Dialog
Kamis, 02 Desember 2021 22:24 WIB
Penulis:redaksi
BEBERAPA hari terakhir video perihal dialog berujung ‘perang mulut’ antara Gubernur Nusan Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat dan Umbu Maramba Hawu beredar luas, baik melalui media online maupun platform media sosial.
Di dalam video tersebut tampak Gubernur NTT bersuara keras dan menyebut kata "monyet". Sebutan itu membuat beberapa peserta dialog, meninggalkan arena dialog sambil menggerutu. Video pun berakhir, tidak diketahui bagaimana cerita selanjutnya.
Semenjak video itu beredar, Minggu (28/11) berbagai opini membajiri ruang media sosial dan kolom media online. Sebagian besar pegiat media sosial dan penulis opini di media menyampaikan kritik kepada sang gubernur.
Melihat tekanan opini publik yang begitu kuat, Kamis, 2 Desember 2021 Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT menerbitkan rilis guna menjelaskan peristiwa adu mulut tersebut. Rilis itu menyebutkan bahwa setelah Umbu Maramba Hawu dan beberapa warga meninggalkan pertemuan, masih ada tokoh adat masyarakat Rindi yang bertahan. Mereka melanjutkan dialog dengan damai. Bahkan di ujung dialog mereka saling bersalaman dan berpelukan (Bdk.floresku.com, (2/12)).
Rilis ini terkesan aneh, paling tidak tidak sejalan dengan tayangan di video yang beredar luas di masyarakt. Lebih aneh lagi, ada pihak tertentu yang berusaha membela pernyataan sang gubernur. Mereka menilai bahwa banjirnya kritikan terhadap diksi yang diucapkan oleh gubernur adalah bagian dari jebakan politik untuk Pilgub 2024 mendatang.
Padahal, pemilihan diksi Gubernur justru sangat melukai hati siapapun yang mendengarnya. Selain karena diksinya salah, juga gestur tubuh gubernur dalam dialog dengan masyarakat adat sangat jauh dari adat sopan santun orang NTT.
Lebih mengerikan lagi beberapa channel youtube menyampaikan bahwa program sapi premium yang dilakukan oleh gubernur hanya untuk memperkaya diri, karena program sapi tersebut diduga dikelola oleh anak kandungnya sendiri.
Tak dapat dpungkiri bahwa diksi ‘monyet’ yang disampaikan oleh Gubernur NTT kepada rakyatnya sendiri sangat kasar dan menyakitkan hati. Terbukit Umbu Maramba Hawu dan beberapa pengikutnya langsung angkat kaki.
Penelitian Erwita Nurdiyanto tentang 'Makna Kata Bahasa Indonesia yang Mengandung Unsur Makian seperti yang dikutip oleh Gaudensius Suhardi di media Indonesia.com tanggal 2 Desember 2021 menyimpulkan terdapat korelasi yang sangat jelas antara tingkat pendidikan dan makian yang digunakan oleh seseorang.
Orang yang berpendidikan rendah, mereka cenderung menggunakan makian dengan menyebutkan binatang kepada lawan bicaranya.
Hasil penelitian menjadi sebuah anomali ketika dihubungkan dengan peristiwa dialog Gubernur NTT dengan masyarakat Desa Rindi, Kecamatan Rindi, Kabupaten Sumba Timur, Sabut (27/11) lalu. .
Menjadi sebuah anomali karena Gubernur NTT sendiri pendidikannya cukup tinggi. Baru-baru ini, ia meraih gelar doktornya dengan peraihan nilai yang sangat tinggi.
Jurgen Habermas, filsuf Jerman memberikan syarat-syarat utama dari diskursus yaitu bersifat inklusif, egaliter, dan bebas dominasi satu orang.
Bebas dominasi dalam diskursus ini untuk mencegah terjadinya kebenaran yang diterima secara paksa oleh peserta diskursus. Jika ini terjadi, maka kursus itu menjadi sangat kontradiktif dengan etika diskursus yang sebenarnya.
Selain itu, makna dari bebas dominasi untuk tetap melihat lawan bicara sebagai subjek yang otonom dan bebas dari tindakan represif.
Syarat-syarat ini dilakukan untuk mencapai sebuah kesepahaman bersama yang sangat rasional. Dengan demikian, diskursus itu mempunyai hasil yang jelas dan bukan sekedar retorika belaka.
Saya berpikir, alur teori Habermas ini justru sama dengan etika diskursus dalam kebudayaan NTT pada umumnya. Di mana ketika melakukan musyawarah, orang NTT selalu mengedepankan etika dalam berkomunikasi.
Sejak awal mula melakukan diskursus, bagaimana moderatornya mengatur alur diskusi, membuka ruang saling tukar argumentasi atau pikiran, kemudian menghasilkan kesepakatan bersama - mufakat.
Jadi, gaya komunikasi Gubernur NTT yang terjadi di Desa Rindi Sumba Timur, Sabtu (27/11) bisa diprediksi akan tidak mencapai kesepakatan sejak awal.
Hal ini bisa disaksikan bagaimana gubernur datang ke Desa Rindi dengan personil keamanan lengkap, TNI-POLRI yang lumayan banyak, dan terkesan begitu menyeramkan.
Artinya, pembubaran beberapa masyarakat itu terjadi selain karena diksi yang digunakan sangat kasar juga karena Gubernur NTT meminggirkan nilai-nilai kebudayaan masyarakat NTT dalam sebuah diskursus.
Ini sungguh sebuah kejadian yang memalukan. Semoga hal seperti ini tidak terjadi lagi di masa datang. Sebab siapa pun yang terlibat dalam sebuah diskursus, apalagi mereka disebut pemimpin dan berpendidikan tinggi, tidak pantas mengeluar diksi yang kasar, tak selaras dengan tata krama pergaulan sosial yang berlaku di masyarakat.***
*Tedy Ndarung, jurnalis floresku.com.