NTT
Jumat, 16 April 2021 17:45 WIB
Penulis:redaksi
JAKARTA (Floresku.com) – Era digital yang diwarnai oleh kemajuan teknologi internet dan media sosial ibarat pisau bermata dua, bisa menjadi peluang tapi juga sekaligus tantangan bagi pengembangan sikap toleransi di kalangan kaum muda.
Namun, teknolgi digital dapat diarahkan untuk hal positif yang mengembangan sikap teoleransi dan dialog antara umat beragama di kalangan generasi muda, apabila semua pihak, baik para orangutua, sekolah dan para pendidik, komunitas agama dan para pemuka agama bersedia membantu para generasi muda untuk memanfaatkan teknoligi digital secara bijaksana.
Hal ini mengemuka dalam Webinar of Indonesia & Holy See (Vatican): Youth & Religious Tolerance in Digital Era yang berlangsung mulai Pukul.10.00 waktu Vatikan, Roma, atau pukul.15.00, Kamis (16/4).
Dalam kata Sambutan Pembuka webinar, Nunsius Apostlik atau Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr. Piero Pioppo menyampaikan apresiasi kepada Kedutaan Indonesia untuk Vatikan dan kementerian Luar Negeri RI yang telah berinsiatif menyelenggarakan webinar.
Mgr. Pioppo juga tak lupa menyampaikan ‘Selamat Puasa Ramadhan’kepada umat Islam di seluruh Indonesia yang sedang menjalankan puasa.
Selanjutnya, Mgr. Pioppo mengatakan sejak 71 tahun lalu,Vatican telah menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia Sekarang, Vatican dan negara RI kembali mengepreksikan kearaban hubungannya dengan menyelenggarakan webinar untuk mendorong kaum muda mempromosikan sikap toleranssi dan penghargaan terhadap kebebasan beragama dengan terciptanya masyarakat yang damai dan harmonis.
Mgr. Pioppo mengakui, upaya menanakan sikap teolerasni di kalangan muda di era digital bukan suatu hal mudah,karena media sosial sering diwarnai oleh banyak konten yang mengampanyekan intelorenasi, baik berupa ucapan kebencian dan hoax. Hal itu, tentu membingungkan kaum muda untuk membangun sikap beragama yang toleran.
Dalam situasi seperi itu, katanya, semua pihak, termasuk para pemuka agama dan kaum muda terpanggil untuk untuk bekerja sama dan memberikan kontribusi dengan caranya masing-masing, mempromosikan kebenaran dan cinta kasih guna menciptakan iklim kehidupan bersama yang lebih damai dan harmonis.
Berkenaan dengan itu, Mgr. Pioppo mengusulkan tiga cara. Pertama, memberikan pendidikan agama yang baik terhadap kaum muda.”Kaum muda tak perlu dididk untuk menjadi alhi teologi, tetapi paling tidak mereka diajakan perihal ajaran dasar agama,sehingga mereka dapat menjalankan agamanya secara baik dan benar,” ujarnya.
Kedua, melakukan formasi cinta kasih. Menurut Mgr. Pioppo, semua kita perlu mengembangkan cintakasih terhadap sesama secara tulus walau dengan cara yang sederhana.
“Satu contoh yang bagus di Jakarta adalah relasi yang baik antara umat Islam di Isitqal dan umat Katolik dari gereja Katedral. Mereka itu saling membantu. Ketika ada perayaan besar agama Islam, umat Katolik ikut membantu mengatur parkir dan keamanan. Sebaliknya, ketika umat Katolik merayakan hari besar, umat Islam yang membantu. Dann, praktik seperti itu terjadi juga di banyak tempat di seluruh Indonesia. Menrut saya, itu adalah ekspresi hubungan cinta kasih di antara umat Islam dan Katolik.”
Ketiga, lanjut Mgr. Pioppo megembangkan formasi spiritalitas. Ini adalah upaya untuk mengembangkan spiritalitas hidup, di mana kehidupan rohani harus dapat menjiwai kehidupan nyata. Hanya degn car aini kita menadiu utusan untuk dunia yang damai.
Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik (Dirjen IDP) Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan, perkembangan dunia digital atau sosial media begitu cepat. “Agar teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan sikap toleransi di kalangan kaum muda, dibutuhkan peran serta dri semua pihak. Lebih dari itu, setiap individu pun perlu mengembangkan tanggung jawab individual agar dapat memanfaatkan teknologi digital untuk hal yang positif, termasuk untuk menumbuhkan sikap toeransi antar umat beragama,” ujarnya.
Seentara itu, Rev.Learnardo Silao, dosen dari universitas kepausan di Roma mengatakan, dari perspektif gereja Katolik, tolentasi adalah suatu hal imperative. Karena Katolik pada dasarnya berarti uniervesilsme, umum. Memang, Katolik sangat menekankan kesatua, namun ia kesatuan itu dikembangkan karena mengakui keaneranekaragamam dan enghargaia budaya yang berbeda.
‘Saya sendiri hidup di komunitas di mana ada banyak imam dari berbagai negara ada di sini. Kami menghayati universalieme melampaui keanegaraman budaya dari negara asal masing-masing. Kami mellihat perbedaan sebagai sebuah kekyaan. Kesatuan tumbuh karena ada sikap mengapresaisi keanakeagaman,’ ujarnya.
Nara sumber lain, Dr. Valeria Manto mengemukan kemajuan tekologi harus dimaknai sebagai alat dan peluang untuk menumbuhkan engembangkan kerja sama dan toloransi antara umat beragama, terutama di kalangan kaum muda.
Nara sumber lain, Abdiel F. Tanias, mengatakan tampaknya masih ada gap antara pemimpin agama dan kelompok akar rumput dalam hal toleransi. “Pada level pemuka agama, tampak ada hubungan yang sangat harmonis, tapi di level akar rumput masih banyak masalah/ketegangan. Ketengangan di level akar rumput sangat kentara di media sosial, di mana orang-orang yang berbeda agama saling mencela dan menyerang satu satu sama lain,” ujarnya.
Kuncinya adalah Pendidikan
Pater Markus Solo Kewutra SVD yang biasa disapa Padre Marco mengatakan, benar bahwa kaum muda itu adalah masa depan dunia. Namun, adalah juga benar bahwa kaum muda adalah bagian dari masa kini. Oleh karena itu, untuk membuat kaum muda menjadi penentu masa depan, kita harus memperhatikan kaum muda pada masa sekarang.
Tesis yang saya mau sampaikan, jelas Padre Marco, adalah menerapkan pendidikan yang baik bagi kaum muda sekarang. Sebab, pendidikan itu berasal dari Latin ‘educare’, artinya membawa seseorang keluar dari kegelapan, keluar dari lorong yang sempit, supaya memukan terang. ‘Jadi, education is an imperative.”
Tentu saja, lanjtunya, pendidikan yang dimaksud tidak hanya pendidikan formal di sekolah, melainkan pendidikan informal, terutama dalam keluarga.
“Tugas kita, terutama orangtua adalah memberi jalan bagi anak-anak muda agar bisa mengambil sikap yang benar, termasuk bagaimana mereka menggunakan teknologi ditial,” ujar staf Dewan Kepausan untuk Dialog Antarumat Beragama, Vatikan itu.
Padre Marco mengibaratkan era teknologi digital seperti sebuah mall. “Di dalam mall tersedia begita banyak barang yang dapat dipilih. Namun, orangtua seharusnya memberi tahu anak-anaknya untuk memilih yang baik dan berguna saja.
“Dengan cara demikian, maka teknologi digital akan menjadi alat sekaligus peluang yang dapat digunakan untuk hal-alyang positif, termasuk untuk mengembankan sikap toleransi dan saling pengertian antara umat berbeda agama.”ujanya. (MAP)
25 hari yang lalu