Pelayanan BPJS Ende Menuai Kritik: Pasien Dibebani Prosedur yang Rumit

Jumat, 14 November 2025 23:15 WIB

Penulis:redaksi

moa.jpg
Anton Juneri Andung, pasien dengan riwayat patah tulang. (Arahkita.com)

RUTENG (Floresku.com)  –  BPJS Kesehatan di Ruteng, wilayah kerja BPJS Cabang Ende, kembali menjadi sorotan tajam publik, lantaran sistem pelayanannya yang berbeli-belit.

Kasus seorang pasien anak ASN yang membutuhkan perawatan lanjutan memperlihatkan rumitnya birokrasi, ketidakjelasan prosedur, hingga lemahnya koordinasi antar-fasilitas kesehatan. 

Alih-alih mendapat pelayanan sesuai haknya sebagai peserta BPJS, keluarga justru dihadapkan pada kebingungan, biaya tinggi, dan sikap saling lempar tanggung jawab.

Masalah kian keruh ketika dokumen informed consent dijadikan alasan penolakan layanan. 

Dokumen yang seharusnya menjadi persetujuan sadar atas tindakan medis, justru dipakai sebagai dasar bahwa pasien “memilih” menjadi pasien umum—padahal yang dibutuhkan adalah perawatan lanjutan yang sudah dijamin BPJS sebelumnya.

Rujukan Beres, Layanan Tetap Ditolak

Kasus bermula ketika Anton Juneri Andung, pasien dengan riwayat patah tulang dan telah dirawat di RSUD Haji Provinsi Jawa Timur menggunakan BPJS, harus menjalani pencabutan pen setelah dua bulan.

 Tidak adanya dokter spesialis ortopedi di RSUD Ruteng membuat pasien dirujuk ke RS Siloam Labuan Bajo menggunakan rujukan resmi BPJS dari FKTP UPTD Puskesmas Kota.

Namun setibanya di RS Siloam Labuan Bajo, pelayanan ditolak. Alasannya: kasus pasien dianggap kecelakaan lalu lintas tunggal sehingga tidak dapat dijamin JKN.

Orang tua pasien, Albertus Andung, langsung memberikan klarifikasi: “Anak saya datang untuk perawatan lanjutan. Semua biaya perawatan sebelumnya dijamin BPJS. Ini bukan kasus baru,” ujarnya kepada Arahkita.com (14/11).

Namun jawaban rumah sakit dan verifikator BPJS tetap sama: tidak bisa dijamin.

Kewajiban Lapor Polisi, Tapi Tidak Direspons

Tidak menyerah, keluarga menghubungi BPJS Ruteng. Jawaban yang diterima: harus ada laporan polisi online. Albertus kemudian mengirim laporan polisi yang digunakan saat perawatan di RSUD Haji Jawa Timur. Namun, tidak ada balasan sama sekali.

Ketidakpastian ini mendorong keluarga menanyakan biaya perawatan mandiri ke RS Siloam Labuan Bajo. Jawaban rumah sakit: sekitar Rp12 juta.

Akhirnya, keluarga meminjam uang dari kerabat di Labuan Bajo untuk membayar perawatan.

Selama proses perawatan mandiri, pihak BPJS Cabang Ende kembali menghubungi keluarga dan meminta laporan polisi online tambahan, lengkap dengan contoh format laporan. 

Pihak keluarga pun menghubungi polisi di Surabaya, namun jawabannya tegas: laporan lama sudah digunakan dan sah secara prosedural.

Terpaksa Tanda Tangan ‘'Informed Consent’, Biaya Dikeluarkan

Di tengah minimnya kejelasan dari BPJS Cabang Ende, keluarga akhirnya dipaksa keadaan untuk menandatangani informed consent sebagai pasien umum dan membayar biaya tindakan sebesar Rp 8.810.500.

Invoice pembayaran kemudian dikirim ke BPJS Cabang Ende, yang menjawab singkat:
“Baik pak, akan kami tindak lanjuti ke pihak rumah sakit.”

Namun yang terjadi kemudian justru pertanyaan tambahan soal apakah keluarga sudah menandatangani general consent—padahal kondisi ini justru yang menjadi akar masalah.

Lemahnya Koordinasi, Keluarga Korban Kebingungan

Hambatan administrasi dan koordinasi yang tidak sinkron membuat keluarga pasien terombang-ambing. Hak peserta BPJS tidak terpenuhi secara maksimal, padahal kasus ini jelas merupakan perawatan lanjutan, bukan kasus kecelakaan yang baru terjadi.

Keterlambatan komunikasi juga menambah beban psikologis keluarga. Yang seharusnya fokus pada pemulihan anak, justru harus bolak-balik mengurus dokumen, rujukan, laporan polisi, hingga menanggung biaya besar yang semestinya ditanggung JKN.

Penjelasan BPJS Cabang Ende

Saat dikonfirmasi, petugas BPJS Cabang Ende, Natalia, menyampaikan:
“Pelayanan tidak dapat dijamin JKN karena pasien telah menandatangani informed consent sebagai pasien umum. Ketika informed consent ditandatangani, maka klaim penggantian tidak dapat diajukan.”

Pernyataan ini kembali memunculkan pertanyaan besar: Jika sejak awal pelayanan ditolak dan keluarga tidak mendapat kepastian, apakah penandatanganan informed consent murni keputusan sadar atau tekanan situasional?

Informed Consent Jadi Tameng: Publik Dirugikan

Kasus ini menunjukkan pola yang mulai sering terjadi: informed consent dijadikan tameng untuk melepas tanggung jawab penjaminan, terutama ketika ada keraguan administratif.

Padahal:Perawatan lanjutan harusnya otomatis dijamin BPJS. Keluarga sudah membawa rujukan resmi.
Laporan polisi lama sah dan sudah dipakai pada perawatan sebelumnya.
Penolakan layanan tidak disertai solusi yang jelas.

Saatnya BPJS Cabang Ende Berbenah

Carut-marut pelayanan BPJS Cabang Ende bukan lagi soal teknis. Ini soal transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan hak pasien.

Beberapa hal yang harus segera dibenahi: 

  • Koordinasi antar-faskes dan kantor cabang agar tidak ada lagi informasi saling bertolak belakang.
  • Prosedur penjaminan yang jelas, terutama pada kasus perawatan lanjutan.
  • Menghentikan praktik berlindung di balik informed consent untuk menolak klaim.
  • Pendampingan aktif bagi peserta, bukan melemparkan kewajiban tambahan yang tidak relevan.

Tanpa pembenahan menyeluruh, kepercayaan peserta terhadap BPJS Kesehatan—khususnya Cabang Ende—akan terus merosot. (*)