Nagekeo
Jumat, 23 Juli 2021 09:57 WIB
Penulis:Kusumawati
Editor:Kusumawati
SOLO (Floresku.com) - Ironis, di tengah keprihatinan bangsa Indonesia yang tengah menarik tuas rem PPPM Darurat guna menekan laju penyebaran COVID19, media digital kita masih terus dibanjiri dengan berbagai hoaks dan hasut yang meresahkan.
Fakta yang mencengangkan, Mafindo melalui situs TurnBackHoax.ID mencatat 1069 hoaks COVID-19 sejak Januari 2020 hingga Juli 2021, sebagian diantaranya mengandung narasi yang membahayakan masyarakat dan merusak upaya penanganan pandemi, termasuk yang disebarkan oleh dr Lois yang saat ini kasusnya sedang ditangani oleh Polri.
“Sangat mendesak inisiatif bersama supaya masyarakat tidak mudah menjadi korban hoaks pandemi, tidak cukup dengan klarifikasi secara digital, edukasi dan sosialisasi di dunia nyata sangat penting untuk dilakukan. Pemerintah, platform dan masyarakat harus bergandengan tangan untuk menekan peredaran hoaks.” Kata Septiaji Eko Nugroho, Ketua Presidium Mafindo, dalam rilisnya Kamis 22 Juli 2021.
Hoaks yang menyebut rumah sakit meng-COVID-kan pasien, dan pasien meninggal karena keracunan interaksi obat yang diresepkan dokter, sangat massif menyebar di masyarakat, membuat orang yang sakit baik COVID19 maupun bukan, takut untuk pergi ke rumah sakit dan bertemu dokter. Tercatat beberapa kasus warga meninggal yang terlambat ditangani rumah sakit, akibat termakan hoaks tersebut, sehingga enggan untuk bergegas ke rumah sakit. Hal ini juga mungkin terjadi kepada sebagian warga yang meninggal ketika isolasi mandiri di rumahnya.
Hoaks ambulans kosong yang berputar-putar sekeliling kota untuk menakut-nakuti warga, dipercaya sebagian orang sehingga terjadi beberapa insiden perusakan ambulans, tercatat pelemparan batu dan kaca pecah di Jogja dan Solo pada minggu kedua Juli 2021. Hal ini sangat meresahkan para petugas ambulans yang masih harus tetap bekerja di tengah tekanan tinggi akibat antrian pasien atau jenazah yang membutuhkan ambulans.
“PPKM Darurat ini harus disertai dengan upaya serius untuk menekan lajur penyebaran hoaks pandemi, karena hoaks ini masih berperan dalam abainya masyarakat terhadap protokol kesehatan, penolakan terhadap vaksin, hingga meninggalnya warga karena salah mengambil keputusan dalam situasi genting.” imbuhnya.
Septiaji melanjutkan, Diproses hukumnya dr Lois, tidak serta merta akan mengurangi laju peredaran hoaks, karena polarisasi antara kubu rasional dan kubu denial sudah terlanjur menguat. Kubu denial ini sangat aktif di media sosial, salah satunya group di Facebook “Akhiri Plandemic” beranggotakan 13 ribu anggota, dan setiap harinya berseliweran konten yang mengajak masyarakat untuk tidak mempercayai COVID19 dan upaya penanganan pandemi yang sedang dilakukan. Kalaupun dr Lois berhenti menyebarkan hoaks, maka akan ada orang lain yang kemudian ditokohkan oleh kelompok denial ini.
“Platform media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Tiktok juga perlu lebih responsif untuk menyisir konten hoaks yang dilaporkan masyarakat, khususnya konten hoaks yang sudah diklarifikasi oleh ekosistem periksa fakta di Indonesia. Platform perlu memanfaatkan database hoaks yang terbangun untuk secara otomatis memperingatkan pengguna jika mengunggah konten hoaks yang serupa. Akun-akun yang berulang kali sengaja menyebarkan hoaks COVID19 yang meresahkan perlu dikeluarkan dari platform,” sambung Septiaji.
Ketimpangan antara jumlah hoaks yang beredar dengan klarifikasi yang sampai ke masyarakat masih menjadi masalah besar. Meskipun media massa, lembaga periksa fakta, dan pemerintah, sudah berusaha melakukan upaya periksa fakta, namun masih lebih banyak masyarakat yang terpapar hoaks dan tidak semuanya bisa mengetahui klarifikasinya.
Eko Juniarto, Presidium Mafindo Bidang Periksa Fakta, menjelaskan, ”Dari analisis kami terhadap sejumlah artikel periksa fakta yang dipublikasikan, sebuah hoaks bisa sepuluh kali lipat lebih banyak disebarkan ketimbang klarifikasinya. Ini menjadi persoalan serius, karena banyak masyarakat yang lebih mudah mengakses konten hoaks, tetapi tidak banyak yang membaca klarifikasinya. Ketimpangan informasi ini yang menyebabkan masih banyak masyarakat yang lebih percaya kepada hoaks daripada informasi faktual yang dikeluarkan oleh otoritas maupun pakar kesehatan.”
Upaya mendekatkan masyarakat dengan klarifikasi atas hoaks yang beredar perlu dilakukan dengan secara rutin meng-update para tokoh masyarakat dan tokoh agama terkait issue terkini, sehingga mereka bisa ikut membantu meluruskan informasi di komunitasnya. Demikian juga kantor desa, kelurahan, kecamatan, puskesmas, rumah sakit, perlu secara berkala memajang poster yang berisi klarifikasi atas isu hoaks terkini yang dinilai paling meresahkan masyarakat.
Pemerintah bisa menggerakkan institusi yang memiliki jejaring struktural ke daerah untuk membantu menjernihkan informasi, merangkap perpanjangan telinga untuk mendengarkan keresahan masyarakat. Kementerian Dalam Negeri bisa mengirim radiogram berkala kepada pemerintah daerah sehingga aparat desa dan kecamatan sigap menyikapi hoaks di lapangan. Kementerian Agama bisa mengerahkan penyuluh agama yang ada sampai level kecamatan untuk ikut memberikan klarifikasi atas informasi bohong. Demikian juga Kepolisian Republik Indonesia bisa menggerakan jejaring Binmas.
“Tidak cukup dengan menyebarkan narasi secara digital, kita butuh upaya lebih untuk meyakinkan orang supaya tidak termakan hoaks secara spesifik, tidak bisa lagi dengan ajakan yang sifatnya umum. Orang umumnya sudah paham kalau hoaks itu sesuatu yang buruk, tetapi yang paling penting adalah orang harus tahu bahwa issue rumah sakit meng-COVID-kan pasien, vaksin membahayakan, ambulans kosong menakuti warga, itu adalah hoaks yang harus dilawan bersama,” sambung Eko. (*)
8 bulan yang lalu