Masyarakat Adat Malasera Minta Pemkab Nagekeo Bangun Makam Pahlawan Lokal Wani Ghode dan Makam Serdadu Belanda

Kamis, 22 Juli 2021 10:17 WIB

Penulis:redaksi

Editor:Redaksi

PIUS PEDO.JPG
Pius Pedo Weto, tokoh masyarakat adat Malasera, Desa Nata Ute, Kec. Nangaroro, Kab. Nagekeo - Flores (Bob Sina)

MALASERA (Floresku.com) – Masyarakat adat Malasera, Desa Nata Ute, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo berharap Pemeritah Kabupaten (Pemkab) Nagekeo, melalui Dinas Pariwisata untuk menata situs bersejarah di Kampung Malasera.

Harapan tersebut diungkapkan warga Kampung Malasera saat awak media ini menelusuri  jejak sejarah perjuangan masyarakat Toto Tana Rea di kampung tersebut, Selasa, 20 Juli 2021.

Situs sejarah di Kampung Malasera memang terkait dengan sejarah pergerakan dan perjuangan melawan penjajah Belanda, yang dilakukan masyarakat Toto Tana Rea yang lazim disebut sebagai ‘Perang Watuapi’.

 Situs Kubur Era Mori dan KuburMasal tentara Belanda yang gugur di  Malasera. ( Foto Bob Sina)

Catatan Sejarah

Menurut catatan sejarah, Perang Watuapi, adalah perlawanan masyarakat adat Toto Tana Rea yang dipimpin oleh Nipa Do, Kepala Suku Toto dari Watuapi,  wilayah yang berada di Kecamatan Wolowae, Kabupaten Nagekeo saat ini.

Masyarakat Toto Tana Rea bangkit melawan penjajajah Belanda, setelah pemerintah Belanda mematok pajak yang memberatkan warga setempat. Juga ketika Nipa Do dan para kepala kampung seperti Kepa Biu, Laja Dosa dan Deru Gore menyaksikan sendiri bagaimana para mandor dan serdadu Belanda berlaku kasar dan semena-mena selama mengawasi warga Toto Tana Rea yang berkerja paksa membangun jalan raya Lintas Flores, ruas Nangapanda – Nangamboa, terutama di Ngalu Mere yang sangat sulit.

Dalam memori penyerahan jabatan Controler Onderafdeling Ende, J.F. Strock tertulis, “Sesudah Belanda menduduki daerah dan seluruh peolosok Onderafdeling Ende dan Ngada,  dan membentuk sistem pemerintahan yang didasarkan pada adat dengan mengangkat pemuka-pemuka masyarakat dan tua-tua adat yang berpengaruh sebagai raja atau Kepala Haminte  dan kepala-kepala kampung, maka tenaga rakyat pun mulai dikerahkan untuk bekerja rodi di jalan-jalan. Selain itu rakyat diwajibkan membayar pajak yang tinggi. Dari situlah timbullah perasaan tidak puas dari rakyat dan para pemuka Toto Tana Rea sehingga mengakibatkan pecahnya Peran Watuapi.” 

Menurut sejarawan Belanda Stefan Dietrich perlawanan masyarakat Toto Tana Rea terhadap Belanda atau Perang Watuapi berlangsung antara Agustus 1916 hingga Feburari 1917.  “Ini adalah peperangan dengan koordinasi paling rapi dari semua peperangan di Flores,” tulis Stefan Dietrich, dalam artikelnya “Kolonialismus und Mission auf Flores, Klaus Renner Verlag,” (1989).

Sementara itu sejarawan I.H.Doko (1973) menulis, “salah satu tokoh yang ikut membantu Kepa Biu, salah seorang panglima Nipa Do di wilayah Selatan adalah Wani Koda (Wani Ghode, red). Wani Koda ditugaskan untuk berpura-pura menerima pasukan Belanda yang bergerak dari Nangapanda, melewati Nangamboa, lalu Malasera untuk menuju Malidewa dan Wolowae. Selain itu, itu Wani Koda juga ditugaskan untuk mengibuli pasukan Belanda. ”

“Pada suatu ketika, pasukan Kepa Biu dan Wani Koda berhasil mengibuli pasukan Belanda, untuk menginap di Malasera setelah dipukul mundur oleh pasukan Nipa Do di Malidewa. Waktu itu, pasukan Belanda disuguhi makanan dan arak, sehingga mabuk. Dalam situasi demikian, datanglah pasukan yang sudah dikoordinasi oleh Kepa Biu dan Wani Koda menyerbu dan membantai pasukan Belanda,” catat I.H. Doko.

 I.H. Doko pun menyebutkan, ada 200 anggota pasukan atau serdadu Belanda tewas dalam penyerbuan itu. Mereka dimakamkan secara masal di Malasera.

Tradisi lisan

Sementara itu, menurut tradisi lisan Pius Pedo Weto, tokoh adat Malasera mengungkapkan, dalam Perang Watuapi, Wani Ghode cukup berperan penting, membantu Kepa Biu yang ditugaskan sebagai panglima di daerah selatan dari Toto Tana Rea. Melalui siasat atau strategi berperang yang licik itu, pasukan  Belanda bisa dipukul mundur, bahkan banyak dari antara mereka yang gugur  dan dimakamkan di Malasera. 

“Salah satu di antaranya adalah seorang serdadu yang bernama Era Mori. Ia terbunuh bersama bersama 49 orang serdadu lannya” tutur Pius Pedo Weto yang adalah juga cucu dari Wani Ghode.

Pius  Pedo Weto, menceritakan bahwa, selain makam para serdadu Belanda,  di Kampung Malasaera, juga terdapat makam Wani Ghode, kakeknya sendiri. 

Harapan masyarakat Malasera

Berdasarkan kisah sejarah tersebut Pius Pedo Weto meminta kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Nagekeo melalui Dinas Pariwisatanya,  untuk membangun situs bersejarah, makam Wani Ghode dan makam para serdadu Belanda di Kampung Malasera.

Pius juga meminta para alumni SDK Malasera di mana pun berada untuk ikut memperkenalkan situs bersejarah di Malasera dengan cara masing–masing, misalnya melalui media sosial,  agar dapat diketahui  oleh Pemerintah Belanda, atau pun  anak cucu para serdadu Belanda yang gugur dan dimakamkam di Malaserta tersebut.

“Siapa tahu, dari informasi tersebut para kerabat dari para serdadu Belanda itu mau beriziarah ke makam di Malasera,” ujarnya.  

Warga Malasera lainnya sependapat dengan Pius Pedo. Mereka pun berkomitmen untuk melakukan upaya penataan makam serdadu Belanda dan makam Wani Ghode secara bergotong royong.

“Kami akan bergotong royong membersihkan dan menata situs ini secara swadaya. Untuk membuatnya tampak lebih bagus, barangkali Pemkab Nagekeo bisa turun tangan membantu,” ujar Matius Meo, salah satu warga Kampung Malasera penuh semangat. 

Sementara itu, Geradus Gi’u, seorang pensiunan guru SDK Malasera berharap, penataan kembali situs bersejarah di Malasera dapat menjadi sarana pembelajaran bagi para generasi muda Flores, khususnya generasi muda di wilayah Toto Tana Rea.

“Penataan situs ini sangat penting supaya generasi muda mengenal sejarah perjuangan masyarakat lokal, dan bisa memberi penghargaan yang selayaknya kepada para pejuang atau pahlawan lokal itu. Jangan sampai, generasi muda hanya belajar mengenai sejarah perjuangan dan pahlawan  nasional seperti Diponegoro, Imam Bonjol dan yang lain-lain, tapi tidak mengetahui kisah perjuangan para pahlawan lokal seperti Nipado, Kepa Biu, Wani Ghode, dan yang lainnya,” ujar Geradus Gi’u. (Bob Sina/MA)