OPINI: Membaca Pesan Paus Fransiskus dalam Perspektif Pewarta

Jumat, 05 Mei 2023 17:13 WIB

Penulis:redaksi

Editor:redaksi

Jose.JPG
José Nelson Maria Vidigal (Dokpri)

Oleh: José Nelson Maria Vidigal*

MENJELANG hari komunikasi sedunia ke-57 yang jatuh pada tanggal 21 Mei mendatang, pimpinan tertinggi Katolik, Paus Fransiskus menyerukan moderasi melalui komunikasi dengan hati. 

Berkomunikasi dengan hati (ramah) berarti siapapun yang membaca atau mendengarkan kita, dituntut untuk berempati dalam kegembiraan, ketakutan, penderitaan dan harapan manusia di zaman sekarang. 

Berbicara dengan hati adalah seni dalam berkomunikasi yang tidak semua orang bisa melakukannya. Berbicara dengan hati berarti mengungkapkan pemikiran dan perasaan dengan tulus dan jujur, tanpa menyembunyikan apapun di balik kata-kata yang tersampaikan. 

Ketika kita berbicara dengan hati, kita memberi ruang untuk mendengarkan dan meresapi apa yang sedang kita sampaikan. 

Kita membuka diri untuk menerima tanggapan dari lawan bicara, karena kita yakin, bahwa kita telah memberi yang terbaik dan apa yang kita sampaikan benar-benar berasal dari hati. 

Hati adalah sesuatu yang berada dalam tubuh manusia (bukan organ) yang dianggap sebagai tempat penyimpanan segala perasaan batin dan pengertian. 

Namun, berbicara dengan hati bukanlah hal yang mudah dilakukan. Terkadang, kita dibebabani oleh pikiran dan emosi yang negatif, serta kecemasan yang dapat menghalangi kita untuk berbicara dengan hati. 

Ketika kita bisa mengatasi hal-hal tersebut, kita dapat membangun hubungan yang lebih baik dan mendalam dengan orang-orang di sekitar kita. 

Untuk berkomunikasi dengan hati, pertama-tama seorang pewarta harus menyucikan hatinya agar bisa mendengarkan tanpa prasangka dan mampu melihat melampaui sekat yang tampak begitu kompleks bagi dunia. 

Kita tidak perlu menjadi sempurna dalam berbicara dengan hati. Kita hanya butuh mempertimbangkan kata-kata yang akan kita ucapkan, mengekspresikan pikiran dengan bijaksana, dan melakukannya dengan penuh perhatian dengan orang yang kita ajak bicara. 

Berbicara dari dan dengan hati adalah ciri komunikasi yang tulus. Antara resipien dan komunikan harus memiliki sikap pengertian yang tinggi. Berbicara atau komunikasi dengan hati itu pesan dan kesannya sangat mendalam, sehingga lawan bicara atau audiens merasa tergugah. 

Gugatan yang tergores itu akan membuat lawan bicara mengambil langkah transformatif untuk menginterpretasikan maksud pembicara. Langkah transformatif ini dimulai dari wacana menuju aksi, aksi menuju aktualisasi, dan dari aktualisasi menuju internalisasi. 

Hati adalah indera tambahan (selain extrasensory perception) yang memiliki kualitas super dan tidak dimiliki makhluk lain selain manusia. Hati menjadi acuan yang mampu menggerakkan semua indera yang berhubungan dengannya untuk menghasilkan sesuatu, entah itu baik atau jahat. Semua tergantung pada kebiasaan mengelola hatinya untuk bermuara ke mana, ke arah baik atau jahat.

Dewasa ini, unsur yang paling berpengaruh pada komunikasi media massa adalah dampaknya bagi khalayak. Objektivitas sebuah media massa dinilai dari kredibilitas dan persepsi masyarakat yang dibangun sejauh ini. 

Inti dari setiap penyampaian adalah tentang kebenaran. Jika manajemennya (hati) baik, maka komitmen untuk berkomunikasi dengan hati dan tangan terbuka sebagaimana disampaikan Paus Fransiskus, tidak hanya dipakai pada mereka yang berkecimpung di bidang komunikasi saja, tetapi menjadi tanggung jawab semua orang. 

Kita semua adalah pewarta pada level kita masing-masing. Semua bergantung pada tata kelola hati kita. Disposisi hati yang baik akan menghasilkan hal-hal baik, termasuk memengaruhi semua indera yang berhubungan dengan hati untuk berpresepsi secara baik. 

Seperti mata dan telinga yang baik akan melihat, mendengarkan, dan meresapi hal-hal baik di sekelilingnya, lalu mewartakan secara baik, tepat, akurat, dan kredibel. Hati ibarat ruang kosong yang harus ditapaki. 

Oleh karena ia kosong, pikiran dan perasaan dapat berelaborasi dalam keheningan. Patut diingat, bahwa semua masalah manusia berakar dari ketidakmampuan mereka untuk merenung (memekur) dalam keheningan. 

Dalam keheningan, setiap orang mampu menghasilkan karya-karya besar, seperti perdamaian dan peradaban. Perdamaian sejati hanya dapat dibangun dengan komunikasi yang terbuka dengan hati. 

Sebuah peradaban dapat dibangun dengan menghadirkan para komunikator yang terbuka, berani, kreatif, dan siap mengambil risiko untuk menemukan benang merah dari setiap persoalan yang ditangani. 

Sekali kita mendengarkan orang lain dengan hati yang murni, kita juga harus mampu berbicara mengikuti kebenaran dalam kasih. 

Komunikasi yang baik tidak boleh direduksi menjadi suatu kepalsuan, yang saat ini dikenal dengan strategi marketing. Semoga mereka yang giat dalam bidang komunikasi, terinspirasi untuk selalu mencari dan menyatakan kebenaran dengan berani dan bebas, serta menolak godaan untuk mendulang ketenaran dengan menggunakan ekspresi sensasional dan agresif. 

Peran Komunikasi dalam KTT ASEAN 2023

Hal mendasar yang menggerakkan para delegator untuk datang mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asean di Labuan Bajo adalah hati. 

Hatilah yang mendorong mereka untuk datang, melihat, dan mendengarkan. Hati itulah yang membuat kita berkomunikasi secara terbuka dan ramah menyambut KTT di dua tempat berbeda tahun ini, Labuan Bajo pada 9-11 Mei ini dan Jakarta pada bulan September nanti. 

Tahun ini, Indonesia sudah kali kelima menjabat sebagai ketua Asean, setelah sebelumnya pada tahun 1976, 1996, 2003, dan 2011. 

Berkat membangun komunikasi dari dan dengan hati, Indonesia memiliki reputasi yang cukup baik pada periode kepemimpinan sebelumnya. Kali terakhir dalam kepemimpinannya pada tahun 2011, Indonesia berhasil menyelesaikan konflik antara Thailand dan Kamboja.  

Untuk mendamaikan dua Negara yang sedang konflik, butuh keberanian dan keterbukaan hati untuk membangun komunikasi dari dan dengan hati. 

Berbicara dengan hati sangat dibutuhkan saat ini untuk mempromosikan budaya damai di tempat-tempat di mana peperangan sedang berkecamuk dan membuka jalan yang memungkinkan dialog dan rekonsiliasi di mana kebencian dan permusuhan masih merajalela. 

Tahun ini, Indonesia kembali memimpin KTT Asean dengan berbagai kompleksitas, baik dari segi geopolitik maupun ekonomi global. 

Mengusung tema Asean Matters: Epicentrum of Growth, KTT tahun ini mau meyakinkan masyarakat Asean bahwa, Asean relevan dalam berkontribusi menjadi pusat pertumbuhan di bidang ketahanan pangan, energi, kesehatan, arsitektur, serta memperkuat stabilitas ekonomi keuangan Asean dengan menciptakan iklim ekonomi inklusif yang adil dan merata. 

Terlepas dari diskursus ini, adapun persoalan pelik lainnya yang akan menjadi pusat perhatian ialah, masalah pelanggaran hak asasi manusia dan perdagangan orang. Namun, apapun jenis permasalahannya, semua harus diselesaikan menggunakan komunikasi dari dan dengan hati.

Kita berharap bahwa, Indonesia, dalam diri bapak presiden Jokowi mampu menghadirkan komunikasi yang ramah, dan dengan hati yang terbuka menerima semua masukkan konstruktif untuk kebaikan Asean yang dipimpinnya tahun ini. 

Paus Fransiskus berpesan, bahwa komunikasi adalah cerminan jiwa, permukaan dari inti cinta yang tidak dapat dilihat oleh mata. 

Untuk itu, setiap kita diminta menjaga komunikasi yang dapat mengobarkan hati sesama untuk memupuk persaudaraan, berbela rasa, dan kelembutan. 

Komunikasi yang mampu menyembuhkan luka lewat rekonsiliasi, komunikasi yang mampu menyinari jalan sesama menuju peradaban kasih. 

Terlebih bagi mereka yang bergelut di bidang komunikasi (pewarta/jurnalis), kita patut memberikan apresiasi tinggi agar mereka tetap memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar dalam menjalankan profesinya sebagai sebagai sebuah tugas perutusan.. ***

* José Nelson Maria Vidigal, adalah seorang biarawan Katolik, tinggal di Ruteng.