Damai
Senin, 29 Maret 2021 18:06 WIB
Penulis:redaksi
Jakarta (Floresku.com) – Pater Markus Solo Kewuta SVD atau yang biasa disapa Padre Marco mengajak para pemimpin agama dari berbagai agama, untuk mengajarkan yang luhur dan mulia kepada umat masing-masing, jauh dari berbagai doktrin yang mengandung unsur-unsur kekerasan, terbuka terhadap perbedaan-perbedaan iman dan agama, dan kesediaan untuk saling memaafkan, agar kita semua boleh hidup rukun dan damai.
Padre Marco menyampaikan ajakan tersebut saat diwawancarai secara daring oleh Rumah Kebudayaan Nusantara atau RKN Media dari Jakarta, Senin, (29/3).
Setelah wawancara tersebut Padre Marco menyempatkan diri membagikan pengalaman wawancaranya kepada para pembaca floresku.com melalui pesan whatsapp.
Padre Marco adalah putra Indonesia kelahiran Lewouran, Flores Timur, yang sejak 2007 lalu menjadi Staff pada Dewan Kepausa Kepausan untuk Dialog Antar Umat Beragama (Pontifical Council for Interreligious Dialogue, PCID), Desk Dialog Katolik-Islam di Asia dan Pasifik di Vatikan.
Sejak tahun 2015, Padre Marco juga dipercayakan sebuah tugas lain, yakni sebagai Wakil Presiden Yayasan Nostra Aetate yang bertugas untuk memajukan Pendidikan Perdamaian dan Pembentukan Duta-duta Perdamaian dari berbagai agama non-Kristiani bertempat di kota Roma dan Vatikan.
Paus tidak mengutuk, tapi mendoakan
Padre Marco mengungkapkan, “Baru saja RKN Media (Rumah Kebudayaan Nusantara) dari Jakarta wawancara saya tentang sikap Paus dan kami terhadap apa yg terjadi di Makassar kemarin. Paus tidak mengutuk, tapi Paus berdoa. Doanya memiliki pesan yang sangat kuat, bukan tanda sebuah kelemahan,” jelasnya.
Dalam kesempatan wawancara tersebut, tulis Padre Marco, kami meminta kepada para pemuka agama dari agama apa pun untuk selalu menebarkan pesan damai.
“Katakanlah bahwa membenci itu dosa berat dan dilarang oleh agama, karena kebencian adalah awal dari berbagai bentuk kejahatan,” ungkapnya.
Padre Marco juga mengajak seluruh umat supaya tenang, tidak terprovokasi, dan berdoa bagi musuh-musuh.
Dalam wawancara itu, tulis Padre Marco lagi, kami sampai pada menyinggung kemungkinan yang lebih buruk, yang bisa terjadi kalau seandainya pelaku-pelaku bisa masuk sampai ke wilayah dalam atau ke dalam Katedral itu sendiri persis masih berlangsung Misa.
“Saya terpaksa berhenti, karena tidak bisa lagi bicara. Saya berusaha membendung rasa sedih dan haru tetapi tidak bisa. Baru pertama kali saya mengalami seperti ini. Selain memikirkan yg terburuk, dan merasa tidak sesuai dengan hakekat perayaan Minggu Palma yang adalah perayaan Raja Damai. Juga saya bersyukur dalam haru terhadap kebaikan Tuhan yang menghindari malapetaka terbesar,” imbuhnya.
Punya nostalgia khusus
Padre Marco ternyata memiliki pengalama dan nostalgia tersendiri dengan Katedral Makassar.
“Di Katedral ini saya dampingi alm. Kardinal Tauran, Presiden Dewan Kepausan untuk Dialog antar Umat Beragama di Vatikan, merayakan Misa Minggu pertama Advent 2009. Waktu itu Katedral penuh dengan umat sampai meluap. Lagu-lagu dan tarian indah mengiringi Misa hari itu. Pertama kali dalam hidupnya Kardinal kelahiran Perancis itu merayakan Misa dalam bahasa Indonesia,” kenangnya.
Jedah itu, tulis Padre Marco, tidak membuat Marsel, si wartawan, kaget, tapi beliau menanti dengan sabar sambil mengatakan kalau perasaan seperti itu juga dialami oleh banyak orang.
“Dan, wawancara berlanjut sampai selesai,” tulis Padre Marco. (MAP.
2 bulan yang lalu