering menyerang secara tak terduga.
Beberapa warga di perbukitan di sekitar Tonggo berpendapat bahwa imigran awal seperti Mbesi diizinkan untuk menetap di tanah marga yang tidak berpenghuni di pantai dengan imbalan melakukan tugas pengawasan atas ‘musuh’ (bajak laut dan pedagang budak).
Penugasan ini, menurut pemimpin warga perbukitan, bukanlah suatu pelimpahan wilayah tanah menjadi hak milik.
“Mereka (kaum pendatang) boleh tinggal di wilayah ini, tetapi mereka tidak termasuk keanggotaan dalam klan Tonggo yang asli. Sebab, keanggotaan dalam komunitas ini ditentukan oleh keturunan melalui laki-laki,” tulis Johnson mengutip narasumber dari wilayah pebukitan Tonggo.
Johnston berkesimpulan bahwa dengan menerima Mbesi menetap di tanah mereka, orang pebukitan memang tidak menganggap Mbesi sebagai bagian atau ‘orang dalam’ dari klan mereka.
Sebab tanah dipandang sebagai warisan leluhur yang sakral yang tak mudah diserahkan kepada pendatang. Apalagi, warga pebukitan sendiri memiliki anak cucu sendiri (Burns 1989: 10).
Apa pun kesepakatan antara Mbesi dan klan lereng bukit, orang-prang keturunan Mbesi terus menganggap diri mereka pribumi atau ‘orang dalam’ dalam segala hal. Beberapa, tetapi tidak semua, petani di lereng bukit memiliki perasaan yang sama tentang status para keturunan Mbesi itu.
Hingga kini keturunan Mbesi terus tinggal di tanah yang menurut mereka diberikan kepada mereka dan terus menganggap diri mereka sebagai pemilik sah tanah itu. Secara umum, para petani di desa-desa lereng bukit tidak membantah klaim ini.
Memang, Mbesi bukan satu-satunya imigran di pantai ini. Setidaknya pada awal 1600-an, tentara dari armada Makassar dan para pedagang di Bugis berlabuh di daerah Pulau Ende di sebelah timur Tonggo.
Ketika Makassar digulingkan oleh Belanda pada 1667, orang Makassar dan sekutunya yang berasal Bugis mencari tanah atau rumah baru dan mitra dagang baru di Pulau Flores, khusunya di Ende dan sekitarnya, Sumba, dan Sumbawa.
Sejarah lisan dari beberapa keluarga di Tonggo menyebutkan bahwa nenek moyang mereka datang dari Makassar. Bukti kehadiran pendatang dari Makasar adalah kerajinan tangan tenun ikat yang berkembang di Tonggo. Motif kain tenun Tonggo memiliki kemiripan dengan kain tenun di Sulawesi Selatan.
Hal yang sama dengan motif kain tenun Mbay, wilayah pantai utara Flores yang juga didatangangi para pendatang dari Makasar dan Bugis serta Selayar.
Selain itu, Tonggo juga didatangi para pendatang dari Bima, Sumbawa yang mengungsi akibat letusan gunung Rinjani 1815 (Monk et al 1997: 491). Kehadiran pendatang Bima, mempengaruhi bahasa yang digunakan oleh orang Muslim Tonggo sekarang.***
______________________________
*‘Bi Tura’ boleh jadi adalah sosok yang sama yang disebut Fontijne (Forth 2004). Mereka berbicara tentang seorang imigran dari Minangkabau, bernama Bi Tua, yang diberikan izin untuk mendarat di Basa Ndai.
Kemudian, dia pindah Basa Ndai ke wilayah pedalaman ke tempat bernama Bamo. Putranya, Nua Wedo, dan beberapa orang Bamo, pindah ke Keli Mado dimana pendatang dari So'a sudah menetap.
Apakah sebenarnya ada kaitan antara Bi Tura atau Bi Tua dan Mbesi ? Tidak jelas juga. Ada kemungkinan bahwa cerita-cerita ini adalah hasil dari apropriasi atau pencampuran yang tidak disengaja. Boleh jadi sengaja dibuat untuk menghubungkan sejarah Tonggo dengan Nage, dan supaya sejarah Tonggo tidak terlepas dari asal-usul orang Keli Mado yang bermuara di So'a.
Dugaan ini sejalan dengan penjelasan Forth mengenai pemberian wilayah yang dikuasai oleh keturunan Nuga Raga, di Keo Barat. (Forth 2001: 203) mengatakan bahwa “pemberian wilayah untuk pendatang yang tiba kemudian sebagian besar terjadi sebagai balas jasa atau imbalan atas bantuan militer atau kesediaan untuk memberikan perlindungan ketika terjadi perselisihan atau perang.”
Sumber: Draf Buku Maximus Ali P. “Orang Flores dan (Media) Komunikasi: Dari Komunikasi Tradisional Hingga Media Sosial".
6 hari yang lalu
16 hari yang lalu