gereja
Jumat, 09 Juli 2021 12:10 WIB
Penulis:MAR
Oleh Her Suharyanto
Saya minta maaf, teman-teman, untuk menambahkan satu lagi berita duka. Bukan berita yang menggembirakan. Sama sekali bukan. Tapi saya merasa perlu bercerita, agar minimal saya sendiri tidak terus menyangkal keadaan. Kali ini yang meninggal dunia adalah guru saya, guru kami, Pak Rudi namanya. Saya dan beberapa teman, pada satu periode, pernah berguru pada beliau. Kepada beliau kami (terutama saya) belajar sejumlah hal praktis tentang keroncong.
Saya mulai menyukai keroncong waktu duduk di bangku SMA, di Seminari St. Paulus Palembang. Pendorongnya ada dua. Yang pertama karena ada adik kelas yang suaranya bagus sekali untuk menyanyi keroncong. Namanya Suharjo, asal Kotabumi. Yang kedua karena ada dua orang jago memainkan keroncong, yaitu mas Advendhi Subagyo, kakak kelas saya, dan Petrus Urspon, teman seangkatan saya. Sementara itu, waktu itu Pusat Musik Liturgi Yogyakarta juga banyak melakukan percobaan, menciptakan banyak lagu keroncong gerejani, dan memasukkannya dalam tata liturgi gereja. Maka masuklah saya dalam hangatnya “budaya keroncong”.
Di dunia keroncong SMA saya berdiri di pinggiran. Karena banyak jago-jago musik yang tadi saya sebutkan. Tapi kemudian Advendy lulus, dan Petrus meninggalkan seminari. Maka masuklah saya, jadi pemain “cello palsu”. Saya menyebutnya cello palsu karena kami tidak punya cello beneran. Cuma ada gitar. Maka bagaimana caranya agar dengan gitar bisa diproduksi suara ala-ala cello petik.
Saya bermain keroncong minimalis bersama teman saya sejak SD, namanya Sukoto (sekarang jadi pastor di Palembang), dan Sudarsono (meninggal sekitar 6 tahun silam di Kutabumi Tangerang).
Begitu lulus SMA / Seminari menengah dan selanjutnya, saya tetap menyenangi keroncong, dengan sesekali ikut bermusik. Tetapi keriangan berkeroncong baru muncul lagi ketika bertemu dengan grup paduan suara yang buat saya luar biasa, di BSD. Awalnya ini adalah grup lingkungan (Alfonsus), tapi karena pemekaran, maka menjadi koor wilayah. Ini koor yang paling unik buat saya. Tidak seperti pengalaman saya di manapun sebelumnya, di koor ini anggota tenor dan bass-nya berlimpah. Defisit sopran dan terutama alto. Itu sebabnya beberapa kali malah sengaja, tugas di gereja dengan paduan suara murni pria.
Sebenarnya kapasitas musikal saya di komunitas ini juga kelas pinggiran. Paspasan. Tapi ketika kami memutuskan untuk misa keroncong, maka mulailah saya pegang gitar. Lagi-lagi dengan peran pemain cello palsu. Sebegitupun kami semua happy.
Saya mulai gelagapan tapi senang ketika mas Harkuswo Hartono, yang memang profesional musik, bermaksud membentuk keroncong di tingkat gereja paroki. Dan saya diminta untuk terlibat. “Untuk main cello,” katanya. Saya masih senang dengan informasi itu. Tapi tiba-tiba panik ketika dia bilang, “Ada cello-nya”. Justru di situ soalnya. Saya belum pernah pegang cello betulan.
Sementara itu jaman itu kan ada yahoo-group. Saya mencari dan menemukan satu grup keroncong, yang menyebut diri group Keroncong Cyber. Saya mulai bergabung di komunitas itu, untuk menikmati keguyuban khas keroncongnya, dan sesekali juga datang di acara komunitas. Ngecroeng sak-mlocote. Bahkan saya juga sempat diajak mengelola publikasinya, buleting Tjroeng. Saya sanggupi saja karena saya memang senang.
Di keroncong paroki (gereja) saya merasa agak lega, karena teman-teman berinisiatif untuk mengundang pelatih. Namanya Pak Rudi. Beliau bermain di berbagai grup, baik di skala hobi sampai di skala profesional, sebagai pemain biola. Bahkan ada beberapa grup gambang kromong yang juga selalu mengajaknya pentas di hajatan-hajatan dalam budaya betawi.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda, Pak Rudi juga punya grup yang rutin manggung di Restoran Midori Bintaro setiap Kamis malam.
Di grup kami dia datang setiap latihan, menemani dan mengajari kami. Padahal rumahnya cukup jauh. Kami berlatih di BSD, Pak Rudi tinggal di kawasan timur Pamulang. Pak Rudi selalu datang dengan sepeda motor bututnya.
Dia mengajari kami satu demi satu. Yang paling “besar ruang tumbuhnya” (hahahaha) adalah saya. Semua teman saya hanya perlu belajar “cara mukul”, karena sebagian besar prinsipnya sama dengan main gitar. Yang paling dari nol adalah saya. Yang berat buat saya adalah karena saya belum pernah pegang alat itu. Yang kedua, cello tidak memakai fret. Jadi harus membuat perkiraan, dan perkiraannya harus tepat. Yang ketiga, setelan senarnya juga berbeda dengan gitar. Tapi Pak Rudi mengajari (saya) dengan tekun.
Dan keroncong kami pun terlihat bentuknya. Nggak istimewa sih, tapi cukup untuk nyanyi-nyanyi bareng, dan sesekali mengiringi paduan suara di gereja (Coba dengar di youtube yang saya lampirkan, walaupun belepotan musiknya, tapi vokalis utama kami, Pak Joseph Buntaran Liem bisa menyanyi dengan sepenuh hati kan?) Tetapi sekitar enam atau tujuh tahun terakhir saya mundur dari grup ini, karena markasnya pindah ke Villa Melati Mas. Penyebabnya, pemilik markas lama, Pak Antonius Herdaru Danurdoro, harus bertugas ke Vietnam.
Hari ini kabar duka itu datang. Saya mendengarnya dari teman lingkungan, dan kemudian dari FB Pak Joseph Buntaran Liem. Pak Rudi meninggal dunia. Pak Rudi adalah salah satu korban Pandemi Covid-19. Kapergian yang terlalu cepat buat saya. Saya sempat berpikir untuk membangun grup keroncong baru di Kencana Loka BSD, dengan mengandalkan Pak Rudi sebagai pelatih.
Salah satu peristiwa yang tidak pernah saya lupakan dengan Pak Rudi adalah keyakinannya akan keberuntungan. Suatu saat kami diminta bermain dalam rangka ulang tahun paroki. Pentas malam hari. Setelah kami selesai pentas, saya berminat langsung pulang. Saya tidak tertarik pada acara yang terakhir, pengumuman lucky draw.
“Yuk Pak Pulang, kata saya.”
“Jangan, lucky draw belum diundi,” jawabnya.
“Halah… kalau saya nggak bakal dapet,” saya menimpali.
“Lha kalau saya pasti dapet,” katanya yakin.
Dan benar sekali. Pada moment yang paling ditunggu, cara penarikan undian, Pak Rudy mendapat hadiah utama, sebuah smartphone merk Samsung. Pak Rudi bercerita, setiap kali ada undian dan dia terlibat, dia selalu mendapatkan hadiah utama.
Selamat jalan, Pak Rudi. Terima kasih sudah menuntun saya (kami) untuk lebih menikmati keroncong. Semoga bagimu ini adalah hadiah utama, yang kauterima dengan sukacita. Semoga berbahagia di alam sana.
(pada video pemain bass kami tidak terlihat: Pak Radix Tyas Wieto)