OPINI: Mencari Benang Merah Agama, Politik dan Budaya

Sabtu, 21 Agustus 2021 18:30 WIB

Penulis:redaksi

Editor:Redaksi

JUSTIN.JPG
Justin L. Wejak (Dokpri)

Oleh: Justin L. Wejak, Dosen dan Peneliti, The University of Melbourne, Australia

Sudah saatnya para cendekiawan, filsuf, dan teolog Islam berperan lebih proaktif dalam merevisi penerapan hukum Syariah di Aceh.

BARU-baru ini saya berkesempatan mengikuti sebuah seminar virtual tentang Islam dan politik di Asia Tenggara. Seminar tersebut diselenggarakan oleh Institut Asia di Universitas Melbourne, tempat saya mengajar sejak 1999. 

Professor R. Michael Feener dari Universitas Kyoto, Jepang hadir sebagai pembicara utama. Professor Vedi Hadiz (Direktur Asia Institut) dan saya diminta menjadi penanggap. Makalah Professor Feener memang berwawasan dan instruktif mengenai peran agama, politik dan budaya yang mengikat masyarakat di Asia Tenggara.

Makalah mendalam Professor Feener menjelaskan lintasan yurisprudensi Islam dan adat di Asia Tenggara, terutama menyoroti sejarah panjang interaksi dinamis antara Islam dan budaya.

“Sejarah Islam di Asia Tenggara dalam banyak hal merupakan kisah hubungan dan integrasi bertahap dalam kaitannya dengan konstelasi masyarakat Muslim yang beragam yang telah dimainkan selama lebih dari seribu tahun,” demikian dinyatakan Professor Feener.

Makalah itu mendorong saya untuk menyampaikan tanggapan saya, meskipun, saya sadar, pengetahuan saya tentang Islam relatif sedikit. Saya dibesarkan dalam komunitas mayoritas Katolik di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Saya belajar Islamologi selama dua semester pada tahun 1987 di STFK Ledalero, Flores. Saya sungguh menikmati mata kuliah itu, dan saya mulai mengagumi Islam sebagai “sebuah sistem budaya”, seperti dalam definisi Clifford Geertz tentang agama.

Bagi saya, Islam sebagai agama Ibrahim ketiga dapat dipandang sebagai sepupu Kekristenan dan Yudaisme. Saya terus mengagumi Islam berkat pertemuan pribadi saya dengan banyak teman Muslim yang berbagi nilai-nilai yang sama seperti cinta kasih, perdamaian dan keadilan sosial — nilai-nilai fundamental bagi kemanusiaan universal.

Bidang akademik saya meliputi antropologi dengan latar belakang filsafat dan teologi. Karena latar belakang ini, saya menemukan bahwa makalah Professor Feener telah membangkitkan minat baru dalam diri saya akan wacana yurisprudensi Islam dan adat.

Professor Feener merujuk terutama pada Indonesia sebagai titik acuan. Pilihan Indonesia dapat dimaklumi. Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia. Sekitar 87 persen warga Indonesia, atau diperkirakan 239 juta, menganut Islam dari total penduduk sekitar 275 juta saat ini. Pada tahun 2045 nanti penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai kira-kira 320 juta.

Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa di beberapa wilayah Indonesia seperti Bali, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur dan Papua, Islam bukanlah agama mayoritas, tetapi minoritas. Ambil contoh, agama Hindu dominan di Bali, sedangkan Kekristenan dominan di Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua.

Penting untuk menyebutkan konsep mayoritas dan minoritas di sini untuk mengeksplorasi dan memahami apakah dimensi ini dapat berkontribusi pada kemauan atau keengganan orang-orang dari kepercayaan tertentu untuk menerima kekuatan adat sebagai cara untuk memperkuat entitas dan identitas agama mereka. Sebagaimana diketahui, Protestantisme di Indonesia selalu diasosiasikan dengan etnisitas, sehingga ada Gereja Batak, Gereja Masehi Ambon, Gereja Manado, dan seterusnya.

Dalam agama Katolik, usai Konsili Vatikan II, dalam semangat aggiornamento (adaptasi, inkulturasi, transformasi), Gereja terlihat lebih ramah, lebih menerima dan mengakomodasi adat, mengacu pada kepercayaan, adat dan praktik-praktek lokal. Misalnya, animisme lokal tidak lagi dipandang sebagai bentuk paganisme atau dualisme yang harus dikutuk dan ditinggalkan. Animisme dipandang sebagai kekuatan pelengkap Kekristenan.

Aksioma Latin yang telah lama dipegang yang menyangkal nilai agama-agama lain dan sistem kepercayaan di dalam Gereja pra-Vatikan II — extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan) — kemudian ditinggalkan. Gereja mengakui bahwa keselamatan ada dalam setiap iman dan kepercayaan.

Teologi keselamatan yang baru sebagai produk Vatikan II ini merupakan pengakuan penting atas keberlanjutan peran adat dalam komunitas Kristen setempat. Secara sosiologis, teologi yang direvisi membuat Gereja lebih berpihak kepada masyarakat, meskipun dalam aspek lain Gereja Katolik mungkin masih terkesan sedikit kolot dan belum cukup mengikuti tuntutan zaman, seperti soal hak-hak gender tertentu.

Makalah Professor Feener menyiratkan bahwa ada tiga kekuatan yang mewakili era berbeda — yaitu, kolonialisme pra-Barat, kolonialisme dan pasca-kolonialisme, terutama menyoroti pengaruh mereka dalam manifestasi atau otorisasi yurisprudensi Islam dan adat.

Tampaknya, secara umum, ada kesatuan antara hukum Islam dan adat selama masa pra-kolonial. Kesatuan ini didekonstruksi selama era kolonial Barat. Bahkan ada usulan upaya untuk menghilangkan, atau setidaknya melemahkan, adat sebagai sumber hukum yang mengatur masyarakat di Dataran Tinggi Sumatera Barat.

Dalam hal ini, Professor Feener mengutip Jeffrey Hadler (2009), yang menulis: “[para pemimpin adat] menerapkan hukum adat basandi syarak … dan jika ada masalah dengan adat, itu akan dibawa ke pemimpin adat. Dan jika ada masalah dengan hukum Islam, itu akan dibawa ke empat otoritas Islam …” Kutipan ini menyiratkan pandangan pada saat itu bahwa agama dan adat adalah dua kekuatan yang bertentangan, bahwa tidak perlu budaya lokal menjadi Islami.

Di masa pasca-kolonial, saya tidak sepenuhnya yakin apakah Islam Indonesia sudah merasa kurang lebih nyaman mencampuradukkan agama dan adat, seperti gado-gado  atau seperti nasi campur.

Metafora gado-gado atau nasi campur ini dapat digunakan untuk memahami pengertian sinkretisme, sebagaimana dikemukakan Professor Feener dalam mencirikan Islam di Jawa. Dia menyatakan: “Selama berabad-abad berikutnya, tradisi hukum Islam Jawa berkembang dengan cara yang kompleks, dan pada masa yang berbeda menunjukkan eksklusivitas sekaligus keterbukaan terhadap beragam sumber otoritas dan formasi kelembagaan.”

Ini sangat menarik, karena sebagian besar sarjana dalam kajian agama tentu setuju bahwa semua agama di Indonesia bersifat sinkretis karena sejarah panjang interaksi dengan sistem dan praktik kepercayaan lokal. Menerima atau menolak gagasan agama sinkretis mungkin sebagian diilhami oleh persepsi tentang budaya sebagai pencemaran terhadap kemurnian agama. Di sini agama dan budaya dipandang seolah sebagai dua entitas yang berbeda.

Tampaknya ada obsesi terhadap gagasan kemurnian dalam agama itu, di mana agama dipandang sebagai sesuatu yang diberikan langsung oleh Tuhan. Tentu ini menyangkal fakta bahwa secara historis dan sosiologis agama merupakan ciptaan manusia untuk kebutuhan umat manusia berkomunikasi dengan Tuhan.

Merujuk pada makalah Professor Feener, implisit ada anggapan bahwa pelaksanaan hukum Syariah di Aceh terkesan sederhana. Kesan ini muncul karena implementasi hukum itu sangat menekankan kemurnian ritual eksternal, khususnya dalam interpretasi tentang halal dan haram, dan penggunaan hukuman fisik publik untuk suatu kesalahan moral. Mungkin ini bertentangan dengan semangat hukum Syariah itu sendiri yang lestari dalam Islam.

Mungkin saatnya para cendekiawan, filsuf, dan teolog Islam, baik asal Indonesia maupun manca negara, berperan lebih proaktif dalam merevisi dan menafsirkan kembali penerapan hukum Syariah di Aceh. Ini penting dalam rangka menjadikannya sebuah kekuatan pembaruan dan pembebasan yang inklusif, bukan penyebab ketakutan dan kekerasan dalam komunitas.

(Catatan: Versi Inggris dari tulisan ini pertama kali terbit di UCA News, 20 Agustus 2021).

https://www.ucanews.com/news/finding-common-ground-for-religion-politics-and-culture/93725